Pengkhianat Tuhan

Sebagai orang yang punya sikap belajar dan berketuhanan, maka dari para patrapist diharapkan muncul wacana pemikiran yang menyegarkan. Wacana patrapist ini tidak harus sepi, karena sebuah wacana pada hakekatnya adalah sesuatu yang baru, sesuatu pemikiran yang tidak hanya jadi pengekor pemikiran masa lalu, akan tetapi juga menggambarkan kebaruan bahkan kemasadatangan ide. Karena pemikiran masa lalu bukanlah dikatakan sebuah wacana, akan tetapi lebih kepada paparan sejarah saja. Jadi wacana ini seharusnya diisi dengan pemikiran apa saja yang bisa melepaskan kita dari belenggu pemikiran masa lalu yang sempit (kejumudan pemikiran) menuju pemikiran yang universal. Kita hidup saat ini, dengan kondisi saat ini yang sungguh sangat kompleks.
Tugas kita apa...?.
Tugas kita adalah bagaimana agar kita bisa TAKLUK (patuh, tunduk, ISLAM) terhadap SUNNAH (kehendak hukum-hukum Tuhan, sunatullah) pada zaman kita sekarang ini, sebagaimana takluk dan patuhnya Rasulullah terhadap kehendak alamiah (sunatullah) di zaman Beliau.
Artikel ini akan memuat secara berseri pengertian-pengertian tentang ISLAM, SUNNAH, AL QURAN, sehingga mudah-mudahan akan mampu memberikan gambaran UTUH tentang ajaran yang dengan susah payah ditegakkan oleh Rasulullah, akan tetapi kita ternyata tidak mampu untuk memeliharanya.

Pertama saya ingin menyampaikan sebuah renungan panjang saya tentang Islam dari masa ke masa. Bahwa yang ada di dunia Islam masa-masa lalu, bahkan juga untuk saat ini, boleh dikatakan belum ada yang mampu untuk memberikan sebuah gambaran UTUH tentang ISLAM. Karakter macam apa sebenarnya yang bisa mewakili kata ISLAM itu. Aliran-aliran besar yang ada, sebut saja: Syiah; Ahlusssunnah; Sufiah; atau gerakan-gerakan pemikiran yang berkembang saat ini dan puluhan gerakan-gerakan pemikiran lainnya, masih sangat jauh untuk dikatakan sebagai yang bisa mewakili KARAKTER ISLAMI yang diinginkan oleh Al Qur'an. Yang muncul dan yang ada saat ini adalah gerakan-gerakan yang keberadaannya diawali dengan pencomotan ayat Al Qur'an ataupun Al Hadits di sana sini, lalu comotan-comotan itu dijadikan sebagai landasan untuk membentuk sebuah jamaah. Jadi yang ada hanya sekedar aliran atau praktek-praktek keagamaan yang DIWARNAI oleh potongan-potongan ayat Al Qur’an dan Al Hadits.

Jadi Syiah bukanlah manifestasi dari ISLAM KAFFAH, begitu juga Sunni, dan Sufiah,  Atau paling tidak semua ajaran, aliran, atau sekte itu SECARA SENDIRI-SENDIRI belumlah pantas untuk dikatakan sebagai manifestasi dari ISLAM secara KAFFAH. Karena Islam itu begitu indah dan sederhana, dan mendunia, dan merahmati seluruh alam semesta. Akan tetapi semenjak Rasulullah Muhammad SAW wafat sampai sekarang, belum ada lagi generasi penerus Beliau yang mampu mewujudkan dan membuktikan kesempurnaan Islam itu secara mendunia.
Di lain sisi, semuanya tahu akan keberadaan ayat yang menerangkan bahwa masuk ke dalam ISLAM itu harus secara KAFFAH (keseluruhan, totalitas). Akan tetapi sayangnya sampai saat ini diantara aliran-aliran yang ada itu belum ada yang mampu untuk memberikan gambaran karakter ISLAM KAFFAH itu secara utuh pula.
Akan tetapi saat ditanya tentang bagaimana kaffah itu, maka jawabannya hanya nyaris berupa gumaman, atau suara galau dengan bunyi tak sedap seperti kita sedang berada dalam sebuah pasar tradisional. Suara tak sedap itu sebenarnya cukup mengganggu orang-orang yang berada di dalam pasar itu sendiri, apalagi bagi orang luar yang tersasar berada dalam lingkungan pasar itu. Kios-kios yang ada saling berlomba untuk menyetel lagu sekeras mungkin dan dengan berbagai irama pula, yang katanya untuk menarik pengunjung. Sungguh ramai, meriah sekali, namun sayangnya orang yang seharian berada di dalam pasar itu, bahkan besar di pasar itu, tidak sadar bahwa mereka sebenarnya sedang saling membuat bising dan ribut. Karena memang mereka sudah bersatu dengan suara bising dan ribut itu. Karena mereka sendirilah sebenarnya sang pembuat suasana tak nyaman itu.
Bagi orang-orang baru yang suatu saat tersasar ke pasar tradisional itu, mungkin secara tidak sengaja, maka besok-besoknya mereka tidak akan respek lagi untuk masuk kedalamnya, mereka akan menceritakan kepada teman-temannya bahwa pasar tradisional di lokasi A sangat hiruk pikuk, ribut, bau, dan serba tidak teratur. Sehingga lama-lama melalui kabar berantai (media masa), akan muncul penilaian masyarakat bahwa pasar tradisional itu adalah sebuah tempat yang tidak nyaman untuk dimasuki, apalagi kalau di dalam pasar itu banyak berkeliaran orang yang suka ngamukan. Akhirnya mereka meninggalkan pasar tradisional itu dan beralih memasuki pasar yang lebih teratur, misalnya toserba M atau R.
Karakter seperti di pasar tradisional inilah mungkin yang paling tepat untuk menggambarkan kondisi umat Islam yang ada pada saat ini...

Allah Pamer
Pada awalnya, lewat persaksian dan kesepakatan Manusia dengan Allah, Allah secara khusus telah meminta komitmen manusia atas “kepemilikan” Allah terhadap si manusia: “Bukankah Aku ini Tuhan-mu??”. Lalu dengan tergopoh-gopoh dan mantap si manusia menjawabnya: “benar ya Tuhan, saya bersaksi”. Sejak itulah sebenarnya si manusia siap untuk menyandang predikat DUTA ISTIMEWA Tuhan dan siap pula untuk menjalan tugasnya sebagai WAKIL TUHAN (khalifah) di tempat yang telah dipersiapkan, yaitu di “Bumi” berikut dengan alam semesta yang mengitarinya.
Setelah itu Allah pamer kepada Malaikat tentang Duta Istimewa-Nya ini:
“Hai para makaikat, ini lho Duta Istimewa Ku untuk Ku jadikan sebagai WAKIL-KU dalam memakmurkan, mengelola dunia”.
Dan Allah meminta kepada para malaikat untuk menghormat sujud kepada Sang Duta Istimewa. Dengan melihat sosok duta ini, pada awalnya malaikat agak ragu dengan kualitas Duta Istimewa ini, jangan-jangan Sang Duta berkhianat seperti berkhianatnya Duta sebelumnya yang senang bersimbah darah satu sama lain. Sang Duta terdahulu lebih sering mengumbar bencana ketimbang memakmurkan dan mengelola lingkungannya. Akan tetapi keraguan malaikat ditepis dengan sentuhan lembut tetapi tegas kedalam wilayah pengertian malaikat:
“Aku lebih tahu apa-apa yang tidak kamu ketahui…”.
Tiada lain yang dapat dilakukan oleh malaikat selain patuh dan tunduk kepada perintah Tuhan. Malaikat dengan RELA lalu tunduk dan sujud kepada Adam, Sang Duta Istimewa.

Seiring dengan pengukuhan Adam Sang Duta Istimewa (manusia), untuk menyandang Tugas kekhalifahan di muka bumi, maka Allah telah melengkapi sang manusia dengan perangkat yang nyaris sama dengan milik Allah Sang Pengutus itu sendiri. Dengan perangkat yang diberikan itu, sang manusia bisa mencipta, berkreasi, mengatur, mengolah, menumbuhkan, menghancurkan, mematikan…, segala sesuatu yang berada dalam objek kekhalifahan-nya. Disamping itu, perangkat melihat, mendengar, merasa, dan mengetahui juga difasilitasi Allah kepada Sang Duta Istimewa dengan sangat mengagumkan dan dengan fungsi yang nyaris tidak terbatas pula. Dengan segala sifat, tindakan, dan kemampuan yang difasilitasi itu, maka Sang Duta Istimewa mulai secara gradual menciptakan kebudayaan demi kebudayaan yang berkembang dari tingkat yang sangat sederhana sampai dengan tingkat yang sangat mengagumkan saat ini, dan bahkan masih akan berlanjut untuk masa-masa yang akan datang.
Setidak-tidaknya ada sekian puluh sifat-sifat “Sang Presiden” yang bisa di sandang dan dipakai pula oleh Sang Duta Istimewa. Semua sifat, laku dan pekerti itu sebenarnya hanyalah sebagai mandat yang diberikan kepada Sang Duta Istimewa, dan untuk sementara pula, untuk mewakili Sang Presiden di wilayah tempat mana dia dikirim. Setiap saat Sang Duta harus melaporkan, mempertanggung-jawabkan setiap pemakaian sifat Presiden yang dia lakukan. Setiap saat dia harus lapor diri kepada Presiden atas apa-apa yang telah dia perbuat, dia lakukan, dia hancurkan, dan sebagainya. Secara regular Sang Duta harus berterima kasih atas kepercayaan yang telah diberikan oleh Presiden kepadanya. Secara kontinu, Sang Duta sudah sewajarnya membesarkan nama Presiden yang memberinya kesempatan untuk mewakili Sang Presiden.
Berbilang zaman kemudian berlalu dengan cepat. Dan dengan cepat pula Sang Duta Istimewa (seluruh manusia secara kolektif) mulai berkhianat terhadap Sang Presiden yang mengangkatnya. Satu persatu sifat Sang Presiden mulai “diaku” oleh Sang Duta Istimewa sebagai miliknya sendiri. Sifat-sifat Sang Presiden yang selalu menjaga dua sifat yang berbeda berada dalam keseimbangan, misalnya panas dan dingin, baik dan buruk, Im dan Yang, mulai di acak-acak oleh Sang Duta Istimewa. Padahal bagi sang pemilik sifat itu sendiri, yaitu Presiden, ke 99 sifat itu berada dalam suasana dan kondisi yang sangat-sangat seimbang. Keseimbangan inilah yang telah membuat alam semesta ini selalu bergerak dan berkembang dalam keharmonian. Dan dengan nyata kemudian, masa demi masa protes malaikat terhadap pengutusan duta istimewa dulu itu seperti terbukti dengan sangat meyakinkan. Sang Duta Istimewa memang berkhianat. Sang Duta Istimewa lalu lebih cocok dipanggil sebagai Sang Pengkhianat Tuhan, dibandingkan dengan Khalifah Tuhan (duta istimewa Tuhan). Adalah sebuah hal yang logis saja kalau Sang Pengkhianat lalu di hukum oleh Sang Pengutusnya. Dan siksa dan hukuman itulah yang kini sedang dialami oleh hampir semua umat manusia, kecuali bagi duta-duta yang tidak berkhianat.
Duta macam apakah yang tidak berkhianat itu….?,
Apa sebenarnya sumber dari pengkhianatan itu…?.
Genderang pengkhianatan duta-duta istimewa Tuhan, yaitu manusia, berlanjut dengan mulus tanpa hambatan. Tidakkah dengan pengkhianatan ini praduga malaikat terbukti bahwa saat Allah memperkenalkan duta istimewa pertama-Nya yaitu Adam, nanti Sang Duta ini akan berkhianat dan melenceng dari tugas kekhalifahan menjadi tugas pengkhianat dan penumpah darah…?.
Gerangan apakah penyebabnya sehingga Sang Duta-Duta Istimewa itu terjerumus ke dalam jurang pengkhianatan itu…?.
Untuk mencari akar penyebab pengkhianatan itu, maka mari kita bongkar dan urai point demi point dengan santai saja…!.
Sang Pengkhianat Tuhan
Nah dengan segala fasilitas yang sangat sempurna sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya, maka Sang Duta Istimewa mulai lupa, bahwa semua itu hanyalah amanah yang dipinjamkan sementara kepada Sang Duta Istimewa. Yang namanya amanah, ya nggak boleh diaku sebagai miliknya sendiri. Tetapi itulah……!!:
Saat Sang Duta berhasil mencipta dan berkreasi, maka dia dengan angkuh mulai mengaku: “Ini ciptaan dan kreasiku..”.
Saat Sang Duta berhasil mendapatkan sesuatu, maka dia dengan jumawa mulai mengaku: “Ini milikku…”.
Saat Sang Duta merasa terganggu, maka dengan garang dia mulai meradang: “Kau melawanku, maka kau ku hancurkan…”.
Saat Sang Duta betah menikmati kekuasaannya, maka dia mulai berteriak angkuh: “Ini kekuasaanku… ini kerajaanku…, ini perusahaanku…,
Saat Sang Duta mampu melihat, mendengar dan mengetahui, merasakan segala sesuatu, maka dengan pongah dia mulai mengaku: “Ini penglihatanku…, ini pendengaranku…, ini pengetahuanku…, ini perasaanku…,
Lengkap sudah pengakuan itu…, semua diaku sebagai milik dari Sang Duta itu sendiri.

Padahal…!!!! :
Hakikinya penciptaan dan kreatifitas itu adalah proses yang dilakukan oleh Sang Pengutus, Allah, itu sendiri yang dialirkan-Nya melalui otak Sang Duta Istimewa,

Sebenarnya segala sesuatu itu adalah milik Sang Pengutus itu sendiri yang dialirkan-Nya melalui otak Sang Duta Istimewa,
Seyogyanya segala kekuasaan, kerajaan, perusahaan adalah milik Sang Pengutus itu sendiri yang dialirkan-Nya kepada otak dan diri Sang Duta Istimewa,
Sebenar-benarnya segala penglihatan, pendengaran, tahu, dan perasaan adalah kepunyaan Sang Pengutus yang dialirkan-Nya melalui otak, mata, telinga, dan dada Sang Duta Istimewa.

Sebutlah apa saja yang bisa dinikmati oleh Sang Duta Istimewa…, maka pada hakikatnya semua itu adalah milik Sang Pengutus, Allah, yang dialirkan-Nya kepada diri (nafs) Sang Duta Istimewa. Jadi Sang Duta Istimewa hanyalah SEAKAN-AKAN, SEPERTINYA saja memiliki semuanya itu. Karena dia memang hanyalah sebagai wakil, sebagai wali, sebagai sarana bagi terlaksananya segala kreativitas dan keramaian yang diciptakan oleh Sang Pengutus bagi setiap ciptaan dan kreasi-Nya.
Karena sebenarnya yang terjadi adalah, bahwa Allah mengalirkan segala sifat dan pengetahuan-Nya ke dalam otak manusia untuk misalnya, menciptakan pesawat terbang, kapal laut, pabrik baja, dan sebagainya. Allah bermain sepak bola, golf, dsb., lewat aliran keinginan dan gerak ke dalam otak manusia.
Begitu juga untuk membangun, merangkai, menyusun, bahkan untuk menghancurkan kebudayaan manusia melalui aliran tahu dan sifat-Nya ke dalam otak manusia itu sendiri. Misalnya, Allah menghancurkan Irak, Afghanistan, Al Qaeda melalui aliran otak Bush beserta konco-konconya, dan otak Saddam Husein, Hikmatiar, Osama Bin Laden sendiri. Allah menghancurkan penganut agama Islam pasca Rasulullah melalui otak Ali, Usman, Aisyah, Umaiyyah, dan sahabat-sahabat lainnya serta umat Islam sendiri dari dulu sampai sekarang. Ungkapan ini sepintas seperti membingungkan, akan tetapi nanti pada bagian lain akan dibahas lebih detail, bahwa kehancuran umat Islam pasca Rasulullah adalah karena mereka tidak pernah mau mengikuti maunya Al Qur’an dan Sunnah. Padahal dengan semangat 45 semboyan umat Islam itu adalah “selalu berpedoman kepada Al Qur’an dan Sunnah” itu sendiri. Nanti akan saya bahas pada bagian berikutnya tentang sumber kekeliruan pemahaman yang sudah sangat kronis ini.
Mari kita kembali dulu kepada serba serbi Sang Pengkhianat Tuhan…
Setelah duta istimewa (manusia) ini melakukan pengkhianatan kepada Tuhan, dimana Sang Duta sudah tidak menyadari lagi, bahkan sudah tidak mampu lagi untuk mengembalikan kesadarannya, bahwa apa-apa yang dia miliki sebenarnya (hakikinya) hanyalah gerak Tuhan, pengetahuan Tuhan, tahu Tuhan, milik Tuhan, penciptaan Tuhan, maupun penghancuran Tuhan melalui ALIRAN dari-Nya ke dalam otak manusia untuk membangun peradaban di dunia ini, maka proses sunnah pun berlangsung tanpa bisa dihentikan lagi. Akibatnya, segala sesuatu tindakan Sang Duta Istimewa lalu cenderung mengarah kepada pembentukan suasana ketidak-keseimbangan dalam hukum-hukum Tuhan (sunnah) dan sebagai konsekwensinya dia pasti terkena libasan dahsyat sunnah itu sendiri.

Maka jadilah manusia itu tidak mampu lagi memanfaatkan mandatnya untuk memakai sifat-sifat Tuhan sebagai duta istimewa untuk mewujudkan kemakmuran dan kemajuan dirinya sendiri. Sifat-sifat dan tindakan-tindakan Tuhan yang seharusnya bisa membuat keseimbangan antara penciptaan dan penghancuran, penghukuman dan kasih sayang, memelihara dan merusak, menyempitkan dan melapangkan, memuliakan dan menghinakan, penyiksa dan pemaaf, pemberi derita dan pemberi manfaat, dan sebagainya, lalu mengalir melalui otak manusia dalam suasana timpang dan tidak seimbang lagi.
Saat manusia berkuasa, misalnya, akan tetapi pada saat itu dia berada dalam posisi pengkhianat kepada Tuhan, maka ketika itu dia akan cenderung hanya bisa menerima aliran sifat dan tindakan Tuhan melalui otaknya yang mengarah kepada situasi penghancuran, merusak, menyempitkan, menghinakan, mematikan, penyiksa, pemberi derita dan perilaku negatif lainnya. Sedangkan perilaku dan sifat-sifat sebaliknya yang positif seperti memelihara, melapangkan, memuliakan, pemaaf, pemberi manfaat menjadi tenggelam ke dalam hati kecilnya yang terdalam. Hati kecilnya itu hanya bisa megap-megap seperti kehabisan nafas dan tak mampu berbuat apa-apa untuk membalik keadaan agar bisa menjadi mengarah kepada kebaikan.
Akibatnya adalah
Saat dia berkuasa dalam sebuah rumah tangga, maka rumah tangga itu akan menjadi neraka kecil dalam kehidupannya.
Saat dia berkuasa pada sebuah perusahaan, maka perusahaan itu akan runtuh dan tinggal nama dalam beberapa waktu lagi.
Saat dia berkuasa pada sebuah negara atau wilayah, maka wilayah itu akan bisa dipastikan menjadi hancur dan menyedihkan bagi rakyat yang di bawah perintahnya.

Ketidakpatuhan Kolektif
Disamping pengkhianatan kepada Tuhan dalam bentuk PENGAKUAN atas kepemilikan Tuhan oleh Sang Duta Istimewa, masih ada lagi sebuah pengkhianatan lainnya dalam bentuk KETIDAKPATUHAN KOLEKTIF manusia atas SUNNAH atau hukum-hukum Tuhan (sunnatullah). Pengkhianatan dalam bentuk ketidakpatuhan kolektif ini lebih disebabkan oleh gagalnya manusia memahami makna sunnatulah seperti apa adanya dan apa yang seharusnya. Kesalahan pemahahaman manusia ini lebih disebabkan oleh paradigma berpikir yang keliru dalam mengartikan sunnah yang tercantum dalam kitab-kitab suci yang diturunkan kepada manusia itu sendiri, sehingga sunnah itu menjadi sempit dan kadaluarsa dimakan perputaran zaman.
Dalam agama Islam, misalnya, sunnah yang terkumpul dalam bentuk Al Qur’an dan Aal Hadits, telah dipahami oleh hampir sebagian umat Islam sebagai dua sumber hukum yang sangat tinggi tingkatannya sebagai pedoman bagi manusia dalam menjalankan fungsi kekhalifahannya di muka bumi ini. Sampai disini sebenarnya tidak ada yang salah. Akan tetapi dalam pemahaman dan kenyataannya, dari masa ke masa sunnah itu seperti TUMPUL dan tidak mampu menjawab tantangan peradaban dizamannya. Bahkan berbilang zaman, pemahaman sunnah itu seperti tidak mampu membangun peradaban yang katanya “ya’luu walaa yu’laa alaihi” bahwa agama dan peradaban Islam itu tinggi dan tidak ada yang menandingi ketinggiannya. Slogan manis ini hampir-hampir saja menjadi ungkapan kosong yang tak terbukti (utopia) dalam kehidupan nyata bagi pemeluknya. Jauhlah panggang dari api…
Kenapa bisa begini…?
Apakah Al Qur’an dan Al Hadits itu sudah tidak sesuai lagi dengan Sunnatullah….?. Astagfirullahal adhiem…, ini tentu sebuah ungkapan yang mengerikan.
Akan tetapi, kalau tidak begitu kenapa hasilnya seperti tidak ada ….???.

KEMUNGKINAN PENYEBABNYA
Dalam aliran pengertian dan informasi yang masuk ke dalam otak saya, ternyata sumber semuanya itu adalah karena telah terjadinya kerancuan paradigma berfikir bagi penganut agama Islam terhadap kedua sumber hukum tadi yaitu Al Qur’an dan Al Hadits yang sudah sedemikian lamanya dan turun temurun serta diwariskan pula kekeliruan itu dari waktu ke waktu. Artinya telah terjadi ketidakpatuhan kolektif mayoritas umat Islam terhadap pemahaman dan pelaksanaan sunnah yang mereka agung-agungkan sendiri itu.
Diantaranya adalah:
1. Pemahaman-pemahaman tentang problematika kekinian peradaban.
Umat selalu mau dibawa dan ditarik kembali menuju peradaban sederhana kalau tidak mau dikatakan primitif di zaman Rasulullah, sahabat, dan salafus shalih dahulu kala. Kalau tidak ada contoh dari zaman-zaman Nabi dan salafus shalih tersebut, maka sebuah senjata pamungkas yang menakutkan kemudian dikeluarkan: “Itu adalah BID’AH, setiap BID’AH adalah sesat, dan setiap kesesatan imbalannya adalah NAARRRR (NERAKA)”. Cerdas benar orang yang telah memelintir senjata yang sebenarnya sederhana ini menjadi sebuah senjata pamungkas sehingga perkembangan umat Islam menjadi mandeg dalam segala hal. Sehingga umat Islam lalu menjadi bulan-bulanan atas ketakutan mereka sendiri untuk menjalankan kekinian yang sangat jauh berbeda dengan zaman salafus shalih dulu itu.
Padahal makna Bid’ah yang diganjar dengan neraka itu, kalau masih mau dipakai, hanyalah sebatas yang berhubungan dengan ritual ibadah seperti shalat, haji, puasa, dan pada taraf tertentu adalah mengenai harta. Sedangkan untuk membangun sebuah kebudayaan, maka boleh dikatakan semua asesorisnya adalah baru, BID’AH. Jadi untuk membangun kebudayaan itu, maka boleh dikatakan semuanya adalah BID’AH, karena nyaris semuanya tidak ada contohnya di zaman Nabi dan salafush shalih dulu.
Bagaimana mungkin sebuah BUDAYA (dengan segenap asesorisnya) di zaman kosmopolitan seperti sekarang ini mau ditarik mundur menuju peradaban sederhana di zaman Nabi dan salafush shalih itu…??. Kalau pun ada yang mengatakan itu bisa, maka hasil yang akan didapatkan adalah sebuah peradaban yang menjadi tontonan orang banyak karena keanehannya.
Disamping itu, bagaimana mungkin budaya umat Islam yang berasal dari berbagai bangsa dengan budaya dan peradaban yang berbeda mau dibawa dan ditarik menjadi sebuah budaya berbau ARAB, misalnya keislaman seseorang masih mau ditandai dengan atribut-atribut seperti memakai gamis, bersorban, dengan tasbih di tangan, dan siwak menempel di mulutnya pula. Pada aliran-aliran tertentu malah, seorang ulama, Kyai Haji, ustadz akan merasa belum afdhal kalau dia belum terlihat seperti figur WALI SONGO dalam sinetron di TV. Padahal dulunya Abu Jahal, Abu Lahab, dan pembesar-pembesar Quraisy penentang Nabi juga memakai gamis dan bersorban pula. Apa bedanya kalau begitu, kalau masih terpaku dengan atribut lahiriah belaka..?. Bahkan baju gamis yang dianggap sebagai ciri khas kelompok-kelompok tertentu di Indonesia ini ternyata di Pakistan dan Afghanistan sana juga dipakai oleh tukang sampah dan petani-petani untuk ke sawah.

Banyak lagilah kerancuan umat Islam dalam pemahaman kata BID’AH dan perubahan kebudayaan ini, sehingga terlihat benar bahwa sebagian besar umat Islam lalu menjadi serba salah, serba kikuk, serba terbata-bata, dan gagap budaya.
Tentang BID’AH ini, ada hal lain yang menarik, yaitu mengenai praktek-praktek yang sangat lazim di masyarakat Indonesia, yang meliputi fenomena keparanormalan dengan segala variannya. Masyarakat awam boleh dikatakan sangat menikmati dan mempercayai sensasi-sensasi mistis di dunia paranormal ini. TV pun berlomba-lomba menampilkan acara-acara yang bagi penggemarnya selalu ditunggu-tunggu walaupun ulama dan da’i sampai serak berteriak-teriak di mimbar khotbah mengatakan bahwa semua itu adalah BID’AH, SYIRIK, HARAM. Cap bid’ah ini juga diberikan terhadap acara-acara budaya atau kebiasaan masyarakat seperti ziarah kubur, pengobatan alternatif dengan segenap macamnya (ulama mengkategorikannya sebagai perdukunan), kepercayaan tentang roh-roh gentayangan, sihir, mantra-mantra, dan praktek-praktek lainnya yang bersinggungan dengan praktek budaya dan praktek ibadah agama Budha dan Hindu. Walaupun telah dimasyarakatkan oleh MUI (sebagai wakil formal ulama) bahwa semua itu adalah BID’AH, akan tetapi tetap saja masyarakat umum secara mayoritas mengakuinya, mempraktekkannya walau kadangkala dengan malu-malu kucing. Sehingga ada kesan bahwa loyalitas dan kepatuhan masyarakat terhadap ulama sudah sangat lemah. Ulama berkata apa, umatnya prakteknya lain lagi.
Bahkan ada yang lebih aneh lagi, praktek dzikir ustadz Arifin Ilham, Aa Gym, ustadz Haryono dan beberapa praktek serupa seperti dalam tasawuf (tarekat) juga ada yang membid’ahkannya, sehingga yang bingung ya…. umat sendiri, yang akhirnya mereka rancu sendiri…, nggak tahu mana yang benar.
Kenapa sampai begini…?.
Jawabannya sangatlah sederhana, bahwa umumnya masyarakat sudah tidak mampu lagi untuk merasakan kelezatan cita rasa beragama. Tegasnya agama itu tidak ada rasanya lagi. Yang ada hanya ketakutan demi ketakutan atas hukuman Tuhan akibat paradigma yang menjadikan agama hanya sebatas kepatuhan terhadap perintah dan larangan Tuhan dan Nabi (yang dalam khotbah-khotbah dijadikan sebagai definisi TAQWA). Dan juga yang dicari dalam beragama itu pada umumnya hanyalah sebatas pahala dan syurga, tetapi dimensinya untuk di akhirat nanti. Di dunia ini…?, ya utopia saja sudah cukuplah. Dan biasanya orang-orang utopia inilah yang lebih banyak bingungnya, lebih banyak menyalah-nyalahkan orang lain dengan semangat 45 pula.
Akibatnya mana mungkin sebuah bentuk praktek agama yang hasilnya hanya sebatas utopia bisa menggantikan suatu praktek budaya atau ritual keagamaan yang ada RASA-nya…???. Tidak mungkinlah…!!!.
Ditingkat rasa inilah sebenarnya para pemraktek ritual mistis keagamaan lebih banyak berada (kalau tidak mau dikatakan semuanya), seperti dzikir berjamaah, tasawuf, paranormal dan fenomena sejenisnya. Praktek aliran SYI’AH-pun berada diwilayah ini, yaitu dengan menimbulkan rasa cinta yang sangat dalam dan pekat terhadap Ahlul Bait, bahkan untuk generasi terkini masuk juga seorang Khomeini didalamnya. Apalagi pengagungan dan pemujaan berlebihan penganut Syi’ah ini terhadap Rasulullah, sungguh menakjubkan sekali. Sampai-sampai pernah ada yang mencoba MEMBANDINGKAN Muhammad SAW dengan Nabi yang lainnya dan kesimpulannya adalah bahwa Nabi Muhammad is the best among them. Disamping itu, walaupun misalnya penganut Syi’ah di Indonesia belum pernah bertemu dengan Ahlul Bait ataupun dengan Imam Khomeini ini, penganutnya bisa menangis histeris walau hanya dengan “mengingat-ngingat” atau membaca riwayat penderitaan, kegagahan, kegigihan dan pemikiran beliau-beliau itu.
Ada RASA di dalam kecintaan itu…!!!
Ada tangis disitu…!!!
Ada ekstasis disitu…!!!
Sehingga para pencari rasa dalam beragama akan ketagihan untuk mendapatkan dan mendapatkan lagi sensasi RASA itu. Kalau mereka sudah merasakan RASA itu, maka pengamalnya akan mencarinya kemana pun dan kapan pun agar rasa itu bisa muncul lagi. Efek ketagihannya hampir sama dengan ketagihan orang terhadap rokok ataupun narkotik. Dan akibatnya jadilah mereka penganut aliran yang terikat kuat dengan alirannya itu. Dilarang-larang…?? Woou mereka bisa membunuh orang yang melarangnya itu…!!!.

Fenomena apakah ini…??
Apakah ini salah atau benar…??.
Mari kita bahas sedikit lebih detail.
Rasa, tangis, histeris, dan bahkan bergemuruhnya dada serta bergetarnya tubuh, ternyata barulah sebatas sensasi FISIK dan EMOSI saja. Untuk mendapatkannya maupun efek serta pengaruh yang muncul bagi pemrakteknya hampir-hampir tidak ada bedanya sama sekali diantara penganut agama-agama yang ada. Semua bisa merasakannya, tak terkecuali orang atheis sekali pun. Siapa pun yang berhasil menahan gejolak badai fikiran di otaknya dan menujukan arah fikirnya hanya kepada suatu objek saja, maka dengan memberikan sedikit sentuhan irama dan kata-kata yang menghiba-hiba ataupun yang membahagiakan, maka hampir pasti orang itu akan menangis bahkan bisa sampai taraf histeris. Emosional saja sebenarnya sifatnya.
Akan tetapi sekarang, baru sampai pada taraf menangis ini sudah diartikan oleh banyak orang sebagai sebuah PERISTIWA SPIRITUAL. Dan orang sudah bangga dengan itu…!!!
Ooo…., saya sudah bisa menangis dengan melakukan praktek dzikir ini-itu…
Aduh… hati saya menjadi damai setelah dzikir di tempat anu dan saya bisa menangis disitu…!!!.

Selama rasa itu masih ada, maka selama itu pula orang itu akan merasa sangat beragama, sangat merasa bertaqwa, merasa imannya sedang naik, dan merasa menjadi orang baik.
But…, sssttt… let me tell you a little secret…..
Biasanya orang yang sedang menikmati sensasi rasa ini mukanya kelihatan KUYU, tidak bersemangat, maunya duduk mojok dan bersunyi-sunyi diri (mirip Rabiah Al Adawiyah, seorang sufi perempuan yang terkenal dengan kecintaan Beliau kepada Tuhan dan menyebabkan Beliau selalu mengurung diri di kamar dan menangis terus dan tidak mau nikah seumur hidup Beliau).
Dan … believe it or not, biasanya setelah itu, tak lama kemudian, rasa itu akan hilang kembali. Akibat rasa ini kendor atau malah bisa hilang sama sekali, maka orang yang baru sampai di wilayah rasa ini, akan merasakan imannya seperti sedang turun, ketaqwaannya sedang di uji, sehingga dia akan kembali mencari rasa itu kemana pun dan kapan pun. Sensasi turun naiknya rasa ini kemudian dalam istilah agama disebut sebagai terbolak-baliknya hati, atau turun naiknya iman yang lokasi keberadaannya adalah di dada. Istilah populer untuk lokasi tempat terjadinya proses ini adalah QALBU (hati).
Makanya lalu muncul istilah-istilah seperti Manajemen Qalbu, pembersihan hati, dan yang sejenisnya. Intinya adalah bagaimana menjaga dan mengatur agar RASA tadi tidak lagi bolak balik. Akan tetapi disinilah muncul masalahnya, bagaimana kita akan bisa mengelola dan mengatur sebuah SIFAT (QALBUN) yang memang telah disiapkan sejak awal oleh Allah untuk terbolak-balik seperti itu, seperti telah disiapkannya sifat panas dan dingin, gelap dan terang, tetapi tetap selalu berada dalam sebuah harmoni kehidupan…

Salahkah rasa ini…?.
Cukupkah beragama itu hanya sampai pada sebatas pencapaian RASA itu saja…??. Lalu bagaimana… ?.
Tidak ada yang salah dengan adanya sensasi RASA dalam beragama ini. Karena rasa itu adalah sesuatu pengalaman yang sangat empiris, sama empirisnya dengan benda-benda NYATA seperti air, tumbuhan, udara, dan sebagainya. Akan tetapi mungkin hanya sedikit orang yang bisa menyadari bahwa dalam beragama tidak cukup hanya sebatas pada pencarian RASA. Rasa itu perlu, akan tetapi pada wilayah rasa ini pulalah tempatnya jebakan yang sangat memabokkan penikmatnya. Rasa itu adalah sebuah wilayah yang penuh dengan seribu macam jebakan yang sangat mengganggu. Dengan rasa orang bisa mencintai “suatu objek” tempat mengalirnya rasa cinta itu mulai dari kadar yang sederhana seperti mencintai benda-benda seni, binatang peliharaan, tumbuh-tumbuhan hias, sampai dengan kadar yang sangat pekat seperti mencintai anak, istri, suami, atau pacar.
Bahkan ada juga rasa cinta dengan kadar yang sungguh mengagumkan dan nyaris tanpa reserve kepada objek cintanya seperti yang diperlihatkan oleh penganut Syi’ah dalam mencintai Nabi Muhammad, dan Ali Bin Abi Thalib, Hasan, Husein, imam-imam Syi’ah, termasuk Imam Ghaib Al Mahdi yang dipercayai oleh penganutnya masih exist sampai dunia kiamat kelak untuk memberikan manfaat dibalik hijab kepada umat manusia seperti ungkapan berikut:
“Imam adalah inti dan jantung dunia wujud. Tanpa keberadaannya, dunia akan hancur dan sirna. Oleh karena itu, keberadaan imam kendati ghaib adalah lazim dan merupakan sebuah keharusan. Sebagaimana manusia dapat mengambil manfaat dari matahari yang bersembunyi di balik awan, begitu juga manusia dapat merasakan anugrah wujud ghaib beliau. Di samping itu, pada masa ghaib tidak sedikit orang yang memiliki kebutuhan dan hajat yang terlaksana berkat uluran tangan dari wujud Imam as. Begitu juga wujud Imam merupakan penyebab tumbuhnya harapan manusia, sekaligus faktor penting dalam mensupport manusia dalam pembersihan jiwa dan persiapan untuk kemunculan beliau as.” (SAL, Aqidah Syiah, hal 102).
Dengan kadar cinta yang sangat luar biasa seperti ini, maka sudah tidak jelas lagi BEDA ARAH OBJEK RASA CINTA antara mana yang cinta kepada ALLAH, mana yang kepada Muhammad, mana yang kepada Ahlul Bait, dan mana yang kepada Imam Ghaib Al Mahdi. Semuanya bersatu berpilin-pilin kusut dalam sebuah laku syariat yang dipraktekkan oleh penganut aliran syi’ah. Dan hari-hari para pencinta ini akan di isi dan dikendalikan oleh rasa cinta terhadap objek itu yang bagi orang lain mungkin terlihat aneh dan berlebih-lebihan.
Pada bagian sebelumnya sudah diulas secara singkat tentang ada pula orang, kelompok atau aliran yang mencoba mengalirkan rasa cintanya hanya kepada ALLAH seperti yang diperlihatkan oleh sufi wanita Rabiah Al Adawiyah. Dengan rasa cinta yang membara kepada Allah, maka sang sufi hanya asyik masyuk dengan “pendekatannya” kepada Allah dan di lain pihak meninggalkan fungsi kekhalifahannya untuk membangun dan menjadi rahmat bagi alam semesta.
Dengan rasa pulalah orang bisa membenci, memusuhi, menyiksa, bahkan sampai membunuh orang lain, serta menghancurkan sebuah kebudayaan atau bangsa. Saat muncul sebongkah rasa tidak senang seseorang atau sekelompok orang atau aliran terhadap orang lain karena orang lain itu menghalangi munculnya rasa enak dan ekstasis pada dirinya melalui sebuah praktek agama atau kejiwaan, maka saat itu pulalah sebuah power yang sangat dahsyat mulai diciptakan dan siap untuk dimuntahkan kepada lawannya. Dunia Islam sudah sangat kenyang dengan pengalaman membanjirnya darah merah akibat penganut aliran-aliran atau sekte-sekte di dalam agama Islam saling terjebak dengan sensasi RASA ini (nanti pada bagian tersendiri akan ditambah dengan uraian terjebaknya aliran-aliran ini dalam INTELEKTUALITAS tentang pemahaman Al Qur’an dan Al Hadits).


2. Sejarah Hitam …
Awal sejarah hitam ini telah dimulai oleh sahabat-sahabat Nabi tak lama setelah wafatnya Nabi. Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ai’syah, dan Mu’awiyah, adalah sedikit nama dari ratusan bahkan ribuan nama-nama lainnya yang telah menorehkan tinta merah dalam sejarah perjalanan Islam dengan terciptanya dua aliran utama (mainstream) di dalam Islam yaitu Ahlussunnah (Sunni) di satu sisi dan Syi’ah di sisi lainnya, yang masing-masing mengklaim bahwa yang MURNI ISLAM itu HANYALAH kelompok mereka. Masing-masing sisi mencap sisi lawannya sebagai KAFIR. Syi’ah menganggap penganut Sunni sebagai KAFIR, SESAT, TERLAKNAT, dan darah pembelotnya pun halal untuk ditumpahkan (lihat … Mengapa saya keluar dari Syiah, hal X, Sayyid Husain Al Musawi). Dipihak lain, Sunni pun mencetak label KAFIR, SESAT kepada aliran Syi’ah ini dan darahnya halal untuk ditumpahkan (lihat… Sikap Syi’ah terhadap Al Qur’an, hal 53, Ahmad bin Abdullah Al-Hamdan).
Dan yang sangat mengagumkan lagi, varian dari dua aliran besar inipun bermunculan dengan pesat. Jumlahnya mungkin sampai ratusan varian yang membuat kebesaran ISLAM, AL QUR’AN, Muhammad SAW, menjadi hanya sebatas pengertian pihak Sunni saja, atau pihak Syi’ah saja, atau pengertian dari pihak varian aliran-aliran yang muncul bak cendawan di musim hujan. Karena Islam itu TELAH menjadi kecil terkotak-kotak dan tersayat-sayat, maka ISLAM itu dengan cepat menjadi seperti lentera yang kehabisan minyak, dan dengan mudah dikalahkan oleh bangsa-bangsa lainnya. Islam telah terkapar tak berdaya akibat tingkah penganutnya sendiri.
Aneh bin ajaibnya, “semangat” penorehan tinta darah itu sepertinya mau dipertahankan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Saat inipun generasi penerus penoreh tinta merah itu exist bergerak dengan sangat intens, dan tetap akan tetap exist selama tidak adanya niat diantara mereka untuk melakukan “REKONSTRUKSI BERFIKIR” terhadap ISLAM itu sendiri.
Kalau begitu, adakah JALAN KELUAR (MAKHRAJA) dari dahsyatnya pengaruh JEBAKAN RASA ini…???. Jawabannya adalah …, ADA….!!!.
Untuk bisa terbebas dari jebakan RASA ini, maka jalan satu-satunya adalah dengan KELUAR dari WILAYAH RASA itu yang berada di DADA (SUDUR, QALB). Wilayah dada ini adalah sebuah wilayah yang disebut juga TUNGKU PERAPIAN, TUNGKU PENYIKSAAN, dan sekaligus juga adalah RUANGAN PEMBEKU buat manusia di dunia ini. Di tungku inilah adanya ruangan panas dan dingin, ruangan benci dan rindu, ruangan iman dan kufur, yang akan selalu muncul silih berganti mendera setiap manusia. Kalau tidak mau terjebak dalam ketidaktetapan sifat ini, maka keluarlah dari sana. Karena kalau hanya sekedar di manajemeni, di bersih-bersihkan, ditekan-tekan, maka yang akan mucul selalu sebuah sifat yang terbolak-balik, suasana rasa yang turun-naik antara baik dan buruk. Suasana yang menyiksa diri sendiri

3. Kebingungan Spiritual…
Nah…, perjalanan keluar dari tungku perapian inilah yang disebut dengan peristiwa SPIRITUALITAS, yaitu sebuah proses PERJALANAN (MI’RAJ) untuk menemukan wilayah DIRI Universal (Muthmainnah):
“Diri yang tidak terpengaruh lagi oleh gejolak dan prahara tungku perapian. Diri yang selalu menerima pencerahan. Dan Diri itu lalu…, selalu mengarah kepada sang Penciptanya”.

Diri dengan ciri seperti inilah yang disebut sebagai diri yang tenang, Diri yang tahu memanfaatkan tungku perapian itu untuk “memasak” dunia (tanpa dia sendiri ikut terbakar didalamnya), sehingga peradaban di dunia itu menjadi berkembang dari waktu kewaktu dengan sangat menakjubkan. Akan tetapi Diri itu sekaligus juga bisa mendinginkan dan membekukan dunia (tanpa dia ikut membeku di dalamnya).

Ya…, diri yang tenang ini seperti terpisah dari prahara akibat panas dan dingin yang berlebihan dari proses pembentukan peradaban itu. Sehingga peradaban itu berubah menjadi sebuah hidangan lezat untuk dinikmati. Sebuah peradaban yang tidak panas dan tidak dingin, peradaban yang bisa mengalir membelah zaman membawa muatan yang merupakan realitas dari PAHALA atau umpan balik buat sang DIRI itu di dunia ini, saat ini juga.
Banyak orang yang masih bingung dengan istilah spiritualitas ini.
Ada yang menganggapnya hanya sekedar ucapan dan gerak anggota tubuh saja dalam sebuah praktek ibadah dalam bingkai agama.
Ada juga yang menganggapnya sebagai sebuah peristiwa bertangis-tangisan akibat syahdunya lantunan do’a dan dzikir yang mendayu-dayu.
Bahkan ada yang mengangapnya sebagai hal yang baru dan tidak ada contohnya di zaman Nabi (BID’AH).
Padahal peristiwa spiritualitas ini tanpa disadari oleh mereka, sebenarnya sedang terjadi pada diri manusia itu sendiri. Spiritualitas itu sedang mengalir dalam diri manusia tanpa tertahankan sedikitpun, yaitu “proses kejadian manusia” dari waktu ke waktu.
“Manusia pada awalnya tiada,----- lalu ia diciptakan dari saripati tanah (unsur karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, dll.) dalam bentuk air mani dan ovum yang dipersatukan, ----lalu ada gerak tumbuh di dalam rahim,----- lalu dilahirkan,---- lalu tumbuh dari kecil menjadi besar kemudian tua,---- lalu mati…!!. “

Allah kemudian menerangkan lebih detail bahwa cikal bakalnya Sang Manusia (sang NAFS) ini adalah dari saripati tanah yang kemudian dialiri “Gerak” yang di dalamnya sudah terkandung “muatan” berupa HIDUP, MELIHAT, MENDENGAR, MERASA, TAHU. Muatan gerak itu berguna bagi sang NAFS sebagai fasilitas atau sarana untuk melakukan perannya sebagai KHALIFAH di muka bumi. Dalam istilah Al Qur’an mengalirnya GERAK yang bermuatan hidup, melihat, mendengar, merasa, tahu ini kepada Sang Nafs disebut juga dengan ditiupkan MIN-RUHI (RUH-KU) oleh ALLAH. Atau disebut juga Sang Nafs telah mengalami celupan Allah (shibghatullah).
Gerak itu dengan telaten, tanpa henti, mengantar Sang Nafs melakukan perannya (amal) sebagai Duta Istimewa Allah di alam dunia ini. Betapa tidak, untuk sekedar mengangkat tangan saja, Sang Nafs tidak akan bisa jika “Gerak” itu ngambek mengaliri tangan si manusia itu. Tidak dialiri “Gerak” di tangan itu dalam istilah manusianya disebut sebagi “si lumpuh tangan”.
“Gerak” itu juga yang akan mengantarkan manusia melakukan peran sebagai Gatotkaca, Bima, Yusdeka, Presiden, rakyat jelata, petani, dan sejuta peran lainnya. Untuk menyadari “Gerak” ini pada pribadi-pribadi yang diserahi peran itu, coba perhatikan aktivitas sebuah pasar dari arah ketinggian. Misalnya berdirilah dibalkon Mall. Alihkanlah pandangan ke kerumunan manusia yang berada di lantai dasar balkon itu. Perhatikanlah bagaimana ratusan nafs seperti bergerak hilir mudik, kiri kanan, dengan teratur, tidak bertubrukan satu dengan yang lainnya. Walaupun arah gerak itu tidak sama, tetapi tidak terjadi tumbukan antar nafs di lantai dasar itu. Sebenarnya yang terjadi adalah Sang Nafs hanyalah DIGERAKKAN. Titik !.
Gerak itu juga mengantarkan RASA kepada Sang Nafs tentang apa-apa yang mereka lakukan, mereka lihat, mereka dengar, dan mereka ketahui. Dengan rasa itulah sang Nafs punya indikator sebagai alat deteksi dini atas peran yang sedang di jalin oleh sang Nafs dalam rantai kehidupan di dunia ini. Sehingga dengan aliran rasa itu, sang Nafs bisa melakukan “switching” seperlunya apabila GERAK itu mengalirkan rasa yang tidak enak kedalam dada sang Nafs. Tapi ada juga sang Nafs yang sudah TIDAK dialiri lagi dengan RASA ENAK oleh Sang GERAK itu. Dalam istilah agamanya, sang Nafs yang sudah tidak punya indikator rasa ini disebut sebagai si nafs yang rasanya mati, hatinya mati, hatinya gelap, hatinya keras, dan sebagainya.
Gerak itu juga mengolah denyut jantung, membawa darah melalui pembuluh darah ke seluruh sel tubuh. Gerak itu juga memasukkan nafas dan mengeluarkan nafas dari paru-paru Sang Nafs. Gerak itu menumbuhkan dan mengganti sel-sel tubuh Sang Nafs yang sudah rusak agar bisa berfungsi dengan baik. Gerak itu tiada henti dalam kesibukan menyempurnakan Sang Nafs.
Ya…, Sang Nafs tadi dihantar oleh Sang Gerak Kolosal itu untuk merangkai amal (peran) dan menenun kehidupan tanpa henti-hentinya sampai Sang Nafs menemukan posisi akhirnya (maqam) yang akan tidak berubah lagi, POSISI ABADI. Posisi akhir ini seharusnya adalah pada posisi “Diri yang Universal” (Nafsul Muthmainnah). Karena memang Sang Gerak itu selalu punya kecenderungan (gharizah) untuk mengantar Sang Nafs mengarah kepada suasana Diri yang Universal seperti Universalnya suasana GERAK KOLOSAL itu sendiri.
Akan tetapi dalam perjalanan menghantar Sang Nafs menemukan posisi akhirnya (maqam) yang seharusnya universal, kadangkala GERAK itu seperti terhenti di tengah jalan. Gerak itu adakalanya tertahan oleh kuatnya tarikan ketubuhan (hawa un nafs) dan berubah menjadi posisi yang rendah dan terkotak-kotak. Ada nafs yang hanya sanggup mencapai suasana diri yang ammarah, ada yang sampai ke wilayah diri yang lawwamah. Semua pencapaian maqam ini sangat tergantung pada seberapa jauh kita menyadari dan membiarkan Sang Gerak itu membawa diri kita dari satu suasana ke suasana lain yang lebih universal. Dalam istilah agamanya disebut sebagai bertambah dan bertambahnya keimanan kita saat kita diperdengarkan dengan ayat-ayat Tuhan.
Kalaulah Gerak itu hanya bisa menghantar Sang Nafs sampai ke suasana diri ammarah ataupun diri lawwamah, suasana yang serba tidak menentu, dimana saat di posisi ini Sang Nafs mengaku-ngaku atas perannya, lalu diri (sang Nafs) itu keburu dipindahkan ke alam akhirat, maka hampir bisa dipastikan pula bahwa suasana diri yang ammarah ataupun lawwamah itu akan terbawa ke alam akhirat. Dan suasana tidak menentu itu pun akan dialirkan terus oleh Sang Gerak kepada sang Nafs yang sudah berpindah alam ke alam akhirat itu. Dalam istilah agamanya Sang Nafs ditarok ditempat yang penuh siksa (neraka). Dan Gerak itu mengalirkan rasa tersiksa yang tidak menentu tersebut secara Abadi kepada Sang Nafs. KEKAL, SELAMA-LAMANYA. Hum fiha abada.
Akan tetapi sebaliknya, jika dalam menguntai kehidupan sewaktu di alam dunia Sang Nafs berhasil mengikuti hantaran Sang Gerak sampai ntek…!!, untuk menemukan posisinya yang HAKIKI, yaitu posisi Diri Universal (Nafsul Muthmainnah), lalu dalam posisi diri universal itu Sang Nafs dipindahkan oleh Sang Gerak ke kehidupan alam akhirat, maka sungguh beruntunglah Sang Nafs itu. Karena pada suasana diri universal itu sudah tidak ada lagi ketakutan dan kekhawatiran. Suasana diri yang berada di maqam yang tidak ada takut dan khawatir ini disebut dalam istilah agamanya sebagai suasana SYURGAWI. Ya…, sang Nafs lalu dihantar oleh Sang GERAK meniti hari-harinya yang abadi untuk merasakan suasana syurgawi. Sang Gerak itu menghantar Sang Nafs dalam mengarungi suasana yang dia untai semasa sang Nafs hidup di alam dunia menjadi sebuah kehidupan syurgawi selama-lamanya. ABADI, KEKAL. Hum fiha abada.
Tapi rentang waktu untuk menemukan posisi abadi ini sangatlah terbatas. Proses menenun kehidupan ini hanya terjadi selama diri (Sang Nafs) yang terbuat dari saripati tanah masih belum sempurna pembentukannya. Selama saripati tanah itu masih disempurnakan di sana-sini, masih disembuhkan setelah sakit, masih diganti sel-selnya yang rusak, masih diemplek-emplek oleh Sang Gerak menuju yang lebih sempurna, maka hanya pada saat itulah kita punya kesempatan untuk merenda kehidupan kita menuju posisi Diri Universal sebagai bekal untuk kehidupan abadi di akhirat. Karena kalau saripati tanah itu sudah sempurna, sehingga tidak ada lagi yang perlu dipermak, tidak perlu lagi sel-selnya yang rusak untuk diganti, maka saripati tanah itu sudah tidak diperlukan lagi. Maka Sang Gerak itu mengambil kembali satu persatu aliran-aliran yang pernah dialirkan Sang Gerak kepada Sang Nafs yang berupa saripati tanah itu. Sang Gerak itu tidak lagi mengalirkan rasa melihat, rasa mendengar, rasa tahu, dan yang terakhir rasa hidup kepada saripati tanah itu. Lalu sang Nafs secara kehidupan dunia dikatakan MATI. Dan kemudian saripati tanah yang tadinya dibentuk dalam bentuk tubuh manusia itu diurai melalui gerak pembusukan, pelelehan oleh Sang Gerak untuk kembali menjadi unsur-unsur tanah.
Akan tetapi ada sebuah rahasia maha besar yang tersimpan dalam rentang waktu menenun kehidupan selama hidup di dunia itu. Kita tidak tahu kapan Sang Gerak itu memutuskan bahwa peran saripati tanah itu sudah sempurna dan lalu sang Gerak itu akan berhenti mengalirkan aliran Melihat, Mendengar, Tahu, dan Hidup kepada saripati tanah yang sedang merajut peran itu. Kita tidak tahu rahasia itu. Bisa jadi sepuluh tahun lagi, atau bisa juga besok, atau bahkan beberapa menit lagi peran saripati tanah itu sudah dianggap sempurna oleh Sang Gerak, sehingga saripati tanah itu lalu dimatikan. Dan dalam ketidaktahuan kita itulah kita harus berpacu dengan waktu untuk merenda hari agar bisa mencapai posisi Diri yang Universal yang dampaknya akan abadi di kehidupan akhirat nantinya. Sebuah perjudian hidup yang sangat besar, sebenarnya tengah kita jalani tanpa kita sadari.
Akankah kita lalai dalam perjudian hidup yang maha besar itu…??.
Terpulang kepada kita saja sebenarnya.
Seiring dengan diambilnya Melihat, Mendengar, Tahu dan Hidup dari saripati tanah itu oleh sang Gerak, maka sang Gerak itu lalu menghantar Sang Nafs untuk beralih alam dari alam dunia menuju alam Akhirat. Bersamaan dengan transformasi kehidupan Sang Nafs itu, maka Sang Gerak itu tetap mengalirkan Melihat, Mendengar, Tahu dan Hidup itu kepada Sang Nafs yang sudah berubah bentuk menjadi “kupu-kupu akhirat”, sebuah bentuk yang tidak sama dengan susunan saripati tanah seperti sebelumnya. Dan dalam bentuk “kupu-kupu akhirat” inilah kehidupan yang sebenarnya baru dimulai untuk sebuah kehidupan ABADI dalam suasana sesuai dengan pencapaian Sang Nafs selama menenun kehidupan di alam dunia. “Sang kupu-kupu akhirat” ini tak lain dan tak bukan adalah Sang Nafs juga dalam bentuk lain. Dan Sang Gerak itu tetap mengantarnya secara ABADI pula.

Makna Spiritualitas
Spiritualitas tak lain dan tak bukan adalah adalah sebuah pergerakan kesadaran (INGAT=DZIKIR) substansi manusia (NAFS = DIRI, JIWA) untuk patuh, tunduk, dan takluk terhadap KEHENDAK ZAT yang merupakan SUMBER dari sebuah GERAK KOLOSAL yang membentuk, menghidupkan, mematikan, menggerakkan, dan mencerdaskannya selama waktu yang telah ditentukan untuknya. Selama dalam proses kreatif, dari awal pembentukan sampai dia mati kembali, saat dia di-emplek-emplek, dirombak, lalu disempurnakan kembali, dan akhirnya dimatikan, maka substansi Nafs itu harus disadarkan bahwa dirinya hanyalah bentuk qodrat Tuhan.
Jantung adalah qodrat Tuhan, tubuh adalah qodrat Tuhan.
Sudur (dada) adalah qodrat Tuhan.
Otak adalah qodrat Tuhan.
Artinya semua atribut dari Nafs itu hanyalah tempat Tuhan berkreasi, tempat Tuhan berbuat keramaian, tempat Tuhan menciptakan peradaban bagi kepentingan Nafs itu sendiri.
Dengan munculnya kesadaran ingat (dzikir) pada Nafs (diri, jiwa) bahwa Sang Nafs itu hanyalah bentuk dari qodrat Tuhan, maka saat itu pulalah Sang Nafs bisa mengikuti sebuah Gerak Universal yang sangat KOLOSAL dengan tanpa hambatan bisa menemukan jalan kembali kepada Pemiliknya. Dalam istilah agamanya Gerak Universal yang kolosal itu disebut sebagai Sang MIN-RUHI (ruh-Ku) atau disebut juga RUH yang cenderung membawa apapun untuk kembali mengarah kepada Sang Pemiliknya. Ya…, Sang Ruh ini tidak lagi tersangkut oleh “gravitasi sifat dan bawaan” Nafs (hawa un nafs) atau tarikan alam-alam rendah lainnya seperti jin, syetan, iblis, harta, tahta, dsb. Sang Ruh akhirnya mampu saling berinteraksi dengan Sang Pemiliknya, yaitu AKU (Allah). Sehingga akibatnya Sang Nafs ikut menjadi objek yang menerima pencerahan demi pencerahan, karena Sang Nafs itu sudah tidak punya pengakuan lagi. Hanya tinggal satu Aku yang hakiki yang mengaku-ngaku, yaitu Aku (Allah).
Proses perjalanan kesadaran (INGAT) untuk TUNDUK, PATUH, dan TAKLUKnya NAFS kepada kehendak (qodrat) Tuhan, dan proses KEMBALINYA MIN-RUHI kepada Sang Pemiliknya setiap saat inilah yang disebut dengan peristiwa spiritual yang merupakan FITRAH, atau SUNNAH (Sunatullah) bagi setiap makhluk ciptaan-Nya tak terkecuali bagi manusia, Sang Duta Istimewa.
Jadi dalam proses spiritual itu ada 3 aktivitas besar yang terjadi berbarengan pada saat yang sama:
a. Proses perjalanan kesadaran bahwa diri manusia, otak manusia hanyalah bentuk qodrat (kehendak) Tuhan, maka kehendak Tuhan itu lalu menghadap (patuh, takluk, tunduk) kepada Sunnah Tuhan (Sunnatullah).
b. Proses perjalanan kesadaran bahwa ruh manusia (atau kadang-kadang di sebut juga oleh Pemiliknya dengan sebutan Aku, Bashirah = Yang Tahu) itu adalah Min-Ruhi (Ruh-Ku), ruh milik Tuhan, ruh Tuhan, maka lalu ruh itu dengan kehendak Tuhan kembali kepada Tuhan (Innalillahi wa inna ilaihi rajiuun = Aku adalah milik Tuhan, dan Akupun kepada Tuhanku Kembali).
c. Proses perjalanan rasa ingat Tuhan menghadap kembali kepada Tuhan.


Qodrat Allah kembali kepada Allah…!!
Min-Ruhi (Ruh milik Allah) kembali kepada Allah …!!.
Rasa ingat Allah kembali kepada Allah …!!

Maka saat itu sirnalah nama-nama
Lenyaplah pandangan dan pendengaran
SirnalahYusdeka
TIADA LAGI PENGAKUAN …!!!.

Sirna…, sirna….
Tiada…, tiada…
Lenyap…, lenyap…
KOSONG…!!!

Yang ada adalah Yang Ada…,
Yang Ada…,
YANG ADA…!!!

Yusdeka fana, tiada,
dan yang ada hanyalah Yang ADA…!!!

Yang ADA adalah AKU yang bening yang lepas dari tarikan grafitasi NAFS dan terhindar dari pengaruh Alam-alam RENDAH lainnya..

Yang ADA adalah AKU yang bening dan jernih yang selalu mendapatkan NUR dan BURHAN (pencerahan, enligthment) dari Tuhanku.

AKU…, AKU…, AKU…, AKU…,
INGSUN…, INGSUN…,
SANG HIDUP…,
SANG TAHU…,
SANG MATA KEHIDUPAN…,

Maka apabila AKU telah bernyata:
"…Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar..." (Al Anfaal 17).
"…Maka Aku merupakan pendengaran yang ia gunakan, Aku merupakan penglihatan yang ia gunakan, Aku merupakan tangan yang ia gunakan untuk menyerang, dan Aku merupakan kaki yang ia gunakan untuk berjalan…” (Hadits Qudsy, HR Bukhari)
Jadi SPIRITUALITAS adalah sebuah proses PEMBEBASAN AKU dari pengaruh hisapan dan jebakan gravitasi-gravitasi NAFS (Hawa Un NAFS) yang berupa Pikiran dan Rasa. Sehingga Sang NAFS secara otomatis juga akan terbebas dari tarikan alam-alam rendah (jin, syetan, iblis, dan NAFS-NAFS lainnya). AKU lalu kembali kepada FITRAH-KU dengan menjadi substansi yang MERDEKA, yang selalu mengarah, memancar kepada TUHAN-KU sehingga AKU selalu mendapatkan arahan dan pancaran NUR dari TUHAN-KU setiap saat. Sesuai dengan tugas-KU sebagai Duta Istimewa, maka AKU lalu menjadi menjadi KUSIR atas NAFS-KU untuk mengelola dan memakmurkan dunia ini sesuai dengan Sunnah Tuhan-Ku (sunatullah) ... !!!
Kalau tidak sampai mendapatkan AKU yang bening dan merdeka seperti ini, maka posisi itu namanya adalah diri yang tersekat, tersasar, yang dalam istilah agama disebut dengan SYIRIK… !!!. Perilaku syirik inilah yang menjadikan manusia itu disebut sebagai PENGKHIANAT TUHAN. Sang Duta Istimewa yang mbalelo terhadap Tuhan yang mengutusnya.

4. Kerancuan sistematika berfikir yang sangat luar biasa juga telah terjadi dalam memahami Sunnah (Al Qur’an dan Al Hadits).
Kerancuan Dalam memahami Al Qur’an-1:
Secara sistematis Al Qur’an telah menjadi sebuah kitab kosong yang hanya tinggal sebatas dibaca, dihafal, dan dilombakan. Ada memang upaya dilakukan untuk penafsiran ayat-ayatnya secara kontekstual, akan tetapi sayang tafsirannya itu masih terkesan ragu-ragu dan malu-malu dan nyaris selalu dibawa mundur dan mundur ke alam budaya dan pengertian zaman Salafus Shalih sekitar seribu tahunan yang lalu.
Padahal Al Qur’an itu adalah sebuah kunci pembuka sebuah gudang penyimpan senjata pusaka yang sangat ampuh bagi bekal kehidupan umat manusia. Allah menyatakan di dalam Al Qur’an bahwa ada senjata pusaka di sebuah gudang penyimpanan rahasia yang diperuntukkan bagi umat Islam sebagai pewaris dan penerima peta wasiat tempat penyimpanannya. Akan tetapi kunci itu secara tidak sengaja ternyata telah dibuang oleh umat Islam dan telah beralih tangan kepada umat yang tidak beragama Islam. Sehingga mereka berhasil mendapatkan senjata pusaka yang ternyata memang sangat ampuh untuk bekal mengelola dunia ini. Bahkan sangat ampuh untuk menghadapi dan mengalahkan umat Islam itu sendiri.
Hal ini persis seperti kejadian dalam cerita silat Kho Ping Hoo, dimana seorang Pendekar Sakti meninggalkan pusaka berupa sebuah kitab silat dan Pedang Penakluk Naga. Di akhir hayatnya, Pendekar itu menyepi mencari jalan Tuhan di dalam sebuah gua tersembunyi sampai matinya. Si Pendekar masih sempat menuliskan sebuah pesan singkat (peta menuju Gua Rahasia itu) sebelum nafasnya berhenti:
“Peta ini akan menuntun bagi siapapun yang menemukan peta ini untuk menuju gua tempat menyimpan kitab dan pedang sebuah ilmu silat yang sangat hebat. Semoga ilmu ini tidak berpindah tangan kepada orang-orang yang jahat, sebab kalau ilmu ini dipegang oleh orang jahat, maka dunia persilatan akan mengalami kekacauan dahsyat…”.
ttd. Pendekar Sakti….
Singkat kata, melalui sebuah peristiwa “kebetulan”, kitab dan pedang pusaka sakti itu duluan jatuh ke tangan seseorang yang mempunyai karakter jahat dan angkara murka. Tak lama kemudian tersiarlah kabar ke seantero negeri bahwa seorang pendekar jahat telah turun gunung malang-melintang di dunia persilatan menebar bencana.
Gua itu telah kosong, kitab dan senjata pusakanya telah berpindah ke tangan yang salah. Walaupun suatu saat nanti ada pendekar baik-baik yang menemukan gua itu, maka dia tidak akan menemukan apa-apa lagi. Tinggallah dunia persilatan yang mayoritas berisikan orang-orang baik menjadi bulan-bulanan si pendekar jahat. Sementara itu si pendekar baik hanya termangu menyadari keterlambatannya.
Untuk dapat mengalahkan ilmu si pendekar jahat yang sakti itu, maka diperlukan pula kitab dan senjata pusaka lain yang seimbang. Butuh berbilang tahun kemudian untuk munculnya seorang pendekar sakti yang baik sebagai lawan yang seimbang bagi si pendekar jahat itu. Bahkan mungkin harus berganti generasi dulu baru dunia persilatan untuk kembali aman dan damai….!!
Hal yang serupa juga terjadi dalam realitas perjalanan agama Islam. Pada awalnya penyebarannya, umat Islam telah dibekali dengan sebuah peta yang akan membawa penganutnya untuk menemukan sebuah pusaka untuk mengelola dan memakmurkan dunia. Peta itu adalah Al Qur’an yang telah dengan baik dipakai oleh Rasulullah Muhammad SAW untuk mendapatkan senjata pusaka yang cocok untuk menghadapi segala problematika hidup di zaman Beliau. Akan tetapi berbilang zaman kemudian, peta itu telah dipakai dan direalisasikan oleh orang lain, dan mereka berhasil mendapatkan senjata pusaka yang sangat ampuh. Sedangkan bagi umat Islam, yang tersisa tinggallah peta kosong yang nyaris tidak bermanfaat apa-apa, selain hanya untuk mendapatkan pahala dalam membaca dan menghafalnya.
Ya…, akibatnya, fungsi Al Qur’an yang tertinggal bagi umat Islam (dengan paradigma berpikir seperti sekarang ini) boleh dikatakan hanyalah sebatas gudang yang sudah kosong melompong. Isinya telah duluan diambil oleh umat non muslim. Dengan senjata itu pulalah mereka mengalahkan dan mengebiri umat Islam hampir di seluruh dunia. Tinggallah umat Islam bisanya hanya sebatas meratapi nasib dan memaki-maki sana-sini. Memaki Amerika, memaki Yahudi, memaki Barat… !!!.
Walaupun Barat telah menemukan senjata pusaka itu, akan tetapi ternyata Barat tidak mampu memanfaatkan pusaka itu dengan utuh. Ada jurus-jurus dan amunisi yang tertinggal. Dan yang tertinggal itu ternyata adalah bagian pamungkas dari rangkaian ilmu dalam pusaka yang telah tercuri itu. Akibatnya Barat gagal memanfaatkan pusaka itu untuk kemakmuran dunia. Alih-alih memakmurkan dunia, malah Barat terperosok kepada penghancuran dunia dengan peradaban manusia di dalamnya.
Lengkap sudah sarana untuk penghancuran peradaban manusia itu tersedia saat ini. Di satu pihak umat Islam sudah tidak punya pusaka apa-apa lagi sebagai bekal untuk membangun peradaban itu. Dipihak lain umat non muslim (baca Barat) berhasil mendapatkan pusaka itu, akan tetapi sayangnya bagian terpenting dari pusaka itu yang berfungsi sebagai sebagai langkah penutup atau langkah pamungkas malah mereka tinggalkan. Yaa…, beginilah dunia jadinya…!!!
Apa bentuk senjata pusaka yang telah dicuri orang itu..??.
Nanti akan saya bahas lebih dalam pada artikel “Rekonstruksi Berfikir” sub bagian “Al Qur'an Adalah Teropong Kauniah”.
Kerancuan Dalam memahami Al Qur’an-2:
Kerancuan pemahaman Al Qur’an yang lainnya adalah dalam hal memahami DUALITAS yang terkandung di dalam ayat-ayatnya. Dalam artikel “Menggabung Kutub Dualitas”, saya sudah singgung secara cukup detail, bahwa di dalam Al Qur’an seperti ada dua kutub sikap yang sepintas “kelihatannya” saling berlawanan (bertentangan) bagi manusia dalam menjalani kehidupan ini, yaitu KUTUB RASIONALIS dan KUTUB FATALIS. Kedua kutub ini difasilitasi keberadaannya oleh Al Qur’an:
Kutub RASIONALIS difasilitasi paling tidak oleh ayat berikut:
"....Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia". (Ar Ra'du 11)
Kutub FATALIS diwakili secara umum oleh ayat berikut:
"...Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu".(AtThalaaq2-3)

Nah…, dengan paradigma kerancuan berfikir seperti sekarang ini, jarang sekali umat Islam yang mampu menggabungkan kedua kutub tersebut menjadi sebuah harmoni dalam kehidupan, seperti harmoninya panas dan dingin di permukaan bumi yang telah menghasilkan angin, awan, dan hujan. Umumnya, orang hanya masuk ke dalam sebuah kutub saja dan menafikan kutub yang lainnya.
Misalnya, orang yang hanya berada pada posisi kutub RASIONALIS, maka segala sesuatunya yang mereka hadapi akan diukur dengan meteran RASIONAL atau TIDAK-nya. Namun sayangnya meteran yang dipakai untuk mengukur itu seringkali adalah file yang tersimpan di dalam otaknya. Dan alat masukan datanya juga hanya sebatas pada bacaan, melihat, dan mendengar atas objek yang sedang diamatinya.
Dalam posisi kutub ini ALLAH seperti berlepas tangan terhadap apa-apa yang akan dicapai oleh manusia. Dari ayatnya, manusia di fasilitasi untuk mengembangkan diri tanpa batas.
“Kau rubah kehidupanmu sendiri…”
“Kau tentukan masa depanmu sendiri…”
“Aku tidak ikut-ikut untuk merancang masa depanmu…”
Luar biasa sekali fasilitas yang diberikan Tuhan ini, bahkan nyaris bisa membawa orang untuk bersikap ATHEIS. Dan dengan fasilitas begitu bebasnya, telah lahir berbagai pengetahuan tentang kealaman seperti fisika, kimia, matematika, biologi, ekonomi dan ilmu-ilmu lainnya. Semuanya ilmu itu ternyata memang bermanfaat untuk mengantar peradaban manusia meniti zaman.
Akan tetapi, karena mereka hanya mementingkan faktor rasionalitas belaka, tak jarang yang terjadi adalah munculnya generasi yang pada satu sisi mereka memang mampu menangkap bahasa Tuhan yang berada pada setiap ciptaan Tuhan, akan tetapi di sisi lain mereka merasakan kekeringan RASA di dalam JIWA-nya. Akibatnya untuk mencari kekeringan JIWA itu, maka praktek-praktek mengasah dan menghidupkan rasa itu sangatlah digandrungi mereka. Di Barat sana, yang digandrungi orang dan berkembang dengan pesat saat ini adalah praktek-praktek tasawuf, meditasi, psychic, psychology trance personal/transcendental, yang tentu saja dengan OBJEK FIKIR yang berbeda-beda pula.

Pembimbing kami pernah ajukan pertanyaan kepada seseorang dari Perancis, saat dia datang ke Indonesia mencari tasawuf: “Kenapa anda ingin masuk ke tasawuf, bukannya mencari Islam atau Kristen..?. Jawabnya: “Saya nggak mau Islam, saya nggak mau Kristen, karena dua-duanya suka berantem dan senang gontok-gontokan..”. Duh kasihan sekali agama-agama ini... !!.
Penyebab dari kekeringan jiwa ini kalau ditelusuri dari bunyi ayat Ar Ra’du 11 diatas, maka bagi yang manusia yang arif akan dapat menangkap pokok permasalahannya, yaitu karena sang manusia telah berkhianat terhadap Tuhan. Manusia yang walaupun kelihatannya mampu sedemikian rupa untuk mengembangkan peradaban dan pengetahuannya sampai “keujung ilmu”, mereka ternyata kebanyakan lupa bahwa pada hakikinya (yang sebenarnya) Tuhanlah yang merubah peradaban manusia. Tuhanlah yang menciptakan ilmu, Tuhanlah yang berkreasi, Tuhanlah yang menata peradaban manusia itu. Awal ayat diatas menyiratkan: “nanti Ku rubah dan Ku ikuti seperti apa maumu…”. Ya…, pada hakekatnya Tuhanlah yang berkehendak, yang mengatur peradaban manusia melalui “aliran tahu, aliran cerdas, aliran kuasa” yang menyusup mengisi sel-sel otak manusia. Jadi HANYA KELIHATANNYA saja manusia itu bisa, manusia itu tahu, manusia itu kuasa, dan sebagainya, padahal semua itu adalah fasilitas MILIK ALLAH yang diberikan buat manusia untuk mengemban amanat sebagai Duta Istimewa Tuhan di dunia ini.
Ya…, masalahnya ternyata hanya sederhana saja. Sang Duta Istimewa telah lupa, lalai, tidak ingat (nisyan) bahwa semua fasilitas itu harus didudukkan pada tempat yang sebenarnya. Untuk dengan kerelelaan dan kesadaran penuh MENGEMBALIKANNYA kembali kepada ALLAH.
Ya…, PENGEMBALIAN… !!!!.
(Uraian lebih lengkap tentang sikap pengembalian ini akan saya berikan dalam artikel “Rekonstruksi Berfikir”.
Pada kutub yang berlawanan, yaitu kutub FATALIS, hal yang sebaliknya terjadi. Pada kutub ini kalau dilihat secara sepintas seakan-akan sudah islami sekali. Sedikit-sedikit omongan yang keluar dari mulut kaum fatalis ini adalah taqwa, tawakkal, beriman, syurga, ketinggian derajat Islam, dan segudang yang baik-baik lainnya. Semua disampaikan dengan sangat FASIH sekali, saking hafalnya. Atribut Islam lain pun seperti melekat erat dengan kutub ini, misalnya kitab-kitab kuning, kitab Arab gundul. Konsep-konsep kenegaraan dan kepemimpinan islami pun muncul, walaupun pada tatanan atau pola yang masih berupa ide-ide lama yang diberikan sedikit sentuhan istilah-istilah terkini. Akan tetapi pada kenyataannya, “jalan keluar (makhraja) dari setiap permasalahan, begitu juga pencukupan dari segala kebutuhan” seperti yang dijanjikan Tuhan dalam surat At Thalaaq ayat 2-3 sepertinya masih jauh panggang dari api kalau tidak mau dikatakan gagal total.
Walaupun nyaris tanpa hasil seperti tadi, namun masih ada hal-hal positif yang bisa diambil sebagai keunggulan para pengamal kutub fatalis ini. Yaitu ketakutan mereka akan neraka, siksa kubur, dan sekaligus juga harapan mereka yang sangat besar untuk dapat mencicipi nikmat syurga dan melihat wajah Tuhan langsung nantinya di AKHIRAT, telah membuat mereka bisa mampu bersikap, berperilaku dan bertindak sesuai dengan karakter atau simbol-simbol kebaikan, walau dengan hati yang tertatih-tatih. Kerisauan dan pertanyaan panjang akan ketiadaan hasil dalam wujud materi (pengetahuan dan uang) itu kemudian berhasil mereka redam dengan memakai ayat:

Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu". (At Thalaaq 2-3).
Sekilas…, bersandar kepada ayat ini kelihatan sangat qur’ani sekali. Allah telah mengatur segala sesuatunya buat manusia, manusia tinggal bertakwa, bertawakkal, beriman saja, dan hasilnya Allah yang akan menentukan segala sesuatunya buat si manusia. Akan tetapi dengan hanya bersandar kepada ayat inilah kemudian yang memuculkan KEJUMUDAN pemikiran di dalam mayoritas umat Islam. Umat Islam kehilangan RASIONALITASNYA dalam kehidupan beragamanya. Yang muncul adalah sebuah praktek agama dengan karakter penganutnya berpola fikir doktrinasi. Doktrin…, doktrin…, dan doktrin…, sehingga melahirkan generasi TAKLID terhadap buah karya ulama-ulama terdahulu. Dan ulama lalu jadi tersegmentasi menjadi hanya sekedar sekelompok orang yang hafal, yang fasih dengan ayat-ayat Al Qur’an, Al Hadits, dan istilah-istilah agama lainnya.
Sedangkan mengenai tanda-tanda Tuhan yang bertebaran di alam semesta, di langit dan di bumi, sang ulama fatalis ini hanya bisa terbengong-bengong tidak tahu apa yang akan diucapkan. Sang ulama hanya berpuisi tentang alam semesta itu.
Oh langit, ada apakah gerangan yang ada padamu ??.
Oh bumi…, kandungan apa yang ada diperutmu ???.
Oh waktu dhuha, alangkah indahnya kamu…!!!.
Yang ada hanya puisi…, puisi, dan itu dilagukan dengan suara yang sangat mendayu-dayu.

Allah sendiri “bingung” menghadapi orang fatalis seperti ini. Allah berkali-kali mengatakan, bahwa Dia menciptakan apa-apa yang ada di langit dan di bumi ini untuk dikelola, untuk dimanfaatkan oleh manusia untuk kemakmuran mereka. Bahkan Allah ingin menciptakan alat transportasi melalui otak manusia.
Allah ingin menciptakan obat-obatan yang menyembuhkan melalui otak manusia.
Allah ingin menciptakan peradaban demi peradaban melalui otak manusia.
Allah menciptakan pesawat terbang dan kapal laut melalui otak manusia.
Allah menciptakan bom atom melalui otak manusia.
Sama halnya dengan Allah menciptakan oksigen lewat fotosintesis dunia tumbuh-tumbuhan. Begitulah seterusnya. Allah mencipta “KUN” dan dengan sebuah proses lalu jadilah “FA YAKUN”.
Tapi sang manusia fatalis hanya bisa berperilaku dan bersikap :
Saya cukup bertakwa saja.
Saya cukup bertawakal saja.
Saya cukup berdo’a saja.
Saya cukup sama dengan ulama-ulama dulu kala saja. Biar umat lain yang menciptakan pesawat, obat-obatan, dan peradaban baru.
Saya cukup zuhud saja.
Saya cukup ikhlas saja.
Saya cukup mencintai Tuhan saja.
Saya tidak perlu dunia ini, saya adalah umat yang mementingkan kehidupan akhirat saya saja, saya hanya ingin syurga saja ….!!!!.
Duh Gusti …, yakin benar mereka bisa masuk ke syurga…!!!
Lebih jauh lagi…, bahkan Allah menciptakan manusia dengan perantara otak manusia. Allah ciptakan rasa enak pada manusia saat mereka berhubungan antara suami-istri. Rasa enak itu termemori di otak mereka, sehingga pada waktu-waktu tertentu memori itu muncul kembali untuk dipuaskan kembali. Jadi Allah “bingung” melihat kalau ada manusia yang tidak mau untuk menikah. Tapi… eiiiit tunggu dulu, ternyata dalam usaha membantu Tuhan untuk menciptakan manusia inilah manusia fatalis dapat tersenyum dengan sumringah. Karena mereka sangat hapal dengan ayat Al Qur’an bahwa mereka boleh menikahi wanita sampai empat. Sehingga mereka lalu dengan bangga mengatakan bahwa mereka ikut sunnah Nabi, mereka ikut anjuran Al Qur’an. Ah…, Anda ini…!!
Lengkap sudah fasilitas pengkhianatan duta istimewa Tuhan itu. Sudahlah berpecah dan saling hantam yang dimulai sejak tumbuhnya cikal bakal peradaban Islam, yaitu dimulai oleh perselisihan mertua dengan menantu (Aisyah dengan Ali bin Abi Thalib) yang kemudian ini membidani lahirnya perseteruan abadi antara Mahzab Sunni dengan Mahzab Syi’ah. Kemudian ditambah lagi munculnya pengkristalan kutub RASIONALIS dan FATALIS di zaman RUSYDI dan GHAZALI. Dimana RUSYDI boleh dikatakan sebagai bidan yang melahirkan kutub RASIONALIS, sedangkan GHAZALI membidani lahirnya kutub FATALIS. Dimana antar Mahzab besar, dan antar KUTUB diatas terjadi pertentangan dan penyesatan antara para pihak yang terkristal itu.
Padahal melalui otak kedua orang inilah (RUSYDI dan GHAZALI) Tuhan berkreasi untuk menempatkan tonggak pergerakan peradaban dunia, terutama pasca pencerahan agung yang misterinya berhasil dikuak oleh Muhammad SAW. Pada awalnya keduanya adalah pribadi-pribadi yang lengkap. Keduanya adalah manusia rasionalis dan sekaligus juga fatalis. Keduanya berkembang sedemikian rupa sehingga pada suatu waktu dimana keduanya mulai dilanda oleh problema keakuan masing-masing. Sampai suatu saat Ghazali menghujat Rusydi melalui bukunya yang terkenal Tahafut al Falasifah (kerancuan atas logika berfikir). Kemudian Rusydi pun membalasnya dengan tak kalah sengitnya dalam Tahafut al Tahafut (kerancuan atas kerancuan). Dan daya perseteruan kedua orang ini memancar sampai ke zaman sekarang ini, yang kemudian bermuara dengan pengharaman ijtihad (kebebasan berfikir rasional atas setiap problematika kehidupan manusia) di wilayah Islam (timur). Sejak itulah mulai zaman kejumudan pemikiran (fatalis) dalam perjalanan Islam mulai ditanamkan.
Akibatnya, bangunan Islam yang kokoh yang pernah dibangun dengan susah payah oleh Nabi Muhammad SAW, kemudian berubah menjadi sebuah bangunan yang di dalamnya menyimpan bara api yang siap menyambar dan membakar orang-orang yang ada di dalamnya, orang-orang yang kelihatannya saja sama tapi pada kenyataannya adalah berbeda. Bangunan Islam jadinya seperti sebuah aliran air sungai yang kelihatannya saja tenang, tapi ketenangan itu sanggup menyapu bersih apa-apa yang ada di atasnya tanpa sisa.

Dalam perjalanannya, karakter Ghazalian (fatalis) ini kemudian menyebar ke belahan bumi bagian timur. Dengan memanfaatkan DOKTRIN yang ketat terhadap pengikutnya, maka ciri-ciri fatalis ini kemudian diadopsi dan dipakai oleh kedua mahzab besar (Sunni dan Syiah) dalam mengembangkan sayap mereka. Jadi pada hakekatnya, Islam yang diwakili oleh peradaban TIMUR itu, tidak lain dan tidak bukan adalah kelanjutan dari pemikiran-pemikiran fatalis Al Ghazali yang kemudian disesuaikan dengan karakter dari sub-usungan yang akan dipasarkan oleh penganutnya. Dalam hal ini penyebaran agama Kristen juga sangat terpengaruh dengan karakter Ghazalian ini. Hal ini disebabkan karena wilayah Timur memang sangat dekat keberadaannya dengan peradaban yang lebih tua, yaitu peradaban Hindu, Budha dan Persia. Peradaban tua ini kemudian ikut mewarnai penyebaran kebudayaan Islam ke arah timur. Walaupun usungannya berbeda, tetap saja ada benang merah yang bisa ditarik dengan karakter yang sama untuk masing-masing sub usungan itu, yaitu TAKLID BUTA, TERIKAT KUAT DENGAN DOKTRIN, dan manfaatnya untuk membangun peradaban dunia pada zamannya nyaris tidak ada.
Di lain pihak, karakter RUSYDIAN (rasionalis) berjaya memunculkan berbagai ilmu pengetahuan dan filsafat di kota Cordoba, yang saat itu merupakan wilayah yang begitu mencorong dengan peradaban Islam dan perkembangan teknologinya. Sampai saatnya, kemudian peradaban Islam di Cordoba ini dihancurkan oleh umat Kristen dalam peperangan demi peperangan. Buku-buku pengetahuan yang sangat berharga, waktu itu diboyong habis ke pelosok-pelosok Eropa dari Cordoba oleh pasukan Kristen sebagai pemenang perang. Cordoba lalu tinggal menjadi sejarah. Hebatnya, untuk umat Islam, yang disisakan hanyalah kitab-kitab sastra Arab, seperti kitab ilmu balaghah, ilmu fiqih, ilmu nahu sharaf, ilmu tasawuf, ilmu hadits, ilmu tafsir Al Qur’an, dan sebagainya. Umat Islam lalu sibuk atau disibukkan dengan sastra Arab itu yang kemudian hanya pengetahuan sastra Arab inilah yang dianggap sebagai Islam, bahkan sampai saat ini sekali pun masih seperti ini. Hasilnya adalah sebuah bangunan Islam yang cenderung berkarakter FATALIS.
Masyarakat Eropa kemudian mengadopsi kejayaan kaum Rasionalis ini yang ujung-ujungnya adalah terbukanya kunci-kunci pintu ilmu pengetahuan. Lalu bermunculanlah penemuan-penemuan baru di bidang teknologi, kedokteran, fisika, kimia, biologi, kedokteran, ekonomi, dan tak terkecuali kebudayaan. Kunci-kunci ilmu inilah kemudian yang merupakan cikal bakal yang melahirkan dan membawa peradaban Barat sampai seperti saat sekarang ini. Sebuah peradaban yang berkarakter RASIONALIS. Tentang kunci-kunci ilmu ini akan saya uraikan lebih dalam pada artikel “Rekonstruksi Berfikir” sub bab “Al Qur'an Adalah Teropong Kauniah”.
Yang menarik adalah, bahwa kunci-kunci ilmu itu juga ternyata bersinggungan dengan keyakinan gereja yang kalau dilihat karakter pengajarannya juga bersifat FATALIS. Gereja pada umumnya juga memelihara doktrin-doktrin yang lebih sering bertentangan dengan rasionalitas berfikir. Saat itu pernah terjadi “pengharaman” ilmu pengetahuan. Bahkan terjadi juga pembunuhan terhadap ilmuan yang mempunyai pendapat yang bertentangan dengan gereja. Persinggungan itu mencapai puncaknya tatkala kaum rasionalis memproklamirkan posisi untuk memisahkan diri dari gereja. Pemisahan posisi gereja (agama Kristen) dari ilmu pengetahuan dan teknologi (rasionalitas) itulah yang sekarang disebut sebagai gerakan SEKULERISASI. Jadi kaum sekuler itu adalah sekelompok orang yang keluar dari karakter ajaran gereja yang FATALIS dan DOKTRINASI menuju kepada sebuah gerakan yang mengutamakan karakter RASIONAL dan KEBEBASAN BERFIKIR dalam menyikapi peradaban. Dan ternyata gerakan sekuler ini berhasil menancapkan peradaban modern sampai kepada kita saat ini.

Kalau dilihat dengan hati yang jernih, gerakan sekuler ini adalah sebuah pergerakan orang untuk meninggalkan gereja menuju satu sisi karakter Islam yang dimotori oleh RUSYDI, yaitu Rasional. Jadi Sekuler itu adalah sebuah gerakan keluar dari gereja untuk kembali kepada Islam….!!!. Any comments..??.
Dan perkembangan peradaban ISLAM mengarah kemana…????.
5. Menjadikan Agama Sebagai Kuda Tunggangan
Umat Islam dengan modal sastra Arab yang tersisa, kemudian seperti berjalan meniti buih dalam menghadapi zaman demi zaman. Ratusan tahun kemudian (bahkan sampai saat ini pun) cahaya Islam seperti padam, atau paling tidak seperti lampu teplok yang kehabisan minyak. Umat Islam lebih sibuk dengan doktrin-doktrin fatalis yang muncul bak cendawan di musim hujan. Perseteruan Aisyah dengan Ali bin Abi Thalib dengan doktrin semangat serba akhirat dipelihara dengan gigih oleh kelompok-kelompok dan aliran-aliran yang terkristal menjadi Sunni disatu sisi dan Syiah di sisi lainnya. Walaupun sekilas terlihat berbeda, akan tetapi keduanya adalah bentuk yang sangat mirip, kalau tidak mau dikatakan sama dan sebangun. Yaitu keduanya adalah penerus karakter yang dibentuk oleh GhazaliI. Fatalis saja sebenarnya kedua aliran ini. Fatalis dengan “objek fikir dan objek pemujaan” yang berbeda. Ya…, hanya objek “mind binding” nya saja yang berbeda. Sunni binding dengan objek “Al Qur’an dan As Sunnah”, sedangkan Syiah binding dengan objek “Al Qur’an dan Ahlul Bait”. Kedua macam kalimat sakti ini kemudian sama-sama di klaim oleh masing-masing aliran sebagai “pesan terakhir” Nabi Muhammad SAW sebelum beliau wafat.
Dari perbedaan dasar berpijak ini, kemudian lahirlah pertentangan “politik” antar Fatalis itu sendiri. Ulasan tentang As Sunnah di satu sisi versus uraian tentang keistimewaan Ahlul Bait di sisi lain begitu menggelorakan semangat pengusung Sunni dan Syiah ini. Sampai-sampai Al Qur’an sendiri pun ikut jadi korban. Ya…, Al Qur’an pun lalu ditafsirkan sesuai dengan muatan usungan masing-masing. Sehingga jadilah agama hanya sebagai kuda tunggangan “politik” mereka. Duh…, kasihan sekali Rasulullah…. Jerih payah Beliau mengaktualisasikan Al Qur’an selama hidupnya telah diacak-acak nggak keruan oleh penerus-penerus tongkat estafet kepemimpinan Beliau hanya dalam berbilang tahun pasca kewafatan Beliau…
Dalam perjalannya, kemudian dari dua aliran mainstream Islam ini telah lahir ratusan varian yang dinisbatkan kepada pencetusnya, misalnya:

Mu’tazilah dengan tidak kurang dari 12 aliran berbeda seperti washiliyyah, hudzailiyyah, bisyriyyah,…, dsb.
Jabariyyah
Shifatiyyah
Khawarij
Murji’ah,
Sedangkan Syi’ah sendiri pecah menjadi tidak kurang dari 30 cabang, misalnya Imamiyyah, Rizamiyyah, Ismailiyyah al waqifah, …, dsb.
Ahmadiyah,
Di zaman modern sekarang, terutama di Indonesia, varian aliran ini juga sangatlah ramai. Hah…, biarin sajalah…


Hampir 1400 tahun kemudian yang tersisa bagi umat Islam maupun masyarakat dunia hanyalah buah yang disemai semasa pertikaian Ali dan Aisyah berikut dengan pengikut-pengikut dan penerus Beliau masing-masing itu. Namun sayangnya buah itu sudah berbau tidak enak kalau tidak mau dikatakan “busuk”. Sedangkan jejak pohon kehidupan yang menyiratkan rahmat bagi alam semesta yang ditanam oleh Rasulullah dengan susah payah nyaris tidak berbentuk lagi. Akibatnya umat Islam yang bilangannya di dengung-dengungkan berjumlah milyaran orang itu benar-benar hanyalah berupa BUIH seperti yang pernah di ungkapkan oleh Rasulullah. Buih yang tidak sanggup memberi manfaat bahkan untuk dirinya sendiri sekali pun.
Ah…, mana ada penemuan-penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bermanfaat bagi umat manusia yang terjadi di negara-negara Islam dari dulu sampai sekarang ini. Yang ada hanyalah nostalgia semu tentang keberhasilan pemikiran kaum Rusydian (Rasionalis) dulu kala dalam meletakkan dasar-dasar pengetahuan modern yang dengan cerdik sudah diambil alih oleh masyarakat Barat, bahkan oleh Cina sekali pun. Padahal ilmu pengetahuan sebagai hasil dari pengamatan perilaku alam (sunatullah) tempat manusia hidup ini adalah senjata pusaka pamungkas yang diperlukan manusia itu sendiri untuk memikul tanggung jawabnya sebagai khalifah, Sang Wakil Tuhan dalam mengelola dunia. Namun senjata pamungkas itu disia-siakan oleh umat Islam itu sendiri. Sehingga entah sampai kapan ujungnya, umat Islam tak ubahnya hanya sebagai kerbau dicocok hidungnya berhadapan dengan pihak Barat.
Namun untuk menghibur diri maka beberapa tahun yang lalu pemikir-pemikir Islam mencetuskan slogan bahwa abad sekarang adalah Abad Kebangkitan Islam. Abad dimana Islam mulai menggeliat untuk bangkit merebut kembali “suasana” kejayaan Islam tempo dulu. Tapi itulah…, senjata pusaka untuk bekal kejayaan itu sudah hilang dari tangan orang-orang Islam, dan beralih tangan kepada orang-orang yang tidak beragama Islam, tapi anehnya mereka bersikap dan bertindak secara islami. Sedangkan bagi orang-orang yang beragam Islam, bahkan kunci untuk masuk ke gudang pusaka itu pun sudah dibuang entah kemana. Memang kita itu ibarat “harapkan burung terbang tinggi, punai ditangan dilepaskan pula…”. Habislah sudah….
SELESAI

Wassalam
Deka

0 komentar:

Posting Komentar