Iqraa Bismirabbika

DI DEPAN ALLAH, BERSAMA ALLAH, DITUNTUN ALLAH untuk MEMBACA ALLAH...

(lanjutan artikel SIKAP BERKETUHANAN...)

Sekarang marilah kita lakukan proses iqraa tentang ALLAH di dalam sebuah aktivitas shalat. Karena memang shalat merupakan sebuah kegiatan yang didalamnya penuh dengan suasana respon merespon antara Allah dengan hamba-Nya.
Ada komunikasi timbal balik antara Allah dengan kita. Ada Allah yang sedang mengaku didepan kita, dan kita hanya tinggal mengiyakan dan membenarkan saja setiap pengakuan-Nya itu.

Karena kita akan berkomunikasi timbal balik dengan Allah, maka haruslah kita duduk dulu diposisi ’laa ilaha illallah”. Kita haramkan apapun juga selain Allah (takbiratul ihram) muncul dalam kesadaran kita, kosong, sampai yang ada Cuma Allah yang kita sadari dengan penuh.
Dengan SIKAP KESENGAJAAN (NIAT), tidak sambil lalu saja, pertama-tama mulailah kita membawa kesadaran kita ke Ruang Spiritual, sebuah ruang kosong tunggal maha besar (SANG AHAD), seperti yang kita lakukan diatas tadi. Tanda bahwa kita sudah berada Ruang Spiritual ini adalah: saat kita mengamati dada kita, disana sudah tidak ada lagi wujud MATERI (rupa, warna, aksara, nyala) yang mengganduli dan menghalangi dan menyempitkan dada kita. Saat itu dada kita telah menjadi bening, lapang, luas, tenang, sehingga dada kita tersebut siap untuk DIISI oleh Allah.

Karena memang dada kita adalah RUMAH ALLAH, BAITUL HARAM. Disanalah Allah akan menyatakan keberadaan-Nya. Dia akan meletakkan Respon-Nya, Ilham-Nya, Pengajaran-Nya, Kasih Sayang-Nya, Kelembutan-Nya, Kehendak-Nya, Bahasa-Nya (qalam) kedalam dada kita saat mana dada kita itu sudah kita HARAMKAN untuk diisi oleh wujud materi apapun juga. KOSONG...

Laa ilaha illallah...!. Menyadari KOSONG (al Bathinu, Alif Lam Mim)..., lalu MEMANCAR..., dan pada saat yang sama kita ketemu ADA (Adh Dhahiru, Dzaa likal kitab), yaitu INI, di SINI. Lalu diamlah, siap-siaplah...

”Wahai hamba-Ku, Akulah Allah, tiada sesuatu apapun lagi yang layak kau sembah selain dari Aku. Bukankah Aku ini Maha Besar...?. Lihatlah..., betapa Aku ini Maha Meliputi segala sesuatu...!. Maka shalatlah untuk menyembah Aku...!”,

Sang Ada menyampaikan pengakuan-Nya dihadapan kita. Tiba-tiba saja dada kita dialiri oleh sebuah rasa kagum yang sangat MENCEKAM. Keluasan dan kebesaran yang sangat mencekam menyelimuti dada kita. Menggetarkan sekali, mencekam sekali. Maha sekali...!. Berdiri sendirian ditengah padang pasir yang kelam dimalam hari, atau berada dipuncak sebuah gunung sendirian, atau naik sampan sendirian di tengah laut sudah sangat mencekam sekali. Apalagi berada sendirian, dimana tidak ada apa-apa, kosong kecuali hanya Ada Allah..., sungguh mencekam dan mengetarkan sekali. Biarkanlah Dia menyelesaikan pengakuan atas kemahabesaran-Nya itu sampai kemudian yang tinggal di dada kita hanyalah keberadaan-Nya yang pekat. Kalau tidak begitu, kita mau bersaksi apa saat kita membaca Allahu Akbar.

Jangan-jangan selama ini saat kita membaca Allahu Akbar itu kita memang hanya sekedar karena ada ilmunya saja. Ilmu bahwa kalau takbir kita harus baca Allahu Akbar, yang artinya Allah Maha Besar. Titik. Padahal ilmu tentang sesuatu itu, ilmu apa saja, pastilah bercerita tentang hal dan keadaan yang sebenarnya dari sesuatu itu. Masak sih kita mau seperti seekor burung BEO terus. Kita hanya sekedar berbicara saja tanpa bisa ’duduk’ dalam suasana apa yang sedang kita baca (Iqra). Seekor burung beo bisa mengucapkan selamat pagi dengan mantap sekali dan berulang-ulang pula: ”Selamat pagi..., selamat pagi..., selamat pagi”. Seakan akan si burung tahu persis tentang suasana dan keadaan dari ungkapan selamat pagi itu. Padahal saat itu adalah ditengah malam yang pekat.

Setelah munculnya ketercekaman kita atas pengakuan Allah atas kemahabesaran-Nya sendiri, barulah kemudian kita sambut pengakuan-Nya tersebut dengan santun dan merendah-rendah: ”ALLAHU AKBAR...!”. Dan dada kitapun menjadi penuh dengan rasa kesaksian kita kepada-Nya: ”Bala syahidna, benar ya Allah, hamba bersaksi, bahwa Paduka adalah Allah. Paduka sungguh Maha Besar. Paduka sungguh Maha Meliputi segala sesuatu. hamba siap untuk Paduka tuntun untuk membaca dan menyembah Paduka di dalam liputan Paduka sendiri yang Maha Besar”, ungkap kita dalam sebuah kesaksian bahwa memang DI SINI ADA ALLAH, SANG ADA, SANG TANPA BATAS...”. INI...!”. Lalu diamlah untuk setarikan nafas...

”Wahai hamba-Ku, bukankah seyogyanya hanya kepada Wajah-Ku saja kamu seharusnya menghadapkan wajahmu?. Saat kapanpun juga. Apakah itu saat berdiri, saat duduk, atau bahkan saat kamu leyeh-leyeh tiduran sekalipun, seharusnya kamu hanya menghadapkan wajahmu kepada Wajah-Ku saja, Wajah yang meliputi segala sesuatu...”, Sang Ada menuntun kita mengarahkan wajah kita ke Wajah-Nya.

Lalu DERR..., Dia menuntun kita lebih dalam menghadap ke Wajah-Nya. Sehingga mau tidak mau kitapun membenarkan pengakuan-Nya dengan merendah-rendah:”Inni wajjahtu wajhiya..., o ya benar, ternyata aku sedang menghadapkan wajahku kepada Wajah Dia...”. Dan sejak itulah kita siap untuk dituntun selangkah demi selangkah (Isti’anah) oleh Allah sendiri untuk membaca Diri-Nya dengan segala kehebatan-Nya. Araftu Rabbi bi Rabbi...

Ya..., kita dibacakan-Nya sendiri segala sesuatu tentang diri-Nya, tentang atribut-Nya, tentang selendang-Nya..., tentang curriculum vitae-Nya, tentang segala sesuatu apapun juga, dan selanjutnya kita hanya tinggal mengiyakan saja semuanya itu dengan tadarru’.

Mari kita ikuti selangkah demi selangkah...


DI DEPAN ALLAH, BERSAMA ALLAH, DITUNTUN ALLAH untuk MEMBACA ALLAH...


HUA AL MUHYI, AL MUMIET...

”Wahai hamba-Ku, siap-siaplah untuk kutunjukkan kepadamu didalam shalatmu ini tentang betapa Aku adalah Dzat Yang Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan. Hidup dan mati itu hanya bersandar kepada-Ku saja. Keduanya berada dalam jepitan kedua jari tangan-Ku, sebagaimana juga halnya dengan nafasmu. Maka jadikanlah nafasmu itu sebagai ”kiblatmu” dalam menghadap kepada-Ku”.

Tiba-tiba saja, DERR...!. Arah Gerak Kesadaran kita sudah dituntun-Nya menjadi sinkron dengan arah gerak nafas kita. Karena memang nafas kita ini akan selalu pulang kerumah nafas, kesarang nafas, yaitu keabadian. Kosong. Lalu kita tinggal mengiyakannya saja: ”Inna shalati, wanusuki, wamahya ya, wamamaatii lillahi rabbil ’alamin...”.

Saat itu pula hakikinya kita sedang diajak oleh Allah untuk menyadari bahwa dalam kehidupan ini (termasuk dalam shalat), kita hanya bergerak diantara dua suasana saja, yaitu HIDUP (bergerak) atau MATI (diam, tuma’ninah). Keduanya sudah dialirkan secara bersamaan oleh Allah sejak dari KUN sampai ke KUN. Begitu kita hidup, maka sebenarnya saat itu mati juga tengah membayangi kita dengan pasti. Begitupun sebaliknya. Tatkala mati tengah menyapa kita, maka hidup pun sebenarnya sedang menunggu kita. Dan kesemuanya itu adalah lillah..., milik Allah.

Nanti diluar shalat, untuk lebih memahami tentang Hidup dan Mati ini, marilah kita amati gerak nafas kita agak sejenak. Mulailah dengan mengaku: ”saya bisa bernafas”, dan cobalah bernafas itu dengan sengaja. Katanya bisa..., ayo. Tariklah nafas dengan sengaja. ”Oo..., saya bisa bernafas dengan sangat gampang”, aku kita dengan gagah. Teruslah tarik udara secara perlahan masuk memenuhi paru-paru kita. Terus..., terus..., dan terus..!.

Tiba-tiba nafas kita tercekat. Kita tidak bisa lagi menarik udara memasuki paru-paru kita. Betapapun kita ingin menarik nafas, kita sudah tidak bisa lagi melakukannya. Berhenti.

Karena sudah tidak bisa diisi lagi, maka keluarkanlah nafas itu dengan sengaja pula. ”O..., ternyata saya juga bisa mengeluarkan nafas dengan sama mudahnya dengan memasukkan nafas. Itupun tanpa bantuan siapa-siapa”, aku kita dengan sumringah. Lalu keluarkanlah udara dari paru-paru kita dengan sengaja terus menerus secara perlahan-lahan. Terus dan terus...

Pada suatu saat, kita kembali tidak bisa lagi mengeluarkan nafas dari paru-paru kita. Nafas kita terhenti. Sekuat apapun kita ingin mengeluarkan nafas, tapi nafas kita sudah tidak bergerak lagi. Diam Nah..., lakukanlah dengan sengaja aktivitas memasukkan dan mengeluarkan udara dari paru-paru kita itu untuk beberapa saat. Berapa lama kita mampu seperti itu. Apakah kita bisa terus menerus melakukannya tanpa kita merasa capek kalau tidak mau dikatakan tersiksa?. Catatlah kesimpulan atau kepahaman apa yang muncul
setelah kita melakukannya. Jangan lupa catat...

Yang saya catat, adalah:

Adakalanya kita tidak punya perhatian sedikitpun tentang nafas kita ini. Nafas yang selalu setia menemani kita dalam hidup ini tidak mampu sedikitpun mengajak kita untuk meningkatkan kesadaran kita akan eksistensi kita. Semuanya datar-datar saja. Dari hari-kehari kita alpa untuk menjadikan nafas kita ini sebagai pintu gerbang untuk meningkatkan kesadaran spiritual kita. Sampai akhirnya, saat nafas kita terhenti diakhir hayat sekalipun, kita tidak mampu mengembalikannya dengan rela ketempat kembali yang benar, yaitu ke Rumah Nafas. Tanda-tandanya mudah saja untuk mengenalnya, yaitu kita menjadi takut untuk mati. Ya..., karena kita merasa bahwa kitalah yang punya nafas itu. Dan kita jadi takut berpisah dengan nafas kita itu.

Tempo-tempo kita mulai sadar bahwa kita ini ternyata bisa mengatur-atur nafas.
Kita bisa memasukkan nafas sekehendak hati kita sama baiknya dengan mengeluarkan nafas dari paru-paru kita. Kita bisa mempercepat nafas itu dan bisa pula memperlambat iramanya dengan sesuka hati kita. Bahkan dengan pengaturan nafas secara berirama, seperti nafas segitiga 5-3-5 (buang 5 hitungan, tahan 3 hitungan, dan tarik 5 hitungan) banyak diantara kita yang bisa menghasilkan ilmu-ilmu tertentu. Dengan menambah pe kejangan otot dengan cara-cara tertentu pada saat kita melakukan nafas irama itu, ada pula yang bisa menghasilkan tenaga luar biasa, yang disebut orang sebagai tenaga dalam. Semakin halus kita bisa mengatur nafas kita tersebut, maka semakin halus pula kita bisa merasakan berbagai getaran yang ada disekitar kita. Ya..., kemampuan kita untuk mengatur nafas ternyata telah banyak melahirkan ilmu KEKUATAN dan ilmu GETARAN, yang penggunaannya sungguh sangat beragam.

Tapi seringkali pula kita tidak sadar bahwa sekecil apapun pengakuan kita tentang bisanya kita mengatur nafas sesuka hati, dengan perlahan tapi pasti akan membawa kita kepada sikap keangkuhan. Sikap pengakuan. Saya punya ilmu, saya punya kekuatan, saya punya getaran, saya punya...!. Kalau sudah begitu, maka siap-siap sajalah kita untuk dibuat sibuk oleh semua pengakuan kita itu.

Kita berhasil meningkatkan kesadaran kita bahwa saat kita merasa bisa untuk menarik nafas dengan gagah, namun ternyata pada ujung tarikan nafas, kita sudah tidak bisa lagi menarik nafas lebih banyak. Nafas kita seperti terhenti. MATI.
Ya..., sebenarnya saat itu kita sedang menangkap suasana kematian. Betapa kuatpun kita menarik nafas, maka kita sudah tidak mampu lagi melakukannya. Akan tetapi pada saat yang samapun kita mampu menyadari bahwa kita juga sedang menangkap suatu kehidupan. Karena saat itu juga ada AL MUHYI yang sedang bekerja Memberikan Kehidupan AL HAYYU kepada kita.
Tanda dari kehidupan itu adalah adanya dorongan yang kuat agar kita segera rela melepaskan nafas yang tadinya kita tahan. Daya Hidup itu begitu kuatnya mendesak kita agar kita rela melepaskan nafas kita itu. Daya itu seperti punya kehendak yang tidak bisa kita tahan sedikitpun. Setiap kita tolak daya itu, maka kita pastilah tersiksa.

Begitu kita ikuti daya itu, kitapun segera terbebas dari rasa tidak enak tadi. Karena memang pada saat itu kita sedang HIDUP. Setelah itu, pasal kita masih mau mengaku bahwa kita bisa mengatur nafas, tapi secara terbatas, ya boleh-boleh saja. Namun siap-siap sajalah untuk menangkap bahwa diujung hidup itu ternyata mati juga tengah menunggu kita dengan pasti.

But let me tell you, dengan kesadaran seperti ini, hanya bergerak dikesadaran antara hidup dan mati seperti ini, siapapun bisa melakukannya. Dan hasil yang didapatkanpun rasa-rasanya sih masih bisa-biasa saja. Tapi tetap lebih baik dari yang sebelum-sebelumnya.



DI DEPAN ALLAH, BERSAMA ALLAH, DITUNTUN ALLAH untuk MEMBACA ALLAH...

Sekarang, cobalah untuk tidak mengaku bahwa kita bisa mengatur-ngatur keluar dan masuknya nafas kita. Duduklah dengan tenang. Diam. Pejamkanlah mata agak sejenak (nanti kalau sudah mahir dengan mata melototpun bisa). Amatilah pergerakan dada kita. Lihatlah betapa dada kita kembang dan kempis ”dengan sendiri-nya”. Jangan hiraukan dulu teori-teori yang mengatakan bahwa gerakan nafas dan denyut jantung kita diatur oleh otak kita sendiri. Ahh... kok masih ketemu otak gitu lho...

Sekarang tarok sajalah kesadaran kita diujung pergerakan nafas kita. Ikutilah pergerakan keluar masuknya nafas kita itu dengan menarok kesadaran kita ”diujung” nafas. Ikutilah gerak irama keluar masuknya nafas kita itu dengan telaten. Hampir secara otomatis, kita tidak akan menaruh perhatian apa-apa lagi pada hal-hal lain selain irama nafas kita itu. Kita tidak ingat lagi pada objek-objek fikir lainnya yang sebelumnya berseliweran datang menjambangi kesadaran kita. Tapi masih ada nafas, belum tuntas.

Lihatlah, nafas kita berada antara Gerak dan Diam. Ooo... Diam..., Bergerak..., Diam..., dan kemudian bergerak lagi. Dan begitulah seterusnya... Dari diam mengalir gerak. Dari gerak juga mengalir diam. Diam itu sebenarnya sama dengan mati, dan gerak itu sejatinya adalah hidup. Dari mati itu ada hidup, dan dari hidup itu ada mati.

”...Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup...” (Ali Imran 27).

”Mati..., Hidup..., Mati...”, begitulah kita selalu dialiri oleh Allah secara bersamaan. Karena Dia memang adalah AL MUHYI (Sang Maha Menghidupkan), dan sekaligus Dia juga adalah AL MUMIET (Sang Maha Mematikan). Daya untuk menghidupkan dan mematikan itu pada saat yang sama mengalir tepat pada Wujud Yang Maha Meliputi, seperti mengalirnya udara menyapu setiap pelosok cakrawala. Udara yang bebas mengalir memasuki setiap paru-paru manusia, hewan, dan juga pori-pori tumbuhan.

Kemudian naikkanlah kesadaran kita sedikit keluar dari nafas itu. Caranya mudah kok:

Taroklah kesadaran kita diujung nafas. Ikutilah gerak masuk dan keluar nafas kita dengan cara mengamatinya. Ya..., amati sajalah keluar masuknya nafas kita untuk beberapa saat. Kalau kesadaran kita sudah bersandar kepada gerak nafas kita itu dengan ringan, seringan nafas itu sendiri, maka saat nafas kita bergerak keluar ikutilah dengan kesadaran sampai nafas kita berhenti di Rumah Nafas. Diam.

Cobalah dan latihlah agak beberapa saat untuk membawa kesadaran kita ke RUMAH NAFAS. Ya begitu...

Mari kita tembus Rumah Nafas dengan bersunguh-sungguh (JAHADU). Dan kemudian siap-siaplah untuk menerima petunjuk-Nya (HIDAYAH), ”Walladzina jahadu fina lanah diyannuhum subulana..., Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh (memancar) kepada Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan (seluk beluk) Kami…”, (Al Ankabut 69).

Sehingga, pada saatnya kita akan memahami kehakikian, kebenaran sejati, bahwa Rumah Nafas itulah yang dinamai dengan Allah. Karena memang Dialah Sang Pemegang Nafas seluruh yang hidup dan kehidupan.

Nah kemudian, nikmati dan pahami sajalah seluk beluk Allah yang dibukakan Allah sendiri didepan kita. Misalnya dengan memperkenalkan Diri-Nya sebagai Al Muhyi, Al Mumiet, maka kita akan dibawa mengikuti sebuah perjalan spiritual yang tanpa henti antara mati, hidup, mati, hidup, dan akhirnya semuanya bermuara kepada-Nya.

Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan?”, (Al Baqarah 28).

Sekarang siap-siaplah bahwa dari Diam, dari Mati itu ternyata ada Daya atau Gerak yang mendorong nafas kita kembali masuk kedalam paru-paru. Namun biarkan sajalah Hidup itu bergerak dengan sendirinya. Jangan ikuti lagi dengan kesadaran kita. Jangan ikuti gerak masuk nafas kita itu lagi. Arahkan dan tembuskanlah kesadaran kita terus bergerak menembus ke Rumah Nafas. Bawalah kesadaran kita terus ke Allah. Tembuskan kesadaran kita bergerak terus masuk kedalam DIAM.

Sampai gerak nafas itu sudah tidak usah kita perhatikan lagi, sehingga kemudian yang tersisa hanyalah adanya rasa hidup.

Seperti juga kita ini. Tubuh kita mulai dari tiada, kemudian ada saripati tanah yang digerakkan, ditumbuhkan, diberi roh, dihidupkan, dilahirkan, dibayikan, ditumbuhkan menjadi anak, di besarkan, diremajakan, didewasakan, dituakan, dirontokkan, dibongkokan, dilemahkan, dimatikan, diuraikan, disaripatitanahkan kembali, lalu tiada. Sungguh sebuah gerak spiritual yang tak tertahankan.

Ya...,kita tidak bisa menahan pergerakan itu sedikitpun, seperti tidak bisanya tumbuh-tumbuhan menahan pergerakan dari tiada lalu ditanahkan, dibakalbuahkan, dibijikan, ditumbuhkan, dibatangkan, dirantingkan, didaunkan, dibungakan, dibuahkan, dikuningkan, dirontohkan, dirapuhkan, dilapukkan, diuraikan, dan kemudia ditanahkan kembali. Begitulah seterusnya.

Tapi sekarang lihatlah, ooo... ternyata kita punya kelebihan dibandingkan dengan tumbuh-tumbuhan dan hewan. Walaupun gerak yang menghidupkan dan mematikan yang mengalir keseluruh sel-sel tubuh kita sama dengan yang mengalir keseluruh sel-sel tumbuhan dan hewan, akan tetapi tumbuhan dan hewan (walaupun hewan mampu menangkap aliran rasa melihat dan rasa mendengar yang tidak mampu ditangkap oleh tumbuhan) itu ternyata tidak bisa menangkap adanya aliran rasa tahu dan rasa ada, dan rasa hidup yang pada saat yang sama juga mengalir bersamaan dengan gerak yang menghidupkan dan mematikan ini.

Ooo..., ternyata sekarang yang tersisa pada diri kita hanyalah rasa melihat, rasa mendengar, rasa tahu, rasa hidup, rasa ada. Ya, rasa yang dirasa-rasa, sehingga yang muncul kemudian adalah pengakuan kita. Bahwa yang melihat adalah aku, yang mendengar adalah aku, yang tahu adalah aku, yang hidup adalah aku, yang ada adalah aku. Sedangkan yang ada dihadapan kita hanyalah kosong belaka.

Kalau sudah begini, hati-hatilah. Karena saat itu kita menjadi sangat angkuh sekali.
Apa-apa kita akui sebagai atribut kita, sebagai selendang kita, sebagai baju kita, sebagai jaket kita. Orang lain kita anggap tidak punya hak apapun juga atas apa-apa yang kita akui itu. Lalu kita tidak mau peduli lagi dengan orang-orang lain disekitar kita yang juga punya rasa pengakuan. Bahkan kita tidak mau tahu lagi dengan ’hukum kepatutan’ yang akan membedakan kita dengan binatang. Pada tatanan tertentu kita juga bisa tidak peduli dengan syariat atau ibadah yang sebenarnya itu berguna untuk meluruhkan pengakuan kita kearah yang sebenarnya.Tersiksa sekali sebenarnya...

Biar tidak tersiksa, tugas kita sebenarnya hanya tinggal selangkah lagi, yaitu jadilah muslimim. Jadilah orang yang tidak mengaku. Orang yang mau menyerahkan semua atribut pengakuan kita tadi kepada Wujud Kosong yang maha meliputi segala pengakuan kita. Karena makna muslimin itu adalah orang yang sudah tidak mengaku atas apapun juga, dan orang yang sudah berserah pada kehendak dari Wujud Yang Maha Meliputi. Kosong. Tiada...

Mlebu Allah (masuknya nafas karena Allah), Metu Allah (keluarnya nafas karena Allah)
Anekadaken urip iku Allah (Yang dikatakan hidup itu adalah Allah).
Uuutek dunungno kodrate Allah (pikiran ditempatkan dalam Qodrat Allah)
Ya Huu …. Allah
Ya Huu …. Allah
Ya Huu …. Allah
Nabi Muhammad iku utusane Allah (Nabi Muhammad adalah Rasulullah)

Lalu biarkanlah Yang Kosong Ini mengaku” Akulah Sang Maha Melihat ( Al Bashier),
Akulah Sang Maha Mendengar (As Samie’), Akulah sang Maha Tahu (Al ‘Aliem),
Akulah Sang Maha Hidup( Al Hayyu), Akulah Sang Maha Ada (Adh Dhahir), Akulah
Sang Maha Mengaku, Ya Ana…, Aku…!.

Sedang kita, ya Ndak Ada. Kita semata-mata hanya menjalankan misi kita dimuka bumi ini dalam suasana kekosongan dari pengakuan. Sehingga kita berhak dipanggil sebagai si mukmin.

“Wahai Hambaku, tetaplah kamu duduk seperti ini. Posisi kosong dari pengakuan terhadap apapun juga. Mukminin, Karena yang berhak punya pengakuan itu hanyalah Aku…”, tegas sekali Dia Mengaku…


“… wa ana minal muslimin, baik Ya Allah…, hamba bersedia untuk duduk dalam posisi tidak punya pengakuan apa-apa seperti ini dihadapan-Mu”, ungkap kita merendah-rendah.




DI DEPAN ALLAH, BERSAMA ALLAH, DITUNTUN ALLAH untuk MEMBACA ALLAH...

AL FATIHAH...

Selama ini kita mungkin mengira bahwa al fatihah itu hanyalah bentuk rangkaian ayat yang perlu kita baca berulang-ulang dalam sebuah aktivitas shalat dan do’a. Namun sangat sedikit sekali diantara kita yang tahu dan paham bahwa al fatihah itu sebenarnya adalah ajakan kepada kita untuk masuk selangkah demi selangkah kedalam sebuah sikap yang telah kita ucapkan sebelumnya: wa ana minal muslimin. Ya..., saya adalah seorang mukmin. Sikap seorang hamba di hadapan Raja Diraja Alam Semesta. Sikap seorang abdi dihadapan Al Malik. Sikap berketuhanan...!.

Setiap ayat dari surat al fatihah itu sebenarnya adalah sebuah tuntunan (isti’anah) yang mampu membawa seorang hamba yang tadinya, barangkali, adalah seorang hamba yang angkuh dan sombong menjadi seorang hamba yang sangat rendah dan tak berdaya dihadapan Allah Yang Sangat Agung. Surat Al Fatihah ini sebenarnya adalah untaian langkah perjalanan spiritual seorang manusia menuju posisi duduk seorang hamba sahaya Allah, abdi dalem Allah, kurir Allah, pesuruh Allah, duta besar Allah, pembantu Allah, wakil Allah (khalifatullah) dihadapan Allah Yang Maha Mencekam.

Lihatlah..., di ayat pertama saja, bismillah..., kita sudah ditunjukkan posisi duduk kita sebagai seorang wakil Allah dalam setiap aktivitas yang kita lakukan. Aku siap untuk tidak mengaku atas apapun juga yang akan kulakukan. Karena aku memang melakukan semuanya atas nama Allah, mewakili Allah, meminjam fasilitas Allah, memakai atribut Allah. Posisi Nol saja sebenarnya. Posisi yang siap untuk diisi oleh Allah, diberi mandat, dicelup oleh Allah. Shibgatullah (reloaded by Allah kata orang sekarang)..., untuk kemudian dengan bermandikan cahaya celupan Allah itu aku siap menaburkan segala aktivitas kesekelilingku sesuai dengan tugas-tugasku. Segala tugas yang menyebab aku diturunkan oleh Allah kepermukaan bumi ini...

Agar kita tidak merasa khawatir sedikitpun dengan tugas-tugas sebagai seorang hamba sahaya Allah tersebut, maka kita diajak oleh Allah selangkah demi selangkah untuk menyadari, merasakan, menikmati, dan kemudian meyakini bahwa ternyata kita tidak digeletakkan begitu saja oleh Allah selama kita menjalankan tugas-tugas kita tersebut. Ternyata Allah sangatlah sibuk memfasilitasi kita, menuntun kita, memegangi tangan dan kaki kita, mengaliri mata dan telinga kita, mencelup dada dan otak kita tanpa henti-hentinya, sehingga kitapun sebenarnya tidak usah bercapek-capek lagi dalam setiap aktivitas kehambasahayaan kita itu.
Wong Dia sendiri yang beraktivitas kok. Kita hanya tinggal diam saja, seperti hal diamnya kita saat kita bernafas. Untuk bernafas itu, kita hanya diam saja. Kita tidak usah capek-capek menarik dan mengeluarkan udara dari dan kedalam paru-paru kita. Kita cukup diam, dan dialah yang menggerakkan keluar masuknya
nafas kita.

Bahkan untuk sekedar berkasih sayangpun, kita sebenarnya tidak usah bersusah payah lagi, karena kasih dan sayang itu sudah dialirkannya secara gratis memenuhi alam semesta ini dari awal sampai akhir. Karena memang Dia lah Ar Rahman ( Sang pengasih), Dialah Ar Rahim ( Sang Maha Penyayang)...


HUA AR RAHMAN..., AR RAHIIM

”Wahai hamba-Ku, ulurkanlah tanganmu, begitu juga matamu, telingamu, hatimu, kakimu, lidahmu, dan otakmu untuk Ku-pakai sebagai alat-Ku, sebagai sarana-Ku, sebagai kurir-Ku dalam menyampaikan segala sesuatu yang Ku-inginkan untuk dirimu sendiri, maupun untuk keluargamu, untuk istrimu, untuk anakmu, untuk tetanggamu, untuk perusahaanmu, untuk karyawanmu, untuk atasanmu, untuk rakyatmu, untuk bumimu, dan untuk alammu yang memang seluruhnya telah kuserahkan pengelolaannya kepadamu. Lalukanlah semua tugas itu atas nama-Ku. Janganlah atas nama-nama yang lain, apalagi atas namamu sendiri.

”Wahai hamba-Ku, terimalah aliran Kasih dan Sayang-Ku sebagai bekalmu dalam menjalankan tugas-tugas dari-Ku tadi. Karena Akulah Sang Maha Pengasih (Ar Rahman) atas apapun juga yang kau butuhkan untuk kelancaran tugas-tugasmu itu. Apapun juga Kuberikan kepadamu. Apapun juga. Dan semua yang Kuberikan kepadamu itu, Kuiringi pula dengan segenap rasa Sayang-Ku. Karena Aku memang adalah Sang Maha Penyayang (Ar Rahim)”, sabda Sang Ada menuntun kita dalam sebuah prosesi serah terima mandat tentang pengelolaan alam semesta yang memang telah diciptakan-Nya untuk kita.

Tiba-tiba saja dada kita dialiri oleh rasa kasih dan sayang dari Allah yang sangat mencekam..., kam..., kam.... Rasa itu ditarok oleh Allah sendiri, dan kita dibisakan oleh Allah untuk menangkapnya. Walaupun kasih dan sayang Allah itu sebenarnya sudah ditarok-Nya dalam liputan-Nya sejak dari dulu (Al Awwalu) dan sampai kapanpun juga (Al Akhiru), namun seringkali dada kita ditutup oleh Allah untuk menyadari kasih sayang Allah itu karena kita memang telah mengisi dada kita dengan keangkuhan, pengakuan, dan kesombongan kita. Walau kita sudah diberitahu bahwa pengakuan, sombong, dan angkuh itu pastilah menutup dan mengeraskan hati kita.

Biarkanlah Allah menyelesaikan prosesi penyerahan kasih dan sayang-Nya itu kedalam dada kita. Akhirnya yang ada adalah rasa kasih sayang dari Allah yang sangat pekat yang memenuhi dada kita...

