Silaturrahmi Bulan Juli 2011

























Innalilallahi Wa Inna Ilaihi Rodjiun


Inna Lillahi Wa Inna Ilahi Rodjiun...
Telah berpulang ke Rahmatullah Bunda Andi Tenri Harbi pada tanggal 9 Juni 2011 di Bandung, Jasad Almarhumah di berangkatkan menuju Makassar untuk di Makamkan pada tanggal 10 Juni 2011.

Menelusuri Jejak We Tenriabeng

Salah seorang pemeran utama wanita dalam Epos Lagaligo yang kurang terlihat peranannya dalam pemerintahan Kedatuan Luwu adalah We Tenriabeng (Tandiabe), saudari kembar Sawerigading.Permaisuri dari Remmang ri Langi alias Hulontalangi (Raja pertama Gorontalo) alias Tamboro Langi(Tokoh sejarah suku Toraja) ini, sesungguhnya pernah tampil sebagai Datu di Luwu, mengisikekosongan kekuasaan Pasca Batara Lattu. Kekosongan kekuasaan terjadi karena Tana Luwu ditinggal pergi oleh Sawerigading, yang bersumpah tidak akan kembali lagi ke Tana Luwu.

La Galigo di Gorontalo

Legenda Sawerigading dan kembarnya, Rawe, adalah berkait rapat dengan pembangunan beberapa negeri di kawasan ini. Mengikut legenda dari kawasan ini, Sarigade, putera Raja Luwu' dari negeri Bugis melawat kembarnya yang ...telah hidup berasingan dengan orangtuanya. Sarigade datang dengan beberapa armada dan melabuh di Tanjung Bayolamilate yang terletak di negeri Padengo. Sarigade mendapat tahu bahwa kembarnya telah menikah dengan raja negeri itu yaitu Hulontalangi. Karena itu bersama-sama dengan kakak iparnya, ia setuju untuk menyerang beberapa negeri sekitar Teluk Tominidan membagi-bagikan kawasan-kawasan itu. Serigade memimpin pasukan berkeris sementaraHulontalangi memimpin pasukan yang menggunakan kelewang. Setelah itu, Sarigade berangkat keTiongkok untuk mencari seorang gadis yang cantik dikatakan mirip dengan saudara kembarnya.Setelah berjumpa, ia langsung menikahinya

Terdapat juga kisah lain yang menceritakan tentang pertemuan Sawerigading dengan Rawe. Suatu hari, Raja Matoladula melihat seorang gadis asing di rumah Wadibuhu, pemerintah Padengo. Matoladula kemudian menikahi gadis itu dan akhirnya menyadari bahwa gadis itu adalah Rawe dari kerajaan BugisLuwu'. Rawe kemudiannya menggelar Matoladula dengan gelar Lasandenpapang.

http://id.wikipedia.org/wiki/Sureq_Galigo

Menurut masyarakat Gorontalo, nenek moyang mereka bernama Hulontalangi, artinya ‘pengembarayang turun dari langit’. Tokoh ini berdiam di Gunung Tilongkabila. Kemudian dia menikah dengan salah seorang perempuan pendatang yang bernama Tilopudelo yang singgah dengan perahu ke tempat itu. Perahu tersebut berpenumpang delapan orang. Mereka inilah yang kemudian menurunkan orang Gorontalo, tepatnya yang menjadi cikal bakal masyarakat keturunan Gorontalo saat ini. Sejarawan Gorontalo pun cenderung sepakat tentang pendapat ini karena hingga saat ini ada kata bahasa Gorontalo, yakni 'Hulondalo' yang bermakna 'masyarakat, bahasa, atau wilayah Gorontalo'. Sebutan Hulontalangi kemudian berubah menjadi Hulontalo dan akhirnya menjadi Gorontalo.

http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache%3ANr0dHvPZO30J%3Awww.gorontalo-info.20megsfree.com%2Fasb.html+hulontalangi+tilong+kabila&cd=4&hl=id&ct=clnk&gl=id

Sejarah Tana Luwu

Sejarah Tanah Luwu sudah berawal jauh sebelum masa pemerintahan Hindia Belanda bermula. Sebelumnya Luwu telah menjadi sebuah kerajaan yang mewilayahi Tana Toraja (Makale, Rantepao) Sulawesi Selatan, Kolaka, (Sulawesi Tenggara) dan Poso (Sulawesi Tengah). Hal sejarah Luwu ini dikenal pula dengan nama Tanah Luwu yang dihubungkan dengan nama La Galigo dan Sawerigading.
Setelah Belanda menundukkan Luwu, mematahkan perlawanan Luwu pada pendaratan tentara Belanda yang ditantang oleh hulubalang Kerajaan Luwu Andi Tadda bersama dengan laskarnya di Ponjalae panta Palopo  pada tahun 1905. Belanda selanjutnya mebangun sarana dan prasarana untuk memenuhi keperluan pemerintah penjajah diseluruh wilayah kerajaan Luwu mulai dari Selatan, Pitumpanua ke utara Poso, dan dari Tenggara Kolaka (Mengkongga) ke Barat Tana Toraja. Pada Pemerintahan Hindia Belanda, sistem pemerintahan di Luwu dibagi atas dua tingkatan pemerintahan, yaitu:
  • Pemerintahan tingkat tinggi dipegang langsung oleh Pihak Belanda.
  • Pemerintahan tingkat rendah dipegang oleh Pihak Swapraja.
Dengan terjadinya sistem pemerintahan dualisme dalam tata pemerintahan di Luwu pada masa itu, pemerintahan tingkat tinggi dipegang oleh Hindia Belanda, dan yang tingkat rendah dipegang oleh Swapraja tetapi tetap masih diatur oleh Belanda, namun secara de jure Pemerintahan Swapraja tetap ada. Menyusul setelah Belanda berkuasa penuh di Luwu, maka wilayah Kerajaan Luwu mulai diperkecil, dan dipecah sesuai dengan kehendak dan kepentingan Belanda, yaitu:
  • Poso (yang masuk Sulawesi Tengah sekarang) yang semula termasuk daerah Kerajaan Luwu dipisahkan, dan dibentuk satu Afdeling.
  • Distrik Pitumpanua (sekarang Kecamatan Pitumpanua dan Keera) dipisah dan dimasukkan kedalam wilayah kekuasaan Wajo.
  • Kemudian dibentuk satu afdeling di Luwu yang dikepalai oleh seorang Asisten Residen yang berkedudukan di Palopo.
Selanjutnya Afdeling Luwu dibagi menjadi 5 (lima) Onder Afdeling, yaitu:
  • Onder Afdeling Palopo, dengan ibukotanya Palopo.
  • Onder Afdeling Makale, dengan ibukotanya Makale.
  • Onder Afdeling Masamba, dengan ibukotanya Masamba.
  • Onder Afdeling Malili, dengan ibukotanya Malili.
  • Onder Afdeling Mekongga, dengan ibukotanya Kolaka.