Kenapa Nafs Bukan Ruh

Membaca Qalam, Menuai Pahala

Ass. Wr. Wb,
Pak Yusdeka, mohon ma'af sebelumnya apabila merepotkan.
Apabila berkenan, kami mohon pencerahan dari Bapak untuk ayat-ayat dibawah ini:
Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku. (QS. 89:27-30)

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)", (QS. 7:172)

Pertanyaannya:
Mengapa dalam ayat-ayat tsb diatas Allah SWT menyebut kita sebagai Nafs?.
Bukan Ruh?.

Terima kasih sebelumnya atas kesediaan Pak Yusdeka.

Wass. Wr. Wb,
Muhammad Sabari
Ass wr wb.

Yth Pak Sabari, mudah-mudahan Bapak tetap dalam limpahan rahmat dari ALLAH SWT.
Mungkin untuk menjawab pertanyaan bapak tidak ada salahnya kalau Bapak mencoba lihat kembali artikel-artikel saya yang lain tentang pengertian NAFS ini. Betapa kita sudah sangat bingung dengan segala istilah yang berkenaan dengan NAFS ini. Misalnya saja kemudian muncul istilah-istilah lainnya seperti JIWA (JIVA dalam bahasa Sanksekerta). Ada SUKMA, BATIN, ROHANI. Ada pula HATI (QALBU) yang bisa keras membatu dan bisa pula lembut. Ada pula istilah NAFSUL AMMARAH, LAWWAMAH, SUFIAH, MUTHMAINNAH, dan sebagainya. Njlimet sekali…
Akan tetapi untuk sekedar refreshing saja pertanyaan diatas akan saya coba jawab dengan lebih sederhana lagi, yaitu lebih dekat kepada pengalaman kita sehari-hari saja. Kita selama ini ragu-ragu untuk mengeksplorasi diri dan kehidupan kita sendiri sebagai bahan pembelajaran bagi kita. Kita lari menjauh dan semakin menjauh menuju diri dan pengalaman hidup orang lain yang boleh jadi memang telah lebih baik dari kita. Sehingga kita lalu terheran-heran saja melihat begitu jauh berbedanya diri dan kehidupan kita ini dengan orang lain yang kita rujuk tersebut tersebut.
Lalu yang muncul kemudian adalah sikap keragu-raguan terhadap diri kita sendiri. Kalau tidak begitu, maka yang akan muncul hanyalah sikap eforia dan utopia kita dalam menjalankan kebaikan. Dan hasilnya lebih banyak capeknya dari pada enaknya.

BEGINI...
Sebaiknya kita tidak perlu terlalu terpaku dengan sebuah jawaban secara tertulis seperti yang sering kita lakukan selama ini. Saat berbicara tentang NAFS, maka logika berfikir kita akan dibawa kemana-mana sesuai dengan apa yang sampai kedalam otak kita, sehingga kita jadi bingung sendiri akhirnya.
Sebenarnya kita tidak usah bingung dengan ayat 27-30 surat Al Fajr tersebut. Cobalah perhatikan ayat tersebut. Allah berbicara tentang NAFS (diri manusia), bukan RUH. Karena RUH adalah substansi yang sudah patuh kepada Allah, sudah ikut kehendak Allah, yang berasal dari Allah. Sedangkan NAFS adalah substansi yang sangat labil, yang kadangkala lebih buruk dan jahat dari binatang ternak..

Nggak percaya…, cobalah perhatikan DIRI KITA dalam suasana yang sedikit hening dan kemudian lakukanlah eksplorasi kesadaran sebagai berikut:
* Saat kepala kita ada masalah, misalnya berdenyut-denyut dan rasanya tidak karuan, maka kita katakan bahwa “kepalaku sedang sakit”, dan kita tahu persis bagian mana dari kepala kita itu yang sakit tanpa salah sedikitpun. Bisa saja sakit itu dibagian kepala kiri atau kanan, atau kesemuanya.
Akan tetapi dengan sedikit pengalihan objek kesadaran saja, misalnya kita datang ke daerah pantai, dengan cuaca yang sangat indah, lalu kita secara perlahan-lahan mengarahkan kesadaran kita kepada keindahan dan keluasan pantai tersebut, maka dengan sangat mengejutkan sakit kepala kita akan nyaris tidak terasa lagi. Kemudian, begitu kita kembali mengarahkan kesadaran kita kepada hal-hal yang disekitar kita, maka sakit kepala itu kembali seperti mendera kita.
Nah…, yang sakit itu apakah kepala saya atau sayanya sendiri yang sakit….?. Yang terjadi sebenarnya adalah bahwa saya bisa merasakan kepala tersebut sakit karena memang kesadaran saya saat itu sedang berada di kepala saya. Akan tetapi saat kesadaran saya tidak berada dikepala saya, misalnya di keluasan dan keindahan pantai tadi, maka saya nyaris tidak merasakan lagi sakit kepala saya yang tadinya sangat sakit.

Hal yang sama juga bisa kita cobakan saat tangan atau bagian tubuh kita yang lainnya yang sakit. Dengan cara yang sama kita bisa merasakan bahwa saat kita bisa mengalihkan kesadaran kita keluar dari bagian tubuh kita yag sakit itu, maka kita bisa tidak merasakan sakitnya lagi, paling tidak untuk beberapa saat.
Makanya salah satu metoda pengobatan yang dicoba kembangkan orang adalah dengan metoda “kembali” ke alam. Dan ternyata banyak pula yang berhasil, sehingga kemudian bermunculanlah pengobatan alamiah, yang salah satunya adalah pengobatan dengan meditasi di alam terbuka.
Dan cara yang paling jitu untuk bisa keluar dari kesadaran tubuh kita ini adalah dengan cara TIDUR. Ya…, tidur. Saat kita bisa tidur, dimana kesadaran kita terhadap ketubuhan kita berada pada titik NOL, maka kita nyaris tidak akan merasakan sakit sedikitpun atas bagian-bagian tubuh kita yag sakit. Dan tidur inipun ternyata bisa dipaksa dengan memakai obat tidur, opium, obat bius, narkotika, dan sebagainya.
*Sekarang mari kita lihat bagian lain dari NAFS (DIRI) kita, yaitu bagian DADA. Kalau kita perhatikan dada kita dengan bodoh-bodohan saja, maka akan kelihatan bahwa dada setiap orang nyaris sama saja. Dia terbuat dari daging yang notabene hanyalah saripati tanah, carbon, oksigen, dsb. Akan tetapi ternyata di dalam dada kita ini ada pula ruangan atau tempat untuk bisa terjadinya berbagai suasana yang disebut orang dengan SUASANA RASA.
Saat kita berada dalam sebuah problematika hidup yang sangat pelik, rumit, dan berat, maka bagian pertama yang akan terkena adalah DADA kita. Dada kita akan terasa seperti mau pecah, seperti dipalu, yang sakitnya bisa membuat kita meraung-raung. Misalnya saat kematian orang yang kita cintai, maka dada kita akan seperti diiris-iris sehingga tidak jarang kita lihat orang yang meronta-ronta, histeris, berkelojotan seperti ayam disembelih. Bahkan saking kuatnya rasa sakit itu menghantam dada kita, maka ada pula diatara kita yang sampai pingsan dibuatnya.

Sebaliknya saat kita mendapatkan berbagai kemudahan dalam hidup kita, maka DADA kita akan bergelora pula dengan munculnya sensasi-sensasi berupa rasa enak, bahagia, senang, dan sebagainya. Bahkan pada puncak rasa senang dan bahagia, kita juga bisa melompat-lompat, berteriak, menangis, dan bahkan sampai pingsan pula dibuatnya.

Andaikan kita coba pula membawa kesadaran kita menjauh dari dada tersebut, misalnya dengan kita mendengarkan suara musik, alunan bacaan ayat-ayat kitab suci, ataupun sekedar berbagi susah maupun senang dengan orang lain, maka sakit yang mencabik-cabik atau senang yang meledak-ledak di dalam dada kita tadi akan bisa kita redam, atau paling tidak kita kurangi.
Kalau kita perhatikan dengan sadar penuh…, yang sakit dan yang senang, yang menderita dan yang berbahagia itu apakah dada kita, atau kitanya sendiri yang sedang sakit dan senang, bahagia dan menderita itu…?.

MEMETIK PELAJARAN AWAL…
Dari dua contoh ini saja kita sudah dapat memetik kepahaman bahwa ternyata Jiwa kita ini mirip dengan labirin yang mempunyai ruangan-ruangan. Batas antara ruangan-ruangan itu tidak bisa lagi kita definisikan dengan tepat. Nah tiap-tiap ruang itu mempunyai karakternya masing-masing. Ketika kesadaran kita tertambat diruangan tertentu di dalam dada kita, maka kita akan merasakan dampak atas karakteristik ruangan itu.

Biar mudah untuk memahaminya, maka anggap saja kita ini punya sebuah rumah yang memiliki dua buah ruangan. Salah satu dari ruangan itu dirancang mempunyai tungku pembakaran yang bisa memanaskan ruangan tersebut sesuai dengan kebutuhan. Misalnya, panas ruangan itu bisa diatur hanya sekedar untuk memanaskan udara saat musim salju datang, atau bisa juga diatur untuk memanggang puluhan ekor bebek untuk kebutuhan sebuah restoran. Sedangkan ruangan yang satunya lagi dibuat dengan spesifikasi mempunyai “chiller” yang bisa diatur-atur sesuai kebutuhan pula. Chiller di ruangan itu bisa diatur sekedar hanya untuk mendinginkan badan kita saat musim panas yang kering kerontang atau bisa pula dipakai untuk membekukan daging untuk persediaan makanan beberapa waktu lamanya.
Marilah kita berhenti disini sejenak untuk mengamati tentang rumah kita tersebut. Walaupun di dalam rumah kita itu ada ruangan yang berkarakter panas dan ruangan lainnya dengan karakter dingin, akan tetapi ruangan-ruangan itu sendiri sebenarnya tidak akan pernah tahu apakah dia ruangan panas atau ruangan dingin. Masing-masing ruangan itu hanya akan menjalankan destininya sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan oleh sang perancangnya sendiri, yaitu menjadi ruangan panas dan ruangan dingin. Tidak lebih dan tidak kurang.
Nah…, agar ruangan-ruangan itu bisa berfungsi dan bermanfaat sesuai dengan spesifikasi dan karakternya masing-masing, maka harus ada orang yang dikirim keruangan tersebut untuk memanfaatkannya sesuai dengan PERUNTUKANNYA, memakainya pada SAAT yang tepat, dan mengelolanya dengan CARA-CARA yang baik pula. Orang yang dikirim tersebut bisalah dinamakan sebagai seorang pengelola, seorang duta, atau seorang suruhan yang mewakili perancang dan pemilik rumah tersebut dalam mengelolanya dengan baik.
Kalau sang duta salah dalam menentukan peruntukkannya, waktunya juga keliru, serta cara-caranya yang amburadul, maka ruangan-ruangan itu dikatakan sebagai ruangan yang tidak digunakan sesuai dengan destininya masing-masing. Sehingga dapatlah dikatakan bahwa ruangan itu telah disalahgunakan oleh orang yang diamanatkan untuk mengelolalnya dengan baik. Dan orang yang menyalahgunakan amanat tersebut dinamakan juga sebagai Sang Pengkhianat.
Sekarang marilah kita amati bagaimana sang orang suruhan itu melakukan kegiatannya sehari-hari. Misalnya, anggap sajalah kita sendiri yang menjadi orang suruhan dalam mengelola rumah tersebut. Suatu saat kita masuk keruangan yang pertama yang panas. Untuk sementara marilah kita abaikan saja dulu untuk apa kita masuk kedalam ruangan tersebut. Kita amati saja bagaimana tindakan kita saat kita masuk keruangan tersebut. Begitu kita masuk keruangan yang panas tersebut, maka kita langsung pula akan merasakan adanya panas yang mengalir kepada kita. Kita akan merasakan kepanasan. Kita akan mulai terpengaruh oleh panasnya ruangan tersebut. Kita menjadi tersiksa dengan udara panas tersebut. Ya… kita menjadi tersiksa kepanasan. Dan kita menjadi TAHU, menjadi PAHAM bahwa ruangan yang kita masuki itu adalah ruangan yang ada tungku perapiannya. Dan akibatnya kita malah mulai pula kehilangan orientasi kita. Kita mulai mengira-ngira dan merasa bahwa kitanya sendirilah yang panas. “Ooo…, diri saya kepanasan nih …!”, gumam kita.
Pada langkah berikutnya, yang akan kita lakukan paling tidak ada dua hal. Pertama…, kita buru-buru ingin KELUAR dan MENJAUH dari ruang panas tersebut. Kita akan mencari jalan keluar dan masuk keruangan yang tidak panas. Atau kedua…, kita akan berputar-putar saja diruang tersebut tidak tahu apa yang akan kita lakukan, sehingga kita menjadi sangat tersiksa oleh panasnya ruangan tersebut, bahkan sampai-sampai kita bisa mati kepanasan.
Misalkan kita ingin buru-buru keluar dari ruangan panas tersebut, dan kita tahu pula jalan keluar dari ruangan panas tersebut. Begitu pintu ruangan itu kita buka, maka kita lalu masuk keruangan kedua yang ternyata adalah ruangan yang dingin. Kita lalu masuk keruang yang dingin tersebut. Untuk sementara kita mungkin bisa merasa terhindar dari serangan udara panas seperti diruangan yang pertama tadi. Akan tetapi dalam beberapa tarikan nafas saja kita akan mulai pula TAHU dan PAHAM bahwa ruangan yang kita masuki itu benar dingin adanya. Lalu kita mulai tersiksa dengan dinginnya ruangan yang kedua. Udara dingin mulai menusuk-nusuk tulang kita pula sehingga kita mulai menggigil kedinginan. “Duuhh…, saya kedinginan..!”, keluh kita mulai kehilangan orientasi pula. Lalu kita ingin pula keluar dari ruangan yang dingin tersebut mencari ruangan atau alamat lainnya yang tidak dingin. Kalau tidak keluar, maka kita akan tersiksa terus oleh dingin yang membekukan darah tersebut, sehingga kita bisa pula mati kedinginan.

Dan begitulah…, kalau rumah yang kita kelola itu hanya mempunyai dua ruangan saja, yaitu ruangan dingin dan ruangan panas, maka dari waktu kewaktu kita akan sibuk terus untuk keluar masuk dari masing-masing ruangan tersebut agar kita tidak terlalu tersiksa dengan panas dan dinginnya ruangan tersebut. Celakanya lagi…, kita juga akan kehilangan ORIENTASI pula dan MENGIRA bahwa kita sendirilah yang panas dan dingin itu. Kesadaran kita mulai tinggal hanyalah sebatas ruangan yang panas dan dingin tersebut. Keadaan itu berlajut terus sampai sang pemilik rumah mengambil kembali mandatnya dari kita untuk mengelola rumah tersebut.
Lalu buat apa kita disuruh untuk mengelola rumah tersebut kalau hanya untuk membuat kita sibuk menghindarkan diri dari siksaan ruang yang panas dan ruangan yang dingin itu…?. Lalu buat apa dia menyiksa kita…?. Alangkah jahatnya sang pemilik rumah itu kalau dia menyuruh kita menglola rumah tersebut hanya untuk membuat kita tersiksa. Kita mulai menyalah-nyalahkan sang pemilik rumah yang menyuruh kita mengelola rumah tersebut:

“Pemilik rumah macam apa dia itu…, tega-teganya dia menyiksa saya…?”, protes kita dengan garangnya.
“Dimana keadilanmu wahai sang pemilik rumah…?”, kita mencak-mencak didalam ruangan yang panas dan dingin tersebut setiap waktu.


YANG JARANG DILIRIK …
Untuk keluar dari suasana tersiksa diatas karena rumah tersebut yang hanya punya dua ruangan, yaitu ruangan panas dan ruangan dingin, sebenarnya ada cara lain yang sangat jitu dan sederhana. Cara itu adalah dengan kita “keluar” dari ruangan di rumah tersebut dan kemudian “datang langsung” kepada sang perancang dan pemilik rumah tersebut dan memohon kepadanya untuk segera dibangunkan ruangan lainnya yang tidak panas dan tidak dingin. Ya…, minta kepadanya ruangan yang sedang-sedang saja. Atau bisa pula kita meminta kepadanya agar dibuatkan alat yang bisa mengatur suhu dimasing-masing ruangan tadi itu. Sehingga kita bisa mengatur suhu ruangan tersebut sesuai dengan kebutuhan kita.
Hanya untuk bisa terlaksananya langkah alternatif seperti ini dibutuhkan prakondisi dimana kita harus tahu persis dengan sang perancang dan pemilik rumah tersebut. Kita harus tahu dirinya, tahu alamatnya, tahu sifatnya, tahu cara meminta kepadanya. Kalau kita tidak tahu dengan pas, atau ragu-ragu sedikit saja, maka kita akan datang kepada orang yang salah. Kita yang datang kepada orang yang salah dengan alamat yang salah pula disebut juga sebagai orang yang tersesat.
Walaupun begitu untuk langkah ini sebenarnya tidaklah terlalu susah, atau tepatnya sederhana saja. Karena memang pada dasarnya kita sudah kenal dengan dia dengan sangat dekat. Sebab sang pemilik rumah itu sendirilah yang telah menugaskan kita untuk mengola rumah tersebut melalui sebuah proses serah terima yang sederhana pula.

“Aku adalah pemilik rumah ini, bukankah kau itu adalah pesuruhku, maka kau kelolalah rumah ini dengan baik…!”, tanya sang pemilik rumah tersebut, walau dengan nada angkuh tapi tetap saja menyiratkan kemesraan.
Lalu kita menyambutnya dengan merendah-rendah: “benar tuan, kau adalah tuanku, dan aku adalah pesuruhmu, saya siap untuk mengelolanya dengan baik…!”.
Begitulah kira-kira bunyi transaksi sederhana itu. Dan sebenarnya kita tinggal me-recall atau me-rewind saja suasana serah terima yang sederhana tersebut diatas, dan meminta kepada sang penyuruh kita itu agar dibuatkan ruangan yang baru tadi. Dan luarbisanya lagi, karena dia sangatlah penyayang kepada kita, maka dia akan membangunkannya buat kita. Sehingga kita tinggal masuk kembali ke dalam rumah tersebut yang telah ditambah oleh sang pemiliknya dengan ruangan lain yang tidak panas dan tidak dingin. Dan kembali kita jalankan tugas kita mengelola rumah tersebut.
Sekarang taroklah bahwa kita dibangunkannya sebuah ruangan lain yang tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin dirumah tersebut, misalnya ruangan beranda diluar rumah. Tambahan lagi kita ruangan tersebut juga sudah dilengkapi dengan alat pengatur suhu sehingga kita bisa mengatur suhu masing-masing ruangan tersebut sesuai dengan yang dibutuhkan. Maka hampir secara otomatis kita juga akan merubah sikap dan tindakan kita dalam mengelola rumah tersebut. Seringkali pula kemudian kita kehilangan orientasi didalam rumah tersebut.
TERDISORIENTASI…
Saat kita masuk kedalam ruangan yang sedang panas membara, maka kita lalu lari dari ruangan tersebut menuju beranda rumah. Dari sana kita bisa menggunakan alat atur suhu untuk mengatur suhu diruangan yang panas tersebut. Kita bisa mengatur panas ruangan tersebut menjadi sama dengan temperatur ruangan atau sedikit diatasnya. Begitu nanti suhu di beranda luar mulai dingin pula, misalnya saja salju mulai turun, dan suhu di beranda luar ruangan mulai dingin pula, maka kita bisa buru-buru masuk keruangan panas tadi yang sekarang sudah tidak panas membara lagi. Sehingga kita bisa merasa enak dan tidak tersiksa lagi. Ya.., kita bisa merasa nyaman walau temperatur diluar rumah sedang rendah sekali karena diguyur oleh salju yang tebal.
Andaikan yang kita lakukan adalah terbalik, dimana saat suhu udara diberanda luar rumah juga sedang dingin-dinginnya, lalu kita masuk keruangan yang juga dingin membeku didalam rumah, maka saat itu kita disebut sebagai orang yang sedang tersesat. Ya…, kita tersesat dengan masuknya kita keruangan yang salah, sehingga kita akan tetap saja menjadi tersiksa kedinginan. Kita akan sama tersesatnya jika kita masuk keruangan yang panas saat udara diberanda luar rumah juga panas.
Begitu kita masuk keruangan yang tepat dan temperaturnya juga sudah diatur dengan pas pula, maka ketika kita berhadapan dengan udara diberanda luar rumah yang terlalu panas ataupun terlalu dingin, kita akan merasakan betapa nyamannya ruangan rumah yang kita masuki itu. Kita akan merasakan kenikmatan dalam menjalankan tugas kita mengelola rumah tersebut. Kita tidak akan tersiksa lagi seperti diawal-awal tadi baik oleh lingkungan disekitar rumah kita maupun oleh karekateristik ruangan-ruangan yang ada didalam rumah tersebut. Pada taraf tertentu kitapun mulai kehilangan orientasi pula sehingga kita menganggap bahwa kitanya sendirilah yang enak dan nyaman tersebut. Sehingga kita bergumam dengan renyah:

“Ahhh…, saya bisa merasakan betapa nikmatnya saat ini …”, atau
“Uuennak tenan oiii…”, kata kita mulai kehilangan orientasi pula.


Padahal adanya siksa, adanya tidak enak, adanya nyaman, dan adanya enak adalah karena adanya ruangan panas, ruangan dingin, dan lingkungan beranda rumah yang temperaturnya berubah-rubah sesuai musim yang mempengaruhi kita. Ya…, kita hanya sekedar terpengaruh saja oleh panas dan dingin itu tadi saat kita berada dalam ruangan yang panas dan yang dingin tersebut. Akan tetapi kita seringkali kehilangan orientasi sehingga kita merasakan bahwa kitalah yang panas, kitalah yang dingin, kitalah yang tersiksa, kitalah yang bahagia. Singkatnya adalah bahwa dengan kesadaran seperti ini, maka kita hanya menganggap bahwa diri kita tak ada bedanya dengan ruangan-ruangan panas dan dingin tersebut tadi.
Kalaupun ada muncul juga kesadaran kita kepada pemilik rumah yang telah berbaik hati kepada kita, paling-paling yang kita lakukan adalah dengan dengan mengucapkan ungkapan-ungkapan klise seperti:

“Ah…, betapa baiknya sang pemilik rumah ini. Beliau telah memberikan saya rumah yang nyaman ini untuk saya kelola…!”, ungkap kita dengan berbinar-binar.
“Duh…, terima kasih wahai sang pemilik rumah yang baik…!”, puji kita kepadanya tanpa kita tahu dimana dia berada.


Demikianlah…, sampai pada tahapan seperti ini, maka kita juga hanya akan sibuk hilir-mudik dan keluar-masuk ruangan-ruangan yang tepat pada saat yang tepat demi untuk menghindar dari temperatur yang tidak nyaman bagi diri kita sendiri. Dari hari kehari kita hanya sibuk mencari kenikmatan, mengejar kebahagiaan, mengapai ketenangan untuk diri kita sendiri. Ya…, amanat yang diberikan kepada kita untuk mengelola rumah tadi dengan baik, malah kita gunakan hanya untuk kenikmatan diri kita sendiri.
Akan tetapi kita lupa bahwa ruangan panas dan dingin yang ada di dalam rumah kita itu juga ada manfaatnya bagi orang lain. Ruangan panas itu dapat kita gunakan untuk memanggang makanan seperti roti, bebek, ayam ataupun daging sapi. Lalu hasilnya bisa dimakan oleh orang. Begitu juga…, ruangan dingin dapat kita pakai untuk mengawetkan bahan makanan dan sayuran, sehingga bisa pula dimanfaatkan orang lain pada saat yang tepat. Dan banyak lagilah manfaat yang bisa dipetik dari ruangan panas dan dingin didalam rumah yang kita kelola.
Kalau sudah begini…, maka setidak-tidaknya kita sudah bisalah sedikit banyaknya untuk mengaku bahwa kita sudah berhasil dalam menunaikan amanat dari sang pemilik rumah untuk mengelola, memanfaatkan rumah yang diberikan kepada kita.

TERKURUNG DI LUAR…
Saat kita sudah begitu leluasanya keluar-masuk dari ruangan panas dan dingin dirumah yang kita urus, dan begitu gampang pula ternyata untuk datang dan mengadu kepada sang pemilik rumah saat kita berhadapan dengan panas dan dinginnya ruangan rumah kita, maka dengan gampang pula kita akan berada dalam kurungan baru. Kita terkurung tapi diluar. Ya…, kita terkurung diluar rumah dan enggan masuk kembali kerumah yang menjadi tanggung jawab kita.
Begitu kita terkurung diluar, maka banyak kemungkinan yang bisa terjadi. Dan kesemuanya itu sungguh mengasyikkan. Kemungkinan pertama…, kita bisa keluar-masuk rumah-rumah lain disekitar kita. Walaupun karakter rumah tetangga itu sebenarnya tidak banyak bedanya dengan rumah kita sendiri, disana juga ada ruangan panas dan dingin, akan tetapi konon kabarnya rumah tetangga itu bisa kelihatan lebih indah. Kita kemudian menjadi asyik pula mengurus ruangan rumah tetangga kita yang sebenarnya adalah tanggung jawab orang lain untuk mengurusnya. Saat kita berhasil membenahi satu rumah tetangga kita, dan kemudian keberhasilan itu berlanjut ke rumah tetangga-tetangga lainnya, maka ketika itu pula kita akan menjadi sangat sibuk sekali. Bisa jadi pula kita akan lupa dengan rumah kita sendiri. Kalau kita sudah begini, kita kan tidak amanah juga namanya, kalau tidak mau dikatakan TERSESAT.
Kemungkinan kedua…, begitu kita bisa berada diluar rumah, ternyata disana tidak ada panas dan tidak ada dingin lagi. Ya…, diluar itu tidak ada rasanya lagi. Tidak ada tersiksa lagi. Tidak ada apa-apanya lagi. Bisa saja diluar rumah tersebut kita juga merasa sangat dekat dengan sang pemilik rumah. Sehinga kita menjadi tidak bersemangat lagi untuk masuk kedalam rumah untuk mengurusnya. Karena memang di rumah tersebut kita kembali akan didera olah rasa panas dan dingin. Masih ada rasa tersiksanya. Posisi tidak maunya kita kembali kedalam rumah ini bisa disebut juga sebagai posisi seorang pengkhianat.

Demikianlah pelajaran awal yang dapat kita petik dalam upaya kita untuk memahami kenapa Tuhan selalu berbicara kepada kita sebagai sosok NAFS, bukannya RUH. Sekarang mari kita lanjutkan saja perjalanan kita. Mumpung sedang ada pengajaran yang turun…!.

MEMBACA DIRI (NAFS)…
Untuk pertanyaan Mas Sabari diatas, ternyata kita bisa mendapatkan jawabannya melalui ekplorasi terhadap diri kita sendiri. Yang diperlukan hanyalah mau atau tidaknya kita untuk melakukan sedikit saja perubahan pada kesadaran kita. Cobalah SADARI dengan PENUH bahwa DIRI KITA (NAFS) ini ternyata adalah bentuk AYAT TUHAN, OMONGAN TUHAN yang jarang sekali kita dengar dan kita baca (IQRAA). Padahal setiap saat ALLAH sibuk “Berbicara dan Mengajari” kita melalui diri kita ini, seperti diisyaratkan Allah dalam ayat-ayat Al qur’an berikut:
Dan pada penciptaan kamu dan pada binatang-binatang yang melata yang bertebaran (di muka bumi) terdapat ayat-ayat Allah untuk kaum yang meyakini, (QS al Jaatsiyah 45: 4).

Sebenarnya, al-Qur'an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zalim. (QS Al Ankabuut 29:49)
Akan tetapi, diri kita inilah yang jarang sekali kita dengan dan baca sebagai ayat-ayat dan bahasa dari Tuhan, padahal Allah menyatakan dalam Al qur’an dengan tegas sekali …:

“TILKA AYATULLAHI NATLUHA ‘ALAIKA BIL HAQ…!. itulah ayat-ayat allah yang kami membacakannya kepadamu dengan sebenarnya; FABIAYYI HADIISTIN BA’DALLAHI WA AAYAATIHI YU’MINUUN…!, maka dengan perkataan manakah lagikah mereka akan beriman sesudah (kalam, ayat) Allah dan keterangan-keterangan-Nya (itu). (QS al Jaatsiyah 45: 6).
“ITULAH…!!!!, jangan kemana-mana dulu”, kata Allah yang perlu kita baca dan amati agar kita bisa menuai kepahaman tentang diri kita sendiri dan juga tentang Tuhan tentunya.

“ITU semua Kusampaikan bukan dengan main-main, tapi dengan HAQ…!. Maka dengan ayat macam apa lagi kalian bisa Ku yakinkan untuk bisa beriman kepada-Ku…?”, kata Allah seperti bentuk sebuah keluhan atas kebebalan kita.
Oleh sebab itu mari kita lakukan saja pengamatan terhadap diri kita seperti yang diperintahkan Tuhan dalam ayat tersebut…!.
Pada tingkat yang lebih nyata pengamatan itu mungkin telah kita lakukan dengan detail yang sangat mengagumkan, yaitu proses kejadian kita dari saripati tanah, kemudian berproses didalam rahim ibu menjadi menjadi seorang bayi, lalu berproses menjadi tua dan mati. Begitu pula seluruh atribut alat-alat kita yang bisa dilihat dengan mata. Semua sudah tidak perlu diragukan lagilah pengamatan yang kita lakukan. Dari sinilah kemudian kita bisa menangkap bahasa Allah yang lebih komplit dalam bentuk bahasa ilmu kedokteran, ilmu biologi dan sebagainya. Untuk hal-hal seperti ini tidak akan kita bahas dalam artikel ini. Silahkanlah bapak atau ibu yang berkecimpung dalam ilmu-ilmu tersebut mengurainya dengan lebih baik.
Kemudian pada tingkat yang lebih dekat dengan kita saat ini, yaitu aliran masuk dan keluarnya nafas kita serta detak jantung kita sendiri, juga telah saya bahas pada artikel lainnya, yaitu “Membaca Qalam, Menuai Paham”. Silahkan baca lagi artikel tersebut untuk menambah kepahaman kita.
Akan tetapi, begitu kita masuk ketingkat pemahaman yang lebih abstrak, yaitu mengenai keakuan kita, kejiwaan kita sendiri, diri kita sendiri (AN NAFS) maka akan kita dapatkan begitu banyaknya uraian-uraian yang sampai kepada kita. Beratus-ratus buku telah diwarikan kepada kita secara tertulis. Dan yang kita lakukan malah lebih kepada membaca buku-buku tersebut, dengan semangat empat lima pula, daripada kita membaca dan mengamati diri kita sendiri. Akhirnya kita memang tumbuh menjadi generasi yang tahu banyak tentang diri kita secara bahasa tertulis, akan tetapi pada saat yang sama kita telah menjadi MISKIN pada taraf bahasa KEPAHAMAN, KEMENGERTIAN, atau NGEH…

Untuk mengurai benang kusut teori-teori yang menyebabkan kita ini tidak begitu paham lagi tentang diri kita sendiri, maka mari kita amati dada kita seperti yag diperintahkan Allah pada ayat al Qur’an diatas (… di dalam DADA orang-orang yang diberi ilmu…). Analogi tentang ruangan panas dan dingin diatas dapatlah kita pakai sebagai batu loncatan untuk menaikkan kesadaran kita.
DADA, RUMAH BERUANGAN BANYAK…
Kalau kita amati dada kita dengan sedikit ketenangan dan keheningan saja, maka kita akan mendapatkan bahwa dada kita yang hanya beberapa liter volumenya ini sungguh mempunyai ruangan yang tak terbatas jumlahnya. Ruangan-ruangan tersebut akan mampu memuat berbagai suasana yang tidak lain adalah buah dari perjalanan hidup kita sehari-hari saja.
Tidakkah kita terlalu sering dibuat terheran-heran dengan dada kita sendiri, ketika disana muncul berbagai perasaan atau suasana yang seperti memenjarakan kita dengan kuat didalamnya. Seringkali kita tiba-tiba saja merasa tidak bisa berbuat baik, seperti halnya juga kita tiba-tiba merasa iri dan benci kepada orang lain. Dengan atau tanpa alasan yang jelas, suatu saat kita seperti masuk ke dalam ruangan di dalam dada kita yang penuh dengan hawa atau dorongan yang tidak baik. Kita bisa membenci orang dari hari ke hari. Setiap kita melihat seseorang yang kita benci, ataupun hanya dengan sekedar mendengar namanya disebut saja, kita seperti dibawa masuk kedalam ruangan yang sedang bergolak hebat. Ada banyak hal yang bisa terjadi sebagai akibatnya. Yang terburuk diantaranya adalah tiba-tiba saja kita telah membunuh orang yang kita benci tersebut, sehingga orang lain ataupun kita sendiri hanya bisa terbengong-bengong heran dan menyesal sesudahnya.

Rasa benci kita kepada orang tadi itupun bisa kita bedakan kadarnya antara orang ke orang. Kita bisa membedakan bahwa kita berada di ruangan kebencian terhadap si A yang tingkatnya lebih rendah dari ruangan kebencian terhadap si B. Andaikan kita punya seribu orang yang kita benci, maka kita akan tahu pula bahwa dada kita juga punya seribu ruangan kebencian yang berbeda-beda intensitasnya. Akibatnya dari hari ke hari kita hanya akan bergerak pindah dari satu ruang kebencian ke ruangan kebencian berikutnya. Dan hal ini sungguh menyiksa dan menyakitkan sekali.
Sekiranya kita ingin tidak membenci si A, kita ingin mencintainya, namun sekuat apapun usaha kita untuk itu, sementara kita saat itu masih berada di dalam ruangan kebencian kepadanya, maka hasilnya pastilah gagal. Kita malah akan membencinya lebih hebat lagi. Karena ruangan untuk membenci dan mencintai itu memang sangatlah berbeda.

Kalau kita tetap saja INGIN mencintai si A setelah kita membencinya, maka kita harus keluar dari ruangan kebencian itu dan masuk keruangan lainnya di dalam dada kita, yaitu ruangan kecintaan. Akan tetapi celakanya, tidak mudah bagi kita untuk bisa berpindah ruangan tersebut. Ingin saja belumlah cukup. Kita masih butuh DAYA untuk bisa pindah keruangan cinta. Jikapun kita mencoba MEMAKSA-MAKSAKAN DIRI untuk pindah dari ruangan kebencian ke ruang kecintaan kepadanya, maka kita akan butuh DAYA yang sangat besar dan WAKTU yang sangat lama. Dan malah kita lebih sering gagalnya dari pada berhasil. Kalaupun berhasil, maka tempo-tempo rasa kebencian itu bisa muncul kembali bahkan dengan intensitas yan lebih besar dari sebelumnya.
Memang ada cara keluar alternatif yang diajarkan kepada kita, misalnya dengan berwudhu’, atau shalat dua rakaat, atau berdo’a kepada Tuhan, atau membaca Al Qur’an, atau berpuasa. Atau bisa pula dengan bernyanyi, melukis, darmawisata ke gunung dan ke pantai, bersemedi, meditasi, olah raga, dan sebagainya. Akan tetapi karena kita melakukan semua usaha tersebut pada saat kita masih berada di dalam ruangan kebencian itu, maka kitapun berdo’anya dengan penuh kebencian pula. Ya…, kita melakukan semua usaha-usaha tersebut dengan keadaan masih berada dalam pengaruh ruangan kebencian kepada si A. Sehingga alih-alih kita bisa keluar dari ruangan kebencian itu, kita malah diberi daya tambahan oleh Tuhan untuk lebih membencinya.
Keadaan ini sangat mirip sekali dengan keadaan yang dilakukan oleh IBLIS ketika berhadapan dengan ADAM. Iblis membawa kebenciannya kepada Allah dan minta daya tambahan agar dia bisa membenci ADAM sampai dunia kiamat. Dan ternyata Tuhan pun mengabulkannya… Tentang perseteruan antara Iblis dan Adam ini akan saya bahas nanti lebih lanjut dalam artikel lain “Bersama Iblis Menghadap Tuhan”.
Baru dengan satu ruangan didalam dada kita, yaitu ruangan kebencian, kita sudah demikian tersiksanya. Apalagi kalau kita masuk ke ruangan-ruangan penyiksaan lainnya, misalnya ruangan IRI, ruangan TIDAK SABAR, ruangan MUNAFIK, ruangan MARAH, ruangan TAKUT dan KHAWATIR, ruangan GELISAH, ruangan tidak bisa berbuat baik, ruangan tidak bisa khusyuk dalam shalat, ruangan ingin berzina terus, ruangan ingin mencuri dan korupsi terus, dan lain-lain sebagainya. Semua ruangan tadi itu tak ubahnya seperti sebuah TUNGKU PERAPIAN, TUNGKU KEGELISAHAN, TUNGKU PENYIKSAAN buat kita saat kita menjalani kehidupan kita. Ruangan penyiksaan ini dalam bahasa agama disebut juga dengan NERAKA. Silahkan sajalah kalau mau menamakannya dengan neraka dunia.
Lalu saat kita berada di ruangan tungku kegelisahan (neraka) ini, maka kita dinamakan dengan DIRI BERKARAKTER AMMARAH (NAFSUL AMMARAH). Akan tetapi nama itu tidaklah terlalu penting sebenarnya. Yang patut menjadi perhatian besar kita adalah bahwa saat berada di ruangan tersebut, kita tidak bisa keluar dari pengaruh buruknya. Ya…, walaupun kita tahu bahwa ruangan itu adalah ruangan kegelisahan, akan tetapi kita tidak punya daya sedikitpun untuk bisa keluar dari sana. Sehingga dari waktu ke waktu, kita lalu menjadi sangat sibuk untuk mengatur diri, menahan diri, dan menghindar dari pengaruh buruk ruangan penyiksaan itu. Kehidupan kita akan menjadi rumit karena kita bisa dengan mudah berpindah dari ruangan IRI ke ruangan BENCI, lalu ke ruangan MUNAFIK, lalu ke ruangan MARAH, dan ke ruangan-ruangan yang sejenis lainnya.

Pada sisi yang bertolak belakang dengan tungku perapian tadi, terdapat pula ruangan-ruangan lain yang penuh dengan KEBAIKAN. Sebutlah apa saja, misalnya ruangan TAQWA, IMAN, IKHLASH, KHUSYU’, TAWADU’, SABAR, TIDAK MENCURI dan TIDAK KORUPSI, TIDAK BERZINA, TIDAK MENYAKITI dan TIDAK MENGANIAYA orang lain, dan sebagainya, maka kesemuanya itu hanyalah sebuah keadaan atau ruangan besar dengan banyak nama. Itulah yang disebut dengan RUMAH BESAR KEBAIKAN.
Selama ini, kita tahu persis ILMU tentang semua istilah-istilah ruangan kebaikan itu tadi. Kita kadang kala juga sudah berusaha sekuat tenaga untuk datang ke masing-masing ruang kebaikan itu, karena kita MENYANGKA bahwa masuk kesana tidak dibutuhkan apa-apa lagi. Kita kira dengan tahu ilmunya saja itu sudah cukup. Kita tinggal masuk saja lagi kesana. Akan tetapi begitu kita masuk ke ruangan tersebut, satu ruangan saja dulu, yaitu ruangan IMAN, kita malah menjadi bertanya-tanya dan mengeluh: “kok… ruangan keimanan ini tidak ENAK…, tidak ada RASANYA…, HAMBAR saja …”. Akibatnya kita tidak betah tinggal berlama-lama disana. Lalu kita lebih banyak singgah ke ruangan sebelah, yaitu ruangan Tungku Penyiksaan. Satu persatu ruangan-ruangan ketidakbaikan itu kita masuki dengan telaten.
Kita yang sering terbolak-balik terus dalam perjalanan kita dari satu ruangan kebaikan lalu ke ruangan ketidakbaikan, lalu keruangan kebaikan lagi, dan tempo-tempo mampir lagi keruangan ketidakbaikan, dinamakan juga dengan DIRI YANG MENYESAL (NAFSUL LAWWAMAH). Sikap dan kepribadian kita begitu labilnya, makanya kemudian kita dipanggil pula dengan nama si QALBU (si HATI, si PLIN PLAN). Atau bisa juga kita dipanggil dengan nama DIRI YANG CENDERUNG KEPADA KECINTAAN (NAFSUL SUFIAH), saat mana kita sudah bisa masuk ke ruangan yang lebih banyak kebaikannya. Bisa saja kemudian ada yang menambahnya dengan sebutan si QALBUN SALIM, NAFSUL MARHAMAH, NAFSUL… sebutlah apa saja…!. Yang dipanggil dengan nama itu ya kita sendiri juga, yang memang sedang berada dalam sekapan sebuah ruangan, baik atau buruk.
Selama ini kita sering keliru bahwa saat kita berbicara QALBU, NAFSUL AMMARAH, NAFSUL LAWWAMAH, kita lebih mengarah BUKAN kepada diri kita. Kita mengira itu terpisah dengan diri kita. Padahal yang dipanggil dengan nama-nama tadi itu adalah DIRI KITA juga sebenarnya. Bukan siapa-siapa. Diri kita ini dalam bahasa arab disebut dengan NAFS. Kita dipanggil sesuai dengan ruangan yang kita tempati dalam menjalankan fungsi kemanusiaan kita. Ruangan yang kita masuki itu akan sangat mempengaruhi karakter dan peran macam apa yang akan kita jalankan. Seperti hanya seorang seorang yang bernama ADI, dia bisa dipanggil sebagai si PENCURI saat dia masuk ke rumah orang lain tanpa ijin dari pemilik rumahnya. Dia bisa dipanggil dengan nama si TERHUKUM saat dia sudah memasuki ruangan penjara akibat dia tertangkap basah saat mencuri. Dan saat saat dia sudah kembali menempati ruangan bersama dengan keluarganya maka dia bisa disebut sebagai si BEBAS, si MERDEKA. Namakan dan sebutlahlah diri kita ini dengan apa saja, maka yang dipanggil dengan nama itu sebenarnya tetap saja diri kita sendiri yang tengah berada di sebuah RUANGAN di dalam dada kita.
Sebagai catatan, saat kita berbicara tentang ruangan-ruangan di dalam dada kita tersebut tadi, janganlah kita artikan secara harfiah seperti ruangan di dalam rumah kita. Batas-batas antara ruangan kebaikan dan ruangan keburukan di dalam dada kita itu tidak bisa dibayangkan seperti apa-apa. Ada tapi seperti tidak ada. Dikatakan ada, karena memang kita sangat dapat membedakan saat kita masuk ke dalamnya. Kita tahu persis saat mana kita berada di dalam ruangan benci, seperti sama tahunya kita saat berada di dalam ruangan kerinduan atau kecintaan. Benci dan cinta itu tidak akan pernah bersatu dan bercampur sedikit pun. Keduanya seperti dibatasi dengan lapisan setipis rambut dibelah sejuta. Jadi tidak ada itu yang namanya benci tapi rindu dan sayang, kecuali hanya dalam lagu saja. Dikatakan tidak ada, karena memang tidak ada batas-batas fisik yang bisa kita raba dan amati dengan jelas.
Kalau begitu di mana letak suatu ruangan yang kalau kita masuk ke dalamnya kita dipanggil sebagai NAFSUL MUTHMAINNAH…??. Ruangan itu adalah RUANG BESAR KETENANGAN, RUANG KELUASAN. Dan kita yang masuk ke dalamnya dipanggil dengan sebutan si DIRI (yang sudah masuk keruangan) TENANG, si DIRI (yang sudah masuk keruangan) LUAS, si DIRI yang sudah tidak ada lagi merasaan ketakutan dan kekhawatiran…. Ruangan macam apa pula ini…??.
Pertanyaan ini begitu pentingnya untuk kita ketahui jawabannya. Karena melalui surat Al Fajr ayat 27, kita diberi tahu bahwa kita yang sudah masuk keruangan KETENANGAN inilah yang DIPANGGIL oleh Allah untuk datang kepada Allah dan kemudian Allah sendiri berkenan untuk MENAROK dan MENEMPATKAN kita di ruangan RUMAH BESAR KEBAIKAN dan KEBAHAGIAAN, sebagaimana juga yang dilakukan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang lain.
Dan ternyata dari isyarat ayat Al Fajr diatas kita diberikan sebuah petunjuk praktis, bahwa untuk masuk ke RUMAH BESAR KEBAIKAN itu HARUSLAH Allah sendiri yang menarok kita disana. Tidak bisa tidak. “Masuklah…!!!., kata Allah mempersilahkan kita masuk ke ruangan itu dengan mesra, santun, dan sambil dituntun-Nya pula. Subhanallah…!.

Untuk menjawab pertanyaan ini, mari sajalah kita meneruskan pengamatan kita, sudah kadung basah soalnya …
RUANGAN NAFSUL MUTHMAINNAH…
Dari uraian diatas tadi, kita bisa menarik sebuah benang merah dalam hal kepahaman tentang diri kita dan ruangan-ruang yang disediakan buat kita saat kita merangkai peran kita. Bahwa ada tiga ruangan besar yang bisa kita masuki di dalam hidup kita ini. Ada ruangan besar Tungku Perapian (Keburukan), Ada ruang besar Kebaikan, dan ada ruang besar Ketenangan. Dua ruang besar pertama berikut dengan beberapa contoh masing-masingnya telah kita bahas dengan cukup lengkap. Bahwa selama kesadaran kita masih berada di dalam dada, maka pastilah disana kita akan merasakan adanya rasa enak dan tidak enak, ada rasa cinta dan benci, ada rasa siksa dan nikmat. Tepatnya di dada kita ini pastilah ada suasana IM dan YANG. Suasana yang fitrahnya memang berpasang-pasangan secara berlawanan. Dan semua pasangan-pasangan perasaan itu tadi bisa datang menjambangi kita silih berganti dari waktu ke waktu.
Sekarang marilah kita bahas sedikit tentang ruangan besar ketiga, yaitu Ruang Besar Ketenangan, Ruangan NAFSUL MUTHMAINNAH.
Ruang Besar Ketenangan adalah sebuah posisi dimana kita berada DILUAR ruang Keburukan maupun ruang Kebaikan. Artinya objek kesadaran kita sudah TIDAK lagi berada di dalam DADA kita. Marilah kita amati ruangan di luar dada kita itu dengan penuh kesadaran. Kalau ada yang merasa kesulitan, maka amati sajalah alam semesta di sekitar kita. Jangan lagi amati ruangan di dalam dada kita. Keluarlah dari ruang penyiksaan dan ruang kebahagiaan itu. Paling tidak agak sejenak saja. Karena nanti ruangan-ruangan itupun akan sangat berguna untuk kita pakai pada saat yang tetap dan tujuan yang tepat pula.
Untuk keluar dari kesadaran di dalam dada kita, sebenarnya tidak sulit, dan malah tidak perlu berkonsentrasi apa-apa. Caranya itu mirip sekali dengan bagaimana kita mengarahkan kesadaran kita kepada orang tua kita. Walaupun orang tua kita saat ini berada sejauh ribuan mill dari kita, akan tetapi dengan sangat rileks dan tidak harus berkonsentari kita bisa ingat dan saar penuh kepada beliau. Kita bisa “menghadapkan” wajah kita kepada wajah beliau dari kejauhan. Meskipun kita tidak bisa melihat wajah beliau dengan mata kepala kita sendiri, akan tetapi kita tetap bisa sadar PENUH dan UTUH kepada beliau.
Dan dengan cara yang sama kita bisa melakukannya kepada apapun dan dimanapun juga. Bahkan kepada Allah pun bisa. Ayat 200 surat Al Baqarah berikut sudah mengisyaratkannya dengan sangat sederhana:
“… Fadzkurullaha kadzikrikum aabaa akum aw asyadda dzikra…,
yang terjemahan bebasnya kira-kira: maka ingatlah, sadarlah kepada Allah, sebagaimana kamu ingat dan sadar kepada bapakmu, kepada nenek moyangmu, bahkan ingat dan sadar kepada Allah lebih dari ingat dan sadar seperti itu…”.
Jadi gampang saja sebenarnya untuk ingat dan sadar kepada Allah itu. Menurut peta kita, Al Qur’an, salah satu prosesnya sama dengan proses ingat dan sadar kita kepada orang tua kita. Akan tetapi ingat dan sadar kepada Allah itu jauh MELAMPAUI ingat dan sadar kepada orang kita. Hanya saja selama ini kita tidak diberikan kepahaman oleh Allah untuk melaksanakannya. Karena dengan modal pengetahuan yang sampai kepada kita dari waktu ke waktu, kita telah membuat hal yang sangat-sangat mudah seperti ini menjadi SANGAT-SANGAT SULIT. Istilah ingat dan sadar itu malah kita maknai sebagai MELIHAT, MEMVISUALKAN, MEMPERSEPSIKAN sesuatu secara fisikal kebendaan. Karena memang selama ini ingatan dan kesadaran kita hanya berputar-putar disekitar masalah alam kebendaan saja. Akhiratpun kita coba pula untuk visualisasikan, sehingga kita sedari kecil sudah sangat fasih dengan fantasi tentang indahnya syurga dan kejamnya neraka. Ya…, bak cerita di komik-komik dan sinetron itulah. Dan pada puncaknya, akhirnya Tuhan pun adapula diantara kita yang mencoba untuk membendakan-Nya, menyerupakan-Nya dengan manusia, berikut dengan segala atribut kemanusiaan pula.
Ahhh…., kita ini memang sukanya mempersulit-sulit diri kita sendiri. Dan ternyata kita sendiri pula yang akan menanggung akibatnya. Tapi biarlah…, mari kita telusuri saja rumah ketenangan ini beberapa langkah saja. Nggak usah banyak-banyak, nanti kita bisa jadi pusing sendiri. Ada apa gerangan yang tersimpan di dalamnya….?.

JEJAK SANG PENJELAJAH RUANG…
Sekarang marilah kita coba apa-apa yang terdapat di ruang besar ketenangan itu. Lho…, dada kita yang berisikan ruang besar kebaikan dan ruang besar keburukan yang kita tinggalkan itu hanyalah bagian-bagian kecil saja yang berada dalam liputan ruang besar ketenangan. Dan…, di sana-sini juga ternyata ada ribuan bahkan jutaan ruangan dada-dada lainnya terhampar yang telah diamanatkan kepada diri-diri lainnya untuk dipakai dalam menjalankan tugas dan fungsi tertentu untuk selama waktu yang tertentu pula.

Kita bisa pula sejenak melihat-lihat, ruangan macam apa yang sedang ditempati oleh diri-diri yang lain itu di dalam menjalankan peran kehidupanannya. Dan dengan sedikit peningkatan kesadaran saja, kita akan bisa mengamati, merasakan, dan bahkan mempengaruhi diri-diri lain itu. Kita akan bisa tahu sedang di dalam ruangan macam apa dia berada, apakah dia sedang berada di ruangan derita atau ruangan gembira. Kadangkala kita juga bisa mempengaruhi diri-diri lain itu dari luar atau dari kejauhan. Itu hanya butuh latihan saja untuk mendapatkannya. Kita bisa memberikan atau menyusupkan pengaruh kita agar sang diri lain itu bisa pindah keruangan yang lebih baik atau ke ruangan yang lebih buruk dari sebelumnya. Mengasyikkan memang untuk berada di dalam Ruangan Besar Ketenangan ini, akan tetapi ini juga sekaligus akan menjadi penjara baru yang siap pula mengurung kita didalamnya.
Tapi untuk sementara abaikan sajalah kesemuanya itu dulu, lalu kita coba dulu berlarian kesana kemari. Dan dengan sangat mudah kita akan bisa menyadari bahwa Ruang Besar Ketenangan itu memang Luas Tanpa Batas. Disana ternyata juga ada diri (wujud) lain yang tidak perlulah kita uraikan secara detail disini. Tapi biar tidak penasaran saja, kita sebutkan sajalah satu du’a wujud, misalnya jin, iblis, syetan, dan tentu saja malaikat. Masing-masing diri tadi juga menempati ruangan tersendiri pula. Jin mempunyai ruangan yang hampir sama ruangan yang ada di dalam dada manusia. Sedangkan malaikat dan Iblis hanya punya satu ruangan saja yang mereka tempati masing-masing, yaitu Ruangan Kebaikan untuk Malaikat dan Ruangan Keburukan untuk Iblis.
Kalau kita hanya berhenti sampai disini, ya… selesai sudah perjalanan kita. Siapapun sebenarnya punya kesempatan yang sama untuk bisa masuk kedalam ruang keluasan dan ketenangan ini. Hatta… tanpa membawa-bawa nama agama sekalipun. Ada diantara kita yang bisa masuk keruangan tanpa batas ini setelah kita terlebih dahulu di dera oleh cobaan dan penderitaan bertubi-tubi yang menimpa diri kita. Ada juga yang harus lewat berbagai bonus kebaikan terlebih dahulu baru dia bisa masuk. Atau ada pula yang hanya dengan melakukan sedikit perubahan arah kesadaran kita menuju keluar dari ruangan di dalam dada kita dan juga ruangan di dalam otak kita, maka nyaris dengan seketika itu pula kita akan berada di dalam ruangan tanpa batas ini.
Silahkan sajalah cari cara-cara atau jalan-jalan untuk bisa sampai keruangan tanpa batas ini. Menurut pengalaman saya, ternyata ada memang cara-cara yang sangat beragam untuk ini. Mulai dari cara-cara yang yang sangat rumit, njlimet, dan membutuhkan perantara-perantara tertentu pula, sampai ke cara yang sangat mudah…, dah…, dah…, semudah membalik telapak tangan kita. Silahkan sajalah masing-masing memilihnya…!.

Cuma asal tahu saja, menurut pengalaman saya, begitu kita masuk ke dalam ruangan besar ketenangan ini melalui perantara-perantara apapun juga, maka dengan seketika itu pula kita akan dijerat pula oleh sang perantara kita itu. Sehingga apapun yang kita lakukan akan kita muarakan kepadanya. Dia akan melambai-lambai kepada kita agar kita datang mengarahkan kesadaran kita kepadanya. Makanya tidak aneh kalau ada diantara kita yang kemudian mau memuarakan kesadaran kita kepada patung, kepada bentuk-bentuk, atau bahkan hanya sekedar kepada nama-nama dan ungkapan kalimat-kalimat. Masing-masing kita lalu menjadikan apa-apa yang kita pentingkan itu sebagai TUHAN yang kita SEMBAH dan BELA dengan sangat bersemangat pula. Al Qur’an memotret keadaan kita yang seperti ini dengan ungkapan:
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah…” (Al baqarah 165)

DI PUNCAK KESADARAN…
Surat Al Baqarah ayat 165 tadi mengisyaratkan kepada kita bahwa ada SESUATU yang TIDAK bisa diserupakan dengan apa yang kita anggap sebagai tuhan diatas tadi. Sesuatu itu diperkenalkan Al Qur’an dengan sebutan ALLAH…!. Artinya apapun yang kita dapatkan selama dalam perjalanan kesadaran kita tadi tetap saja masih dianggap SALAH oleh Al Qur’an. Dan HANYA orang yang BERIMAN sajalah yang mau mempertuhankan Allah ini.
Kalau begitu, pastilah Allah ini sesuatu yang melebihi dan mengatasi apapun juga. Pastilah Allah, yang hanya bisa disadari oleh orang-orang yang beriman, ini sesuatu YANG SANGAT PENTING dan SANGAT LUAR BIASA.
Oleh sebab itu, dengan segenap rasa keingintahuan kita, mari kita lanjutkan perjalanan kita…!. Kita coba afirmasi diri kita sendiri agak sehirup dua hirup nafas:
“Laa… Ilaha…, bukan itu…yang saya sembah dan yang saya pentingkan…
“Laa…, Bukan itu…, Laa…, Bukan itu…, Laa…, Bukan itu…, Laa…!”.
“Pergi semua dari hadapan wajah saya…!”.
“Pergi kalian semua…!. Pergi…!”.

Kita usir semua itu…, itu…, itu…, tadi…satu persatu dari hadapan wajah kita!.
Lampaui saja semua ruangan yang menghampiri kita itu…!.
Satu persatu kita singkirkan segala benda-benda, segala nama-nama, segala ungkapan-ungkapan, segala huruf-huruf, segala warna-warna, segala suara-suara, segala apapun yang masih bisa dipersepsikan, yang memang datang silih berganti melambai-lambaikan tangannya kepada kita agar kita masuk ke dalam ruangannya masing-masing. Proses pengusiran semua itu-itu tadi biasanya akan membuat tubuh kita tersentak-sentak dan bahkan sampai seperti kesakitan. Sulit memang…, karena itu-itu tadi ternyata telah menyekap kita begitu lamanya. Akan tetapi janganlah khawatir. Teruskan saja afirmasi kita itu. Dan pada saat yang tertentu kita akan dibawa pula masuk keruangan yang membahagiaan.

Lalu pada saat tepat kita akan dituntun untuk masuk keruangan kesadaran puncak. Ruangan Tanpa Batas, ruangan yang tidak ada apa-apa lagi didalamnya. Di sana sudah tidak ada lagi rasa enak maupun rasa tidak enak. Disana juga tidak ada lagi baik dan tidak ada buruk. Ruangan itu tidak ada rasanya, tidak ada definisi persepsi yang bisa mewakili tentang bagaimana dan seperti apa ruangan itu. Disana tidak ada nama, tidak ada rupa, tidak ada warna, tidak ada bentuk, tidak ada huruf, tidak ada angka, tidak ada kalimat-kalimat, tidak ada suara dan bebunyian. Disana tidak ada syariat, tidak ada larangan dan tidak ada suruhan, tidak ada hukum, tidak ada salah dan tidak ada benar, tidak ada reward dan tidak ada punishment, tidak ada shalat, tidak ada puasa, tidak ada haji, tidak ada membaca Al qur’an. Disana tidak ada ketakutan dan kekhawatiran…, laa khaufun … laa yah zanuun.
Al Qur’an menggambarkan suasana seperti ini dengan istilah:
“… Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman". (Al A’raaf 143)
Lha…Ruangan Luas dan Suasana macam apa ini….?. Tapi sebaiknya kita nggak usah nanya-nanya dulu. Apanya yang mau dijelaskan wong sudah nyata-nyata tak terdefinisikan begitu kok. Marilah kita lanjutkan saja dulu perjalanan kesadaran kita.

Sebab kalau kita hanya sampai di ruangan tanpa batas ini saja, dan setelah itu kita berhenti…, lalu akan muncul pertanyaan yang sangat mendasar pula, yaitu: “Untuk apa kita ini ada, untuk apa ruangan luas itu ADA…?”, dan seterusnya.
Kita ikuti saja ayat Al Fajr diatas. Bahwa dari ruangan Maha Luas dan Maha Tenang inilah sebenarnya kita baru bisa MULAI untuk menghadap dan datang mengarahkan wajah kita ke Wajah Tuhan. Karena kalau tidak mulai dari ruangan Maha Luas ini, maka ketika kita menyebut dan memanggil ALLAH, Sang QUDDUS, Sang PENGASIH & PENYAYANG, dan panggilan-panggilan penghormatan lain kepada apa yang kita namakan sebagai TUHAN, kita akan tertahan, mengawang-awang (ngahuleung) dan kemudian teralihkan kepada bentuk-bentuk, wajah-wajah, nama-nama, persepsi-persepsi, dan sebagainya. Ya …, seperti yang sering kita lakukan selama inilah…!??.
Siap untuk memulai dan mengurai langkah awal ini….???. Kalau siap, mari kita melangkahkan kesadaran kita lagi dengan MANTAP, KUAT (JAHADU)…!. Kita mulai langkah kesadaran berketuhanan kita…!!!. Dan dari sinilah apa yang disebut orang dengan istilah SPIRITUALITAS itu barulah MULAI. Langkah awal saja sebenarnya.

Mari….

Karena sudah tidak ada lagi yang bisa kita nafikan (tiadakan) DISINI, maka dengan merendah-rendah kita teguhkan dan sampaikan saja kesaksian kita di Ruangan Maha Luas, Maha Tenang, Maha Tidak Serupa Dengan Apapun INI:
“Illa Anta…, kecuali hanya Engkau…! …, Illa Anta…, Illa Anta…!.
“Illa Allah…, kecuali hanya Allah, Illa Allah…, Illa Allah…! ”.
“Anta Rabbi wa ana ‘Abduka..., Engkaulah Tuhan dan aku adalah hamba-Mu…!.
Kalau belum ada respon dari WAJAH yang kita persaksikan INI, maka kita ulang…, ulang dan ulang lagi kesaksian kita tadi dengan merendah-rendah. Kita nggak perlu bersuara keras-keras, berteriak-teriak. Kita cukup mengungkapkannya seperti sebuah keluhan, tapi keluhan yang dibarengi dengan keteguhan dan tekad yang sangat kuat (jahadu):
“Laa iIlaha illa Allah…, Laa iIlaha illa Allah…, Laa iIlaha illa Allah…!!!”,
“Laa iIlaha illa Allah…, Laa iIlaha illa Allah…, Laa iIlaha illa Allah…!!!”,
“Laa iIlaha illa Allah…, Laa iIlaha illa Allah…, Laa iIlaha illa Allah…!!!”,
Lalu bersiap-siaplah…!. Karena kita mengungkapkan kesaksian kita itu kepada Wajah atau Alamat Yang Sangat Tepat, maka Wajah Ini akan meresponnya. Bagaimana bentuk respon-Nya itu tidak usahlah kita uraikan disini. Sungguh sangat tak terungkapkan oleh kata-kata dan kalimat-kalimat. Rasakan dan alami sajalah kesemuanya itu…!. Baca jugalah artikel “Switch INI”, agar bisa lebih paham tentang adanya respon merespon antara Tuhan dengan hamba-Nya ini.
Lalu rasakanlah adanya aliran maha lembut yang menyusup kedalam ruangan dada kita. Aliran itu seperti membukakan pintu utama Kerumah Besar Kebaikan untuk kita.
Dan tiba-tiba saja kita sudah didudukkan di dalam ruangan kebaikan yang tadinya sangat sulit untuk kita masuki. Kita juga seperti dituntun untuk berpindah dari satu ruangan kebaikan ke ruangan kebaikan yang lainnya pada saat yang tepat dan penggunaan yang tepat pula.
Tiba-tiba saja ruangan dada kita yang tadinya sempit yang sering membuat kita tertatih-tatih dalam berbuat kebaikan dan didera pula oleh berbagai rasa tersiksa seperti: tidak bisa khusyu, marah, benci, iri, munafik, kafir, dan sebagainya, seketika berubah dan berganti (linashrifaa) menjadi ruangan yang begitu lapang dan membahagiakan. Ruangan dada kita seperti menjadi lapang dan lembut luar biasa. Rasa khusyu kemudian akan mengalir menyelimuti segala ibadah kita, rasa marah dan benci kita akan berganti dengan rasa mencintai dan menghargai orang lain, rasa munafik kita akan berubah menjadi rasa tawadhu’, rasa kufur dan tertutup kita dari kebenaran akan berganti dengan rasa Dzikir (ingat dan sadar) kepada Alamat yang tepat dan PAS. Sebutlah ruangan apa saja yang baik-baik, maka kita akan memasukinya satu persatu dengan dituntun sehingga kita tidak memerlukan usaha yang memenatkan kita lagi.
MENUAI MANFAAT…
Kalau sudah begini, maka selanjutnya akan menjadi mudah bagi kita dalam menjalankan tugas kekhalifahan kita. Seperti diketahui bahwa selama menjalankan tugas kita itu, kita pada satu waktu tertentu, akan selalu berada di dalam salah satu ruangan dari sekian banyaknya ruangan-ruangan yang ada di Ruangan Besar Keburukan dan Ruangan Besar Kebaikan. Sekarang tinggal kita amati saja, bahwa kita ini ditarok di ruangan mana oleh Allah ketika kita bekerja, bermasyarakat, bersosialisasi, dan melakukan aktivitas-aktivitas lainnya. Begitu kita di tarok di salah satu ruangan di dalam Ruangan Besar Keburukan, maka kita langsung lari ke Allah. Kita langsung menghadap ke Wajah Allah untuk meminta agar kita dipindahkan-Nya kesalah satu ruangan di Ruangan Besar Kebaikan sebagai lawan dari ruangan keburukan itu tadi. Sebab ruangan yang berisikan hawa buruk akan tetap akan menyiksa kita, dan kita tidak akan sanggup menerima siksa itu.
Contohnya begini…, ketika kita dibenci, dianiaya, dan difitnah oleh seseorang sehingga kita kecemplung ke ruangan di dalam dada kita yang menimbulkan rasa sakit, marah, dan benci bagi kita, maka kita buru-buru lari keluar dari ruangan dada kita itu menuju Ruangan Besar Ketenangan. Kita buru-buru menghadapkan wajah kita ke Wajah Allah di ruangan besar maha luas ini. Dan dengan mengherankan, tidak beberapa lama kemudian, kita sudah keluar dari ruangan kemarahan, kebencian, dan kesakitan itu. Sebagai gantinya tiba-tiba saja kita sudah berada di ruangan sebelah yang penuh dengan kebaikan dan kebahagiaan.

Dengan cara yang sama, kita lakukan hal seperti itu juga ketika kita dihadapkan dengan berbagai musibah, bencana, prahara, problematiak di ruang kerja, dan sebagainya yang membuat kita seperti masuk ke ruangan yang membuat dada kita begitu sempit. Dan hasilnya sungguh mencengangkan. Kita tinggal menuai manfaat kebaikan saja ditengah-tengah penderitaan kita itu.
Tepatnya adalah…, begitu kita ditimpa musibah, atau dianiaya oleh orang lain, maka kita lari untuk menjadi tiada. Semakin berat musibah dan aniaya yang kita hadapi, maka kita semakin tiada …, semakin tiada…
Makanya pantas Allah mewanti-wanti kita di dalam al Qur’an bahwa:
Orang yang sabar (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun" (Al Baqarah 156).
Tapi selama ini yang kita lakukan hanyalah sekedar mengucapkan "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun" itu saja, tanpa kita mampu untuk berlari mengadap ke Wajah-nya untuk menjadi tiada. Sehingga hasilnya juga hanya begitu-begitu saja. Tidak banyak merubah keadaan.
Hal yang sama juga kita lakukan tatkala kita sedang beraktivitas, lalu kita ditarok oleh Allah di salah satu ruangan di Ruangan Besar Kebaikan, maka kita tinggal mengucapkan syukur saja, agar Allah menambah-nambah kebaikan dan kebahagiaan kita dalam menjalankan segala aktivitas kita itu.
Dan ternyata…, dengan memasuki Ruangan Besar Ketenangan, Ruangan Maha Luas ini, kita di sandingkan oleh Allah dengan hamba-hamba-Nya yang shaleh yang lainnya. Makanya jangan heran kalau tempo-tempo kita dipertemukan dengan hamba-hamba-Nya itu untuk saling mengucapkan salam. Dan posisi duduk tahiyat dalam shalat adalah posisi saling memberi salam ini dengan orang-orang yang shaleh itu dihadapan Tuhan. Indah sekali…..

Lalu kita mau mencari apa lagi …???.

SANG CONTOH PARIPURNA
Dalam perjalanan sejarah sungguh banyak manusia yang bisa menyadari dan masuk ke dalam ruangan luas tanpa batas ini. Akan sayangnya informasi yang sampai kepada kita telah membuat kita tidak mampu lagi melangkah ke dalamnya dengan mudah dan sederhana. Lagi pula tidak banyak orang-orang, yang walaupun dia bisa masuk ke sana, akan tetapi dia tidak berhasil memperlihatkan manfaat LENGKAP macam apa yang bisa didapatkan oleh umat manusia lainnya dalam rangka merangkai peradaban umat manusia. Bahkan sangat sering terjadi, begitu ada diantara kita yang bisa masuk ke dalamnya, akan tetapi kemudian kita malah BERDIAM diri saja disana. Kita tidak ngapa-ngapain lagi. Kita lalu menjadi seorang PERTAPA di tengah-tengah gelombang dan perputaran roda peradaban yang sedang berjalan…!.
Dan…, MUHAMMAD SAW ternyata adalah salah seorang dari sedikit umat manusia yang mampu memanfaatkan Ruangan Maha Luas itu untuk meletakkan dasar-asar cara dalam membangun peradaban umat manusia yang seyogyanya bisa kita tiru. Cara paripurna yang setiap orang bisa melakukannya adalah dengan memahami peristiwa Perjalanan Isra’ Mi’raj yang Beliau lakukan. Sungguh perstiwa isra’ mi’raj itu adalah sebuah bahan pengajaran yang sangat berharga buat kita yang bisa kita pakai sampai kapan pun.
Dalam peristiwa isra’ mi’raj itu Beliau dituntun masuk ke dalam ruangan yang maha besar ini agar Beliau menyadari alamat yang harus dituju setiap saat. Lalu setelah itu Beliau turun kembali ke kesadaran bahwa Beliau adalah seorang khalifah yang memang diutus untuk meramaikan dan menganyam peradaban umat manusia di permukaan bumi. Beliau ternyata tidak berdiam diri dalam ruangan yang Maha Luas ini, tetapi Beliau turun membangun peradaban bagi orang-orang yang beriman.
Lalu kita ikuti saja contoh-contoh bagaimana CARA Beliau dalam membangun peradaban umat manusia ini. Walau kita berada dalam waktu dan peradaban yang berbeda dengan Beliau, akan tetapi ESSENSI peradaban itu akan tetap sama sepanjang masa.

Demikianlah…, kita telah mengurai dengan cukup lengkap serba-serbi tentang AN NAFS, yaitu diri kita sendiri, berikut dengan RUANGAN-RUANGAN yang bisa kita tempati. Dan kita ini disebut dengan diri yang bagaimana tatkala kita berada disuatu ruangan tertentu. Kita bisa saja disebut sebagai Nasful Ammarah, Nafsul Lawwamah, Nafsul Sufiyah, Nafsul Muthmainnah, dan sebagainya. Akan tetapi yang dipanggil dengan berbagai sebutan itu tadi ya …kita sendiri juga sebenarnya…, Sang Nafs.

Lalu bagaimana dengan AR RUH…?.
Selama ini kita memang telah dibuat bingung dengan ungkapan Ar Ruh ini. Al Qur’an hanya menyatakan bahwa: “…Ku tiupkan RUH (dari) KU…, dan AR RUH itu adalah rahasia-Ku, Amr-Ku…”. Ee…, malah kita repot mencari-cari dan membahasnya. Dan hasilnya pastilah sudah bisa ditebak…, kita menjadi bingung…!.
Dengan mencari-cari seperti itu, maka dengan serta merta kita telah lari dari pengertian yang sangat sederhana tentang Ar Ruh ini. Semakin kita cari dan teliti tentang Ar Ruh ini, maka kita akan semakin menjadi orang yang berpikiran rumit. Padahal kalau kita berhenti dalam sebuah pengertian yang sangat sederhana, maka kita akan menjadi lega luar biasa…

Istilah dengan ditiupkan Ar Ruh oleh Allah itu kan hanyalah sebagai sebuah ungkapan untuk mewakili keadaan-keadaan dimana kita, diri kita (An Nafs) setelah dibentuk oleh Allah dengan bentuk yang sempurna kemudian diberikan berbagai fasilitas, yaitu:

Hidup…
Bergerak…
Melihat…
Mendengar…
Tahu…
Mengerti…

Lalu kita mau mendefinisikan seperti apa tentang hidup, bergerak, mendengar, melihat, tahu dan mengerti ini…!. Tidak banyak memang yang bisa kita ketahui tentang Ar Ruh ini, dan memang kita tidak perlu tahu…Sekarang tugas kita hanya menjadi sangat sederhana sekali, yaitu untuk mengurai kesadaran kita bahwa saat kita dialiri dengan semua kemampuan di atas dan kesemuanya itu adalah anugerah Tuhan semata.
Saat saya, Si NAFS ini bisa:

Hidup…, lalu saya sadari penuh…: “Ooo…, hidup ini milik Allah…”
Bergerak…, lalu saya sadari penuh…: “Mmm…, bBergerak ini milik Allah…”
Melihat…, lalu saya sadari penuh…: “Nggg…, melihat ini milik Allah…”
Mendengar…, lalu saya sadari penuh…: “Ooo…, mendengar ini milik Allah…”
Tahu…, Mengerti…, lalu saya sadari…: “Tahu dan Mengerti ini milik Allah…”

Semua hanya seperti dialirkan begitu saja kepada diri saya dengan gratis …, yang kemudian di istilahkan oleh Allah dengan ungkapan Ku alirkan Ruh (dari) Ku….!. Dan setelah itu tinggal kita manfaatkan saja kesemua anugerah Tuhan itu untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi diri kita maupun orang lain. Toh Tuhan nanti akan meminta pertanggungjawaban juga kepada kita atas penggunaan anugerah itu…!.

Kalau sudah begini posisinya, maka bisalah kita ini disebut sebagai AN NAFS yang berkesadaran AR RUH…. Selesai sudah…
Sedangkan mengenai pengembangan agama yang diridhai-Nya, kita tinggal ikut saja Gerak Allah dalam mengembangkannya. Biarlah Allah sendiri yang akan mengembangkan agama yang diridhai-Nya. Kita tinggal ikut berperan serta dalam gerak Allah itu. Karena toh yang akan memberi hidayah (petunjuk) atau menggelapkan hati kita tetap Allah juga….!. Kita bisa saja berperan hanya dalam hal-hal yang kecil saja. Karena peran yang besar-besarnya sudah diselesaikan dengan baik oleh Rasulullah Muhammad SAW. Dengan sekedar sedekah tulisan-tulisan seperti ini saja, saya rasanya sudah sangat bersyukur. Atau bisa ada diantara kita yang diberikan kemampuan untuk berceramah, berkhotbah, bahkan hanya sekedar bisa memprotes ke sana sini…, ya silahkah saja. Ternyata memang masing-masing kita ini punya “the ultimate destiny” yang harus kita jalankan.

Dengan demikian selesailah artikel sekedar tentang apa-apa yang bisa saya pahami tentang pertanyaan yang diajukan oleh Pak Sabari. Mudah-mudahan artikel ini bisa membantu siapa pun juga untuk memahami masalah-masalah yang berhubungan dengan An Nafs dan Ar Ruh….!
Ya Allah…, ini yang bisa saya uraikan tentang An Nafs dan Ar Ruh ini…. Jika salah pun saya menguraikannya, saya tinggal memohon maaf saja kepada-Nya. Ampuni saya Ya Allah…

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad.
Jl. Kabel no. 16, Cilegon
26 Desember 2005, jam 22.00
Wass
Deka


0 komentar:

Posting Komentar