”Bismillahirrahmaanirrahiim...”, lalu kita sambut rasa kasih sayang-Nya itu dengan sangat santun. ”Hamba terima ya Allah segala mandat yang telah Paduka serahkan kepada hamba. Dan hamba berjanji bahwa setiap pemberian kasih dan sayang yang Paduka alirkan kepada hamba, akan akan hamba alirkan pula kepada lingkungan disekitar hamba sesuai dengan kadarnya masing-masing. Semua akan hamba alirkan kembali ketempat-tempat yang semestinya dengan penuh kepatutan dan kepantasan. Sehingga keberadaan hamba di dunia ini bisa dibedakan dengan keberadaan seekor binatang. Hamba terima Ya Allah”, ungkap kita dalam keadaan tubuh yang penuh bersimbahkan cahaya kasih dan sayang.

”Wahai hambaku, mulai dari sekarang dan seterusnya, bukankah kepada-Ku saja engkau seharusnya berterima kasih?. Karena Aku telah berkenan untuk memilih dirimu sebagai wakil-Ku dimuka bumi ini untuk menjalankan semua aktivitas-Ku dalam mengelola bumi ini dengan segala isinya, termasuk dirimu sendiri. Dan untuk semua itu kau sebenarnya tidak perlu bersusah payah sedikitpun. Karena Aku telah aliri dirimu dengan daya dari-Ku, sehingga dalam beraktivitas itu sebenarnya kau hanyalah bersandar kepada daya-Ku saja”, ungkap Sang Ada menimpali keraguan-raguan kita atas bisa atau tidaknya kita menjalankan tugas yang sangat berat itu.

Untuk memahami daya kemahapengasihan Allah yang telah dialirkan-Nya kepada kita, marilah kita lihat sejenak bagaimana cara Allah memberikan rizki untuk semua manusia. Karena memang Dia adalah Sang Pemberi Rizki...



DI DEPAN ALLAH, BERSAMA ALLAH, DITUNTUN ALLAH untuk MEMBACA ALLAH...

HUA AR RAZAK...

Allah adalah Ar Razak, Sang Pemberi Rezki untuk seluruh manusia dan juga untuk seluruh makhluk-Nya yang ada. Tapi cara Allah dalam memberikan rezki itu sangatlah unik. Rezki itu, seperti makanan, uang, ataupun rumah, tidak dijatuhkan-Nya dari langit dalam bentuk siap pakai. Rezki itu dialirkan-Nya melalui tangan-tangan orang yang sudah dipilih-Nya sendiri sebagai kurir-Nya dalam menghantarkan rezki itu kepada siapapun yang dikehendaki-Nya.

Sekarang cobalah lihat tangan kita masing-masing. Apakah tangan kita ini dipakai oleh Allah sebagai kurir-Nya dalam menyampaikan rezki kepada orang-orang disekitar kita. Sebab, begitu kita menerima uang, seperti gaji atau untung dari hasil perdagangan dan pertanian, maka sebenarnya saat itu juga Allah tengah berkata kepada kita:

”Wahai hamba-Ku, tolonglah Aku. Tolonglah sampaikan sebagian dari rezki yang Ku-alirkan ketanganmu itu kepada orang-orang miskin dan anak-anak yatim yang ada disamping rumahmu, atau dilingkunganmu, atau di daerahmu sendiri. Aku ingin memberi mereka makanan. Aku ingin memberi mereka pakaian dan perumahan. Maukah engkau menolong-Ku wahai hamba-Ku?. Maukah engkau kujadikan sebagai kurir-Ku wahai hamba-Ku, maukah engkau menjadi wakil-Ku dalam menyampaikan rezki-Ku kepada karib kerabatmu wahai hamba-Ku...?”.

Permintaan Allah itu begitu halus dan lembut merambat kedalam dada kita. Ada sebuah kehendak mengalir didalam dada kita untuk saling memberi dan berbagi atas rezki yang sampai ketangan kita. Sekecil apapun juga rezki yang sampai ketangan kita, Sang Ar Razak selalu saja menyentuh dada kita sehingga di dalam dada kita terbetik sebentuk kehendak untuk memberi. Orang mengira bahwa kehendak untuk memberi itu adalah kehendaknya sendiri, sehingga dia bisa memberi dan bisa pula tidak memberi. Sesukanya sendiri. Tapi percayalah, bahwa kehendak itu diletakkan oleh Sang Ar Rahim (Maha Pengasih) yang selalu ingin mengasihi seluruh ciptaan-Nya melalui tangan kita. Artinya Dia masih berkenan untuk memakai kita sebagai pesuruh-Nya menyampaikan rezki untuk mahluk-Nya yang lain. Dan sebenarnya itu adalah sebuah anugerah yang tak terkirakan besarnya. Anugaerah karena kita masih dipakai oleh Allah sebagai alat-Nya. Sungguh membahagiakan sekali...!. Bisa menjadi hamba dan pembantu seorang presiden saja sudah begitu menggembirakan dan membahagiakan kita. Makanya banyak orang yang harap-harap cemas menunggu telpon dari seorang presiden yang sedang mencari beberapa orang yang akan ditunjuknya sebagai menterinya, pembantunya, atau bawahannya.
Lalu jawaban kita atas sapaan Allah kedalam dada kita itu apa?. Apakah respon kita masih terbatas pada sekedar kata-kata saja, ataukah sudah kita jawab permintaan tolong dari Allah itu dengan langkah dan karya nyata...?. Lihatlah dada kita masing-masing, lihatlah tangan kita masing-masing. Dan itulah kualitas kita saat ini.

Agar kita tidak bingung-bingung dalam menterjemahkan Pikiran Tuhan atau Cara Tuhan dalam hal memberi rezki kepada orang-orang disekitar kita, maka ikuti sajalah contoh dari Rasulullah Muhammad Saw. Beliau mencontohkan adanya zakat dengan berbagai takaran, ada sadakah, ada infaq, ada wakaf, dan lain-lain sebagainya. Kita ikuti saja petunjuk Rasulullah itu dengan tanpa reserve. Just do it. Dan disitu pastilah, pasti..., ada manfaat balik yang akan kita dapatkan. Manfaat yang hitungannya diluar logika berfikir matematis manusia.

Semakin besar tangan kita dialiri oleh Allah dengan rezki, harta ataupun jabatan, maka sebenarnya saat itu Allah juga tengah memberikan kepercayaan-Nya yang lebih besar pula agar kita mau menyalurkan rezki yang lebih besar pula kepada orang yang lebih banyak pula. Artinya, semakin besar rezki yang dialirkan Tuhan ketangan kita, maka sebenarnya tangan kita itu semakin dipakai pula oleh Allah untuk menarok rezki itu ketangan orang lain. Ya..., kita semakin dipakai-Nya sebagai kurir-Nya dalam menghantarkan rezki bagi orang lain.

Tangan seorang karyawan biasa, boleh jadi hanya dipakai oleh Allah untuk kurir-Nya dalam memberikan rezki bagi keluarga si karyawan itu sendiri, atau untuk ibu bapaknya, atau untuk adik-adiknya, atau untuk beberapa orang lain yang membutuhkannya disekitar dia berada. Tangan seorang manager, sebenarnya tengah dipakai oleh Allah untuk memberikan rezki bagi beberapa karyawan dan keluarganya. Tangan seorang direktur utama sebuah perusahaan, hakikinya sedang dipakai oleh Allah untuk memberikan rezki bagi ratusan bahkan ribuan karyawan beserta anak dan istrinya. Tangan seorang presiden sebenarnya tengah dipinjam oleh Allah untuk mengalirkan rezki dari-Nya untuk kesejahteraan rakyat dalam negara yang dia pimpin.

Hal ini tak ubahnya seperti sungai-sungai yang mengalirkan air kelaut yang dalam perjalanannya berbagai ikan, tumbuhan, dan bahkan manusia dapat meraup manfaat yang sangat besar. Sungai-sungai tersebut dengan sabar membiarkan air mengaliri dirinya menuju laut lepas. Sang sungai bahkan tidak peduli apakah dalam perjalanannya air yang melewatinya itu kotor disana-sini ataupun bersih bening.
Semuanya dibiarkannya mengaliri diri-nya. Karena memang air adalah rezki yang amat sangat berharga bagi kehidupan makhluk Allah. Semakin besar sungai tersebut, maka semakin banyak pula ikan, hewan lain, tumbuhan, dan manusia yang akan merasakan manfaat dari air yang mengalir didalam sungai tersebut.

Andaipun suatu saat sang sungai ditahan oleh tangan-tangan manusia, sehingga air disungai tersebut seperti tertahan, sang sungai tetap saja membiarkan air tersebut berubah menjadi rezki lain dalam bentuk yang berbeda. Misalnya, dari sebuah sungai yang dibendung, terbetuklah energi listrik yang dapat dipakai oleh manusia untuk berbagai keperluan. Sungai yang dibendung itu bisa pula mengalirkan rezki dalam bentuk yang lebih besar daripada sungai itu hanya dalam bentuk biasa. Sistem pengairan untuk mengairi beribu hektar sawahpun bias tercipta.
Akan tetapi begitu tangan-tangan manusia sudah terlalu banyak ikut campur dalam mempengaruhi fitrah sang sungai, misalnya dengan cara membabat habis pepohonan disekitarnya, mempersempitnya, atau menjadikannya sebagai tempat pembuangan sampah raksasa, maka sang sungai itupun akhirnya takluk kepada hukum Tuhan yang lainnya, yaitu Hukum Penghancuran. Petakapun menghampiri apapun dan siapapun yang berada disekitar aliran sungai tersebut. Sang sungaipun berubah fungsi atau fitrahnya dari yang seharusnya adalah sebagai alat Allah dalam pemberi rezki bagi makhluk hidup menjadi sarana Allah untuk menghancurkan keangkuhan umat manusia. Karena Dia juga adalah Sang Maha Menghancurkan, Sang Maha Menghukum.

Lalu bagaimana dengan kita...?. Mari kita amati diri kita.


DI DEPAN ALLAH, BERSAMA ALLAH, DITUNTUN ALLAH untuk MEMBACA ALLAH...

Taroklah suatu ketika kita sedang diberi rezki oleh Allah. Hal pertama yang seyogyanya kita lakukan adalah mengamati dada kita untuk melihat apakah ada ”kretek (keinginan)” yang muncul didalam sana agar kita mau berbagai rezki itu dengan orang lain disekitar kita. Paling tidak, ukuran yang terendah, adalah mengamati ada atau tidaknya muncul keinginan kita untuk membayar zakat untuk sejumlah tertentu, misalnya 2.5%. Kalau ada, maka jangan tunda-tunda untuk mengeluarkan zakat itu. Jangan ditunda-tunda. Sebab saat itu artinya Allah masih mengakui kita, masih memakai kita, sebagai duta-Nya dalam menghantarkan rezki buat orang lain.

Sebab kalau kita sempat membiarkan otak kita untuk menilainya, maka boleh jadi otak akan keluar dengan pikiran-pikirannya seperti: ah nanti saja bayarnya, ah kok terlalu besar, ah...!. Sehingga akhirnya tidak jarang kita menunda-nunda pengeluaran zakat, bahkan sampai ada kita yang lupa untuk mengeluarkan zakat atas rezki yang kita dapatkan.

Apalagi kalau kita sampai menahan-nahan rezki itu hanya untuk diri kita sendiri.
Kita tidak mau mengalirkannya sebagian untuk orang lain walau hanya dengan cara sekedar membayar zakat. Maka saat itu namanya kita tengah berkhianat kepada Allah. Kita telah menahan aliran pemberian Allah yang seharusnya lepas mengalir tak tertahankan kepada orang-orang disekitar kita yang membutuhkannya, seperti anak yatim, orang miskin, dan sebagainya. Ya..., seperti lepas bebasnya air di sebuah sungai mengalirkan manfaat bagi semua makhluk yang hidup dibantaran sungai tersebut.

Kalau sudah begini, maka siap-siaplah kita untuk tidak dilirik lagi oleh Allah untuk menjadi kurir-Nya dalam menghantarkan rezki kepada orang lain. Allah tidak mengalirkan lagi kehendak atau keinginan untuk membayar zakat itu kedalam dada kita. Sehingga derajat kita sebagai Duta Allah, atau Kurir Allah dimuka bumi ini dicabut oleh Allah. Duh sebuah posisi yang tidak enak sebenarnya. Mungkin kalau kita ingin merasakan tidak enaknya hal itu, cobalah tanya kepada seorang duta besar sebuah negara yang tiba-tiba mandatnya dicabut paksa oleh presiden yang menunjuknya. Sakit sekali.

Akan tetapi tidak usah khawatir, bagi kita yang sudah kadung ditinggalkan oleh Allah, Dia sudah melengkapi kita dengan hati yang mati, sehingga rasa sakit itu sudah tidak ada lagi muncul didalam dada kita. Ya..., dada yang sudah dikunci mati oleh Allah itu tidak akan merasa sakit lagi walau Allah sudah nyata-nyata mencoret kita dari daftar Kurir dan Duta-Nya untuk urusan KEBAIKAN dimuka bumi ini. Sebagai akibatnya jadilah kita sebagai budak atau hamba dari harta itu sendiri. Sebuah posisi yang tak kalah enyiksanya sebenarnya. Dan siap-siaplah untuk kemudian kita dipakai oleh Allah sebagai alat-Nya untuk menghancurkan, untuk menyiksa, dan bahkan untuk membunuh sesama manusia.

Dengan dengan perlahan tapi pasti, harta yang ada ditangan kita itu akan berubah menjadi sumber petaka bagi diri kita sendiri, keluarga kita, bahkan untuk orang lain. George Walker Bush dan teman-temannya, dan tentu saja rakyatnya, adalah alah satu contoh dari orang-orang yang punya rezki melimpah, tetapi mereka malah dipakai oleh Allah untuk alat-Nya dalam penghancuran peradaban umat diberbagai belahan dunia. Ratusan ribu nyawa melayang, misalnya di Iraq dan fganistan, karena dada Bush dan teman-temannya memang tengah di aliri oleh Allah dengan daya penghancuran, daya penyiksaan, daya mematikan, karena memang llah adalah Al Muntaqim (Maha Menyiksa) dan Al Mumiitu (Maha Mematikan).

Mungkin banyak yang tidak setuju bahwa Allah seringkali pula berkehendak untuk menghancurkan suatu bangsa, atau suatu kaum. Apanya yang aneh?. Kadangkala bayi, anak kecil, yang menurut kita belum saatnya untuk meninggal, ee..., tiba-tiba iambil oleh Allah. Mati. Semua itu terjadi untuk menunjukkan kepada kita bahwa Ada Dia yang mematikan, yang menghancurkan, dan kemudian menata kembali suatu kaum untuk menjadi lebih baik lagi. Kalau kaum itu sudah tidak bisa diperbaiki lagi, maka kaum itupun di musnahkan oleh Allah dari muka bumi ini. Dan Allah punya cara yang sangat unik untuk melaksanakan semuanya itu. Cara yang tak terpikirkan oleh kita.

Salah satu ciri-ciri kaum atau bangsa yang akan atau siap-siap untuk dimusnahkan atau disiksa oleh Allah itu adalah, didalam kaum itu tumbuh subur perpecahan, pertentangan, perebutan tentang kebenaran. Agama dipecah-pecah menjadi golongan-golongan, dan masing-masing kaum merasa bahwa golongannyalah yang benar. Akulah yang lebih benar dari kamu, akulah yang lebih baik dari kamu, ana kahairu minhu..., yang dinamakan oleh Allah sebagai sikap seorang atau kaum MUSYRIKIN, kaum yang mempersekutukan Allah.

”dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah (MUSYRIKIN), yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (Ar Ruum 31-32).
Ciri-ciri lainnya adalah: hilangnya kemampuan kaum itu untuk bersikap sesuai dengan permintaan hukum-hukum fitrah dizamannya (seperti yang terjadi pada suku bangsa aborigin, indian, dan sebagainya); dan yang terberat adalah keagungan Allah dikeluarkan dari hati kaum itu (seperti yang terjadi pada kaum Bani Israel dimana badan wadagnya menyaksikan tapi hatinya kosong). Untuk masalah ini akan dibahas pada tempat terpisah.

Jadi agar kita tetap dipakai oleh Allah sebagai wakilnya untuk memberi rezki umat manusia, kalau mau, cobalah tanamkan sebuah kesadaran didalam dada kita bahwa saat kita diberi rezki oleh Allah, maka siap-siaplah kita untuk segera memberi sebagian rezki itu kepada orang lain. Karena memberi itu sebenarnya adalah sebagai tanda bahwa kita masih mau mewakili Allah dalam menghantarkan rezki dari-Nya buat orang lain. Dialah yang mengalirikan rasa ingin memberi itu kedalam dada kita. Dialah Ar Rahman (Sang Maha Pengasih, Sang Maha Pemberi).


DI DEPAN ALLAH, BERSAMA ALLAH, DITUNTUN ALLAH untuk MEMBACA ALLAH...

Kalau sudah ditarok oleh Allah rasa ingin memberi itu kedalam dada kita, dan begitu kita melaksanakan kehendak Allah itu, maka dada kitapun akan dialiri rasa bahagia yang amat sangat. Plong..., lapang sekali dada kita itu. Dan rasa bahagia inilah sebenarnya sebagai tanda dari Allah bahwa saat itu Allah sangatlah berkenan dengan kehambaan kita. Saat mana Allah mengumumkan tentang kehambasahayaan kita itu kepada para malaikat-Nya.

”Wahai Malaikat..., lihatlah..., dia itulah hamba-Ku, abdi-Ku. Hal seperti itulah dulu yang tidak kalian ketahui saat Aku menciptakan dia dihadapanmu. Kalian tidak akan bisa melakukan hal seperti itu kepada manusia. Karena untuk memberi seperti itu butuh ada tangan, kaki, mata, dan tubuh...”Dia itu adalah tempat Aku meletak Kehendak-Ku. Lihatlah..., dadanya kosong..., los..., tidak ada pengakuan sedikitpun terbetik didadanya saat dia memberi itu bahwa aktivitas memberi itu adalah atas keinginannya sendiri. Dia tidak mengaku, karena memang tidak sepantasnya dia mengakui apa-apa yang hakekatnya adalah aktivitas-Ku sendiri...”.

Jadi sangatlah aneh jika ada diantara kita yang dengan gagah perkasa berkata:
”saya akan paksa-paksakan diri saya untuk memberi, untuk berbagi, untuk bersedekah ini”. Lha..., menjadi kurir kok memaksakan diri. Wong tidak dianggap abdi oleh Allah kok kita mengaku abdi Allah. Makanya kalau kita memaksa-maksakan diri dalam berbagi itu, yang muncul malah rasa bangga diri kita. Rasa angkuh memenuhi dada kita. Dengan rasa bangga yang kental kita akan mengatakan: ”saya sudah memberikan ini kepada si anu, saya sudah menyerahkan uang kepada si fulan.
Sudah selesai tugas saya. Allah pasti tidak akan marah lagi kepada saya. Allah telah kusuap sehingga Allah tidak akan menurunkan bencana lagi kepada saya...”. Ah..., betapa sombongnya kita dihadapan Allah. Seakan-akan kita telah menjadi rival Allah dalam memberi rezki kepada orang lain. Sebagai akibatnya, dada kita akan menjadi sempit sekali dengan rasa angkuh yang tidak-tiba saya telah pekat memenuhi dada kita. Dan saat orang lain tidak menghargai apa-apa yang telah kita berikan itu, maka rasa sakitlah yang kemudian menyelinap kedalam dada kita. Sakit sekali.Padahal sebenarnya, seiring dengan mengalirnya rasa ingin mengasihi dan memberi antar sesama didalam dada kita, maka dengan sangat mengherankan mengalir pulalah
rasa saling menyayangi diantara yang mengasih dan yang menerima kasih atau pemberian itu. Salah satu tanda bahwa kita telah menjadi orang yang terpilih dalam mengasihi atau memberi ini adalah, munculnya rasa senang, sayang, dan bahagia yang amat sangat saat kita bisa memberi dan mengasihi orang lain disekitar kita. Jadi sangatlah keliru kalau ada diantara kita yang berkata: saya akan paksa-paksakan diri saya untuk memberi!. Lhaa... menjadi wakil Allah kok terpaksa.

Sekarang amatilah kembali dada kita.
”Lihatlah wahai hamba-Ku, liputan kasih dan sayang-Ku mengalir penuh kesudut-sudut terkecil dari seluruh ciptaan-Ku, alam semesta ini, termasuk dirimu sendiri. Aku berikan, Aku kasihkan, Aku alirkan seluruh pemberiankan-Ku pa henti. Karena memang Akulah yang menciptakan-Nya. Aku tidak akan pernah membiarkan seluruh ciptaan-Ku itu tergeletak dan terbengkalai begitu saja. Dan pemberian-Ku itupun Ku-barengi dengan cita rasa sayang-Ku yang sangat pekat. Sekali lagi rasa sayang-Ku. Akulah Ar Rahman, Akulah Ar Rahim, Akulah Rabbul Alamiin !”, lembut sekali rasa kasih, rasa sayang, dan pengakuan Allah itu ditarok didalam dada kita.

Kalau rasa kasih dan sayang Allah itu sudah mengalir pekat didalam dada kita, mencekam sekali rasa itu (karena memang yang mengaku itu adalah Allah), maka barulah kita ucapkan rasa terima kasih kita kepada Sang Rabbul ’Alamin:
”Alhamdulillahi rabbil ’alamin..., terima kasih ya Allah... Paduka masih berkenan mengalirkan rasa kasih dan sayang milik Paduka kedalam dada hamba untuk bisa hamba alirkan kembali kepada sesama dengan segala kepatutan dan kepantasan pula”.

Demikianlah, rasa kasih dan sayang itu mengalir bebas di seluruh sisi alam semesta ini. Siapapun yang mau dan bersedia menangkap aliran itu dan kemudian bersedia pula mengalirkannya kembali kepada sesama, maka pastilah dia akan disebut sebagai sipengasih dan sipenyayang.

Pemeluk agama nasrani, dengan sangat yakin memposisikan diri mereka sebagai penganut agama kasih. Dalam setiap da’wah mereka, mereka menyebarkan kasih, memberi, menolong, membantu lingkungan dan orang-orang yang memang embutuhkan pertolongan. Cepat sekali mereka datang ketempat-tempat bencana, lokasi kumuh dan terbelakang, wilayah yang disana banyak orang-orang miskin dan kekurangan.
Dan semua aktivitas itu mereka sebut sebagai perbuatan kasih atas nama Yesus yang mereka anggap sebagai personifikasi Tuhan. Walaupun arah kesadaran mereka saat menyebut Tuhan itu masih berupa wujud manusia, wujud yang masih keliru jika dilihat dari sudut pandang tauhid yang hakiki, akan tetapi karena yang mereka sampaikan adalah kasih, pemberian, pertolongan, maka pada orang-orang yang mereka kasihi dan bantu itu muncullah rasa sayang.
”Baik ya orang itu...”, kata orang-orang yang mereka bantu itu. Dan sepatah kata itu saja sudah sangat berbekas dihati mereka. Tinggal selangkah lagi saja mereka akan berubah menjadi penganut nasrani pula.

Sebaliknya, sangat sering kita lihat, terutama saat-saat mau pemilu, pilkada, pilkades, dan pil-pil lainnya, ketika suatu wilayah ditimpa musibah, maka berduyun-duyunlah orang datang membantu kesana. Tapi anehnya masing-masing yang mau membantu dan mengasih tersebut membawa bendera partainya masing-masing, membawa jaketnya sendiri-sendiri.
”Ini bantuan dari partaiku, partaiku adalah yang paling peduli atas penderitaan masyarakat, partaiku..., partaiku..., maka nanti jangan lupa pilih partaiku ya...!”, kata pemuka-pemuka partai-partai itu dengan muka yang sumringah... Ah... bisa aja kalian itu.

Walaupun begitu, ya begitulah Allah, Ar Rahman, Ar Rahim...!. Siapapun yang mau mengalirkan kasih, bantuan, pertolongan kepada orang-orang disekitarnya yang membutuhkannya, maka Allahpun akan mengalirkan rasa saling sayang diantara orang-orang yang memberi dan yang diberi kasih itu. Disinilah letak keadilan Allah. Karena memang Dia adalah Al Adlu, Sang Maha Adil. Sang tidak pilih-pilih saat mana siapapun yang mau mengalirkan kasih dan sayang dari-Nya, maka pastilah Dia akan mengganjarnya dengan kasih dan sayang yang berlipat ganda.

DI DEPAN ALLAH, BERSAMA ALLAH, DITUNTUN ALLAH untuk MEMBACA ALLAH... HUA AL MALIIK...

Demikianlah, setelah dada kita berbinar diselimuti aliran kasih dan sayang yang pekat, kitapun sebagai agen pembangun peradaban umat manusia bolehlah bersiap-siap untuk meretas jalan kehidupan dimanapun kita berada. Akan tetapi proses pengajaran-Nya belumlah selesai sampai disini.

”Wahai hamba-Ku, lihatlah sekarang. Akulah Sang Penguasa Masa, Akulah Sang Pemilik semua hari. Akulah Raja Yang Menguasai hari segala pembalasan. Akulah pemilik segala kasih dan semua sayang. Siapapun yang bersedia untuk mengalirkan kasih dan sayang-Ku kepada hamba-hamba-Ku yang lain, maka Akupun akan membalasnya dengan menambah berlipat ganda aliran kasih dan sayang-Ku kepadanya.
Karena dialah hamba-Ku, dialah pesuruh-Ku, dialah kurir-Ku, dialah abdi-Ku, dialah pelayan-Ku, dialah prajurit-Ku. Lihatlah..., mereka itulah contoh-contoh dari hamba-hamba-Ku yang bersimbah kasih dan sayang-Ku. Ada Idris, Ada keturunan Adam lain yang telah Aku beri nikmat, Ada keturunan Ibrahim dan Israil, ada orang-orang yang telah Aku beri petunjuk dan nikmat karena mereka telah bersedia menjadi abdi-Ku. Mereka-mereka itu, tatkala Ku isi dada mereka dengan ayat-ayat-Ku, tanda-tanda-Ku, dan kemegahan-Ku, mereka itu pastilah menyungkur dengan bersujud dan menangis...

Bukan-kah Aku ini Rajamu tempat kau mengabdi juga...?”.

Tiba-tiba saja, tangan kita menggigil, mata kita menggigil, suara kita menggigil, atom-atom tubuh kita menggigil. Karena saat itu kedalam dada kita tengah dialirkan oleh Allah rasa kagum, rasa tercekam, rasa menghormat yang sangat pekat kepada-Nya. Selanjutnya dengan penuh rasa takjub kita tinggal mengiyakan saja kesaksian kita itu:

”Maaliki yau middiin..., benar ya Allah Engkaulah Rajaku yang menguasai segala pembalasan”, bisik kita dengan ta’zim.

Agar kita juga tahu tentang bagaimana rasanya ketika dada kita tidak dialiri lagi oleh Allah dengan rasa kasih dan sayang dari-Nya, maka adakalanya ketika kita shalat itu dada kita menjadi garing. Rasa shalat kita menjadi hambar. Dan itulah sumber utama bagi kehancuran peradaban manusia.

”Sebaliknya, siapapun diantara hamba-hamba-Ku yang menghalangi aliran kasih dan sayang-Ku kepada hamba-hamba-Ku yang lain, artinya kasih dan sayang-Ku itu ditahannya untuk dirinya sendiri, maupun untuk sekelompok orang dari golongannya sendiri, maka Akupun dengan seketika itu akan menghentikan aliran kasih dan sayang-Ku kepadanya. Karena saat itu juga dia telah berubah menjadi seorang hamba yang berkhianat kepada-Ku. Ya..., si pengkhianat dia itu. Dadanya akan Ku tutup Ku Cover sehingga dadanya itu tidak mampu lagi merasakan aliran ka ih dan sayang-Ku, walau kasih dan sayang-Ku itu masih tetap mengalir deras didekatnya.
Lihatlah, begitu banyak contoh orang-orang yang telah Ku tutup dadanya itu dimasing-masing zaman. Semua itu adalah ayat-ayat-Ku sebagai pelajaran buatmu...”

Kalaulah kita jeli untuk melihat, mengamati, dan membaca sejarah, sederet nama berikut adalah contoh dari orang-orang yang telah tidak dialiri lagi oleh Allah dengan kasih dan sayang dari Allah. Ada Kabil, ada Firu’an, ada Namrud, ada Abu Jahal, ada Abu Lahab, ada Hitler, ada Mosulini, ada ada Hirohito, ada GW Bush dan kroninya, bahkan juga mungkin diri kita sendiri yang telah menjadi ayat Tuhan yang menggambarkan bahwa manusia ini tanpa dia mampu menangkap aliran kasih dan sayang Allah didalam hidupnya, maka dia akan berubah jadi makhluk yang lebih sadis dari binatang. Manusia-manusia yang tangannya bergelimang dengan darah sesama. Karena memang hati mereka sudah tidak mampu lagi menangkap guyuran kasih dan sayang Allah yang sebenarnya sangat melimpah ruah dialam semesta ini.

“Wahai hamba-Ku, bukankah Aku ini Rajamu, alamat engkau menghambakan dan mengabdikan diri...?. Ku ciptakan dirimu ini semata-mata adalah untuk menghamba kepada-Ku. Ku rangkai atom-atom tubuhmu menjadi bentuk dirimu agar bisa kusuruh-suruh menghantarkan sesuatu untuk orang-orang yang akan Ku beri sesuatu tu. Ku siapkan penciptaan dirimu agar bisa kujadikan abdi dalem-Ku untuk mengerjakan hal-hal yang bisa membangun peradaban umat manusia.

Bukankah engkau ini semata-mata hanyalah abdi-Ku, hamba sahaya-Ku, kurir-Ku, wakil-Ku, pesuruh-Ku...?”.

Tiba-tiba saja kita telah dituntun-Nya, didudukan-Nya diposisi yang sedemikian rendahnya. Hati kita menjadi rebah, mata kita rebah, atom-atom tubuh kita rebah dalam sebuah kerendahan dan kekerdilan yang sangat mencekam. Saking rendahnya, sehingga kita hanya bisa berucap:

“Iyya ka na’budu..., benar ya Allah. Hanya kepada-Mu lah hamba mengabdi. Hanya dan hanya kepada-Mu sajalah hamba menghambakan diri. Hamba bersedia Engkau suruh kesana kemari untuk menghantarkan rezki, berbagi ilmu, membagi kasih, menyebar sayang, menebar adab. Hamba bersedia untuk Engkau perintah-perintah untuk melakukan apapun juga, karena memang hamba hanyalah hamba sahaya yang sangat rendah dan kerdil dihadapan-Mu...”.

Seiring dengan pengakuan akan kehambaan diri kita dihadapan Allah itu, maka secara otomatis sebenarnya lenyap pulalah segala pengakuan kita akan berbagai hal yang memang bisa kita akui sebagai atribut kita. Semua keangkuhan kita, segala pengakuan kita, segala aku kitapun runtuh dihadapan Allah, Sang Wujud yang sangat mencekam hati.

“Ya Allah..., melihatku ini adalah milik-Mu, karena Engkau memang adalah Al Bashiir...
Ya Allah..., mendengarku ini juga milik-Mu, karena Engkau memang adalah Al Sami’...
Ya Allah..., hidupku ini adalah milik-Mu, karena Engkau memang adalah Al Hayyu...”

Ya..., hanya orang yang tidak waras sajalah yang masih mengaku sesuatu yang bukan miliknya sebagai miliknya. Ini sama saja dengan seorang pembantu presiden yang tengah mengaku-ngaku bahwa dialah yang presiden. Atau seorang pengontrak rumah dari orang lain, kemudian dia mengaku-ngaku bahwa rumah itu adalah rumahnya sendiri.


Bersambung
Deka

0 komentar:

Posting Komentar