Tragik Hidup Sang Penghamba




Dalam kalimat "iyya ka na'budu..." , Allah seperti ingin mengingatkan kita agar kita jangan coba-coba untuk menghamba, mengabdikan, merendahkan diri dan hidup kita untuk apapun juga selain Dia. Allah seperti ingin memanggil-manggil kita untuk duduk menghamba kepada-Nya saja.


Karena memang Allah telah membuat sebuah mekanisme yang sangat luar biasa buat kita, sehingga kita dengan sangat mudah bisa pula menghamba kepada apapun juga selain kepada-Nya, dan lalu kitapun akan disibukkan, dikendalikan, dibalut, diperhamba oleh alamat kita menghamba yang selain Allah itu. Misalnya, kita sangat mudah sekali untuk menghamba kepada harta. Dan saat kita sudah jatuh kedalam posisi diri yang menghamba kepada harta, maka harta itulah yang akan menyibukkan kita setiap saat, sehingga keterikatan kita dengan harta itupun akan semakin kuat pula. Cara Allah mengikat kita dengan harta itu adalah dengan mekanisme rasa bosan. Saat kita telah mendapatkan sejumlah harta yang tadinya sangat kita idam-idamkan, begitu harta tersebut telah kita dapatkan, maka dengan cepat pula otak kita akan BERHENTI mengeluarkan hormon yang tadinya membuat kita ekstasis dengan harta yang kita dapatkan itu. Barangkali pernah suatu kali kita mengimpikan sejumlah tertentu harta yang belum kita miliki. Kita sangat mengharapkan sekali harta itu. Kita selalu harap-harap cemas menanti harta tersebut jatuh ketangan kita. Harta itu kita impikan berhari-hari, kita bayangkan, kita kejar, kita usahakan dengan semangat 45 agar itu bisa kita dapatkan sesegera mungkin. Begitu harta idaman kita itu benar-benar berada didalam genggaman tangan kita, maka otak kitapun dipaksa untuk mengeluarkan hormon dopamin yang memberikan efek rasa bahagia. Kita suenangnya luar biasa, kita melonjak-lonjak kegirangan, tubuh kita bergetar hebat, nafas kita memburu dan menjadi lebih cepat, jantung kita juga seperti meloncat-loncat lebih keras didalam rongga dada kita, adrenalin membanjiri setiap inci pembuluh darah kita sehingga otot-otot kita menegang sebagai tanda bahwa kita siap untuk mempertahankan harta itu dari rongrongan orang lain. Sampai pada tahap ini lengkaplah sebuah proses pencetakan sebuah memori didalam otak kita. Memori tentang hartaku. Kita seperti merasa punya harta. Pikiran kitapun seperti berhenti diharta tersebut. Bahkan kita merasa seperti menjadi harta itu sendiri. Kita ditarik-tarik oleh harta itu agar kita tidak lupa dengannya. Begitu harta kita itu diambil oleh orang lain, walau hanya sedikit sekalipun, dada kita akan terasa sakit. Kita menjadi begitu takut harta kita itu hilang atau dicuri orang. Kita menjadi was-was, khawatir setiap saat, jangan-jangan..., jangan-jangan..., tersiksa sekali...


Dilain pihak, ada yang aneh terjadi didalam alam rasa kita, yaitu setelah beberapa hari kemudian, efek rasa bahagia itu malah mulai hilang. Hormon dopamin yang menimbulkan efek bahagia tidak lagi disekresikan oleh otak kita. Rasa bahagia kita sudah berangsur lenyap untuk kepemilikan sejumlah harta itu tadi. Untuk menimbulkan rasa bahagia itu kembali, maka secara naluri (insting) kita lalu menginginkan harta dengan jumlah yang lebih besar lagi dari yang kita miliki tadi. Kalau jumlahnya lebih banyak, barulah kita bisa merasa ekstasis kembali. Akibatnya setiap orang akan punya dorongan keinginan untuk selalu mengejar dan mengejar kekayaan setiap saat. Dan begitu harta dengan level atau jumlah yang lebih tinggi itu kita dapatkan, maka barulah proses ekstasis kita kembali muncul. Hormon dopamin, adrealin, dan hormon-hormon lainnya kembali seperti mengalir didalam otak dan pembuluh darah kita. Nikmat sekali rasanya ..., dan kitapun kembali berada dalam kekuasaan harta itu. Kita didorong kembali untuk mendapatkan harta yang lebih dan lebih lagi. Seiring dengan meningkatnya rasa senang kita itu, rasa takut akan kehilangan harta itupun meningkat pula dengan drastis didalam ruang rasa kita ... Suasana seperti ini disebut juga dengan suasana penghambaan kita kepada harta benda yang berada ditangan kita. Ya ... kita menghamba, beribadah, mengabdi, kepada harta. Apa saja kata harta itu kepada kita, dengan semangat 45 kita ikuti saja. Kita tunduk dan patuh kepada "kehendak" harta. Sebagai akibatnya sebuah siklus tiada henti akan kita lalui dari waktu kewaktu. Ekstasis sesaat tatkala kita berhasil mendapatkan sejumlah harta yang sangat kita harap-harapkan ..., tak berapa lama kemudian rasa bosan dan hambar segera menyapa otak kita ..., rasa bosan dan hambar ini akan berlanjut kalau kita tidak berhasil mendapatkan harta dengan jumlah yang lebih banyak dari yang sebelumnya ..., Ektasis kembali setelah kita mendapatkan harta dengan jumlah yang lebih besar lagi ..., dan begitulah seterusnya, berputar tiada henti ... Seperti mainan saja enaknya, seperti mimpi saja bahagianya, seperti sandiwara saja hidup yang kita jalani kalau kita menghamba kepada harta itu. Nikmatnya hanya sementara saja, yang dalam istilah al Qur'an disebut sebagai la'ibun wa lahwun, permainan dan senda gurau semata (QS Muhammad ayat 36). Hal yang sama juga akan terjadi pada diri kita tatkala kita menghamba kepada benda, warna dan rupa, aksara dan kata, suara dan bunyi, karya dan ilmu, jabatan, atau kepada makhluk apapun juga yang ada dihamparan langit dan bumi ini. Sebagai gambaran sederhana saja, marilah kita lihat tragik hidup yang sering kita lalui selama ini. Boleh jadi suatu saat kita hanya menjalani satu episode saja diantara sekian banyak kemungkinan yan ada, tapi tidak jarang pula kita seperti berputar-putar menjalani berbagai hal secara serempak atas hal-hal yang akan diuraikan berikut ini.

Adakalanya kita menghamba kepada benda, misalnya sebuah benda kuno. Maka kitapun seperti dikuasai oleh benda itu. Kita takut benda tersebut hilang, atau dicuri orang. Kita juga seperti ditarik-tarik oleh benda itu untuk mendapatkan benda lain yang lebih kuno lagi dan jumlah yang lebih banyak lagi. Perasaan kita, bahkan diri kita seperti berada di dalam benda tersebut. Sehingga ketika benda itu terjatuh dan pecah, yang berteriak dan bahkan menangis adalah kita sendiri. Hati kita seperti diaduk-aduk dan terpental-pental diantara rasa marah, kecewa, sedih, dan sebagainya. Dan tentu saja ini menyiksa sekali.

Saat kita menghamba kepada warna dan rupa, maka kita akan bergerak dari satu rupa ke rupa yang lain, dari satu warna ke warna yang lain. Kita memuja dan memuji rupa-rupa dan warna-warna. Sibuk sekali... Saat kita menghamba kepada aksara dan kata, maka kitapun akan diperhamba oleh aksara dan kata tersebut. Kata dan aksara itu seperti menjadi diri kita sendiri. Kita binding kepada kata dan aksara tersebut. Saat ada kata dan aksara orang lain yang berbeda dengan kata dan aksara kita, maka kita akan meradang, kita marah, kita bisa berkelahi dibuatnya. Kita memang terlalu sering berebut kata dan aksara, karena kita memang telah diperhamba oleh kata dan aksara itu. Misalnya, untuk sebuah kata saja, yaitu kata Allah (alif lam lam ha) telah diperebutkan oleh hampir sebagian besar umat manusia dari sejak dulu kala sampai dengan sekarang ini, bahkan juga untuk masa-masa mendatang. Dan perebutan itu telah berdarah-darah ... Ketika kita menghamba kepada suara dan bunyi, maka kita seperti dikuasai oleh suara dan bunyi itu. Untuk itu, Allah telah memfasilitasi kita dengan tersedianya berbagai suara bebunyian sebagai tempat penghambaan kita. Suara musik, misalnya, mampu membuat kita bergerak kesana kemari, berteriak dan menari kegirangan. Dan untuk hal seperti ini tidak ada beda sedikitpun antara orang-orang yang katanya berperadaban primitif, seperti di pedalaman Afrika, Irian, Australia, dengan orang-orang yang katanya berperadaban modern yang hidup dikota-kota besar. Yang berbeda hanyalah alat-alat musik yang dipakai, tapi rasa yang muncul dan aktifitas fisik yang dilakukan tetaplah sama, ngguk angguk angguk, leng geleng geleng, syik asyik asyik, cat loncat loncat, rak gerak gerak.

Suatu kali saya pernah nonton acara lagu di TV. Group musik yang tampil, menurut ukuran anak-anak muda zaman sekarang, top semua. Kata-kata di dalam lagunya juga beragam sekali. Mulai dari yang patah cinta, kasmaran, selingkuh, cinta sepihak, dan sebagainya. Begitu kamera menyorot kepada sekelompok gadis-gadis muda, kelihatan sekali raut wajah mereka, ekspresi mereka, teriakan mereka, histeris mereka sangat seirama dengan nada lagu yang sedang dinyanyikan oleh si penyanyi. Tapi saya sendiri tidak merakan hal-hal seperti itu. Dan saat itu juga saya mendapatkan sebuah kepahaman, bahwa saat mana irama dan kata-kata dalam sebuah lagu sesuai dengan suasana di dalam dada kita, dan kita hafal pula irama dan kata-kata lagu tersebut, maka dengan seketika itu pula kita akan ikut mengalir bersama lagu tersebut. Ya ..., lagu itu sedang seirama dengan suasana di hati kita. Inilah yang membuat orang selalu dan selalu ingin menonton pagelaran musik dari penyanyi idolanya yang telah berhasil membaca suasana di hatinya dengan tepat ... Dan yang tak kalah serunya, musikpun ternyata juga mampu membuat kita saling marah dan meradang. Hal ini disebabkan karena irama hati kita diganggu oleh irama hati orang lain yang tidak seirama dengan suasana hati kita. Kita terlalu sering disuguhi dengan berita-berita di tivi tentang tawuran antar penonton dalam sebuah konser musik hingar bingar. Ketika dari tangan kita lahir sebuah karya, seringkali saat itu pula kita merasa bahwa karya itu adalah diri kita sendiri. Penuh dada kita ini dengan muatan karya kita itu dalam bentuk tanpa wujud, yaitu dalam bentuk rasa bangga diri, yang kalau dibahasakan dalam kalimat-kalimat bisa saja menjadi: "wahai manusia yang ada, inilah karyaku, inilah kehebatanku, kalaulah tidak ada aku dengan karyaku ini, maka kalian akan kesulitan ...".

Seiring dengan munculnya rasa bangga diri itu, maka seketika itu pula akan muncul rasa gandengan bangga itu, yaitu rasa ingin dipuji. Kita ingin orang lain menghargai karya kita, memuji karya kita, menyanjung karya kita itu. Kita tunggu dan tunggu dengan wajah sumringah pujian orang kepada kita. Setiap kita bertemu dengan orang lain, ingin rasanya kita dipuja-puji orang. Bahkan tidak jarang orang-orang lain itu kita pancing-pancing agar mereka mau memuji kita. Begitu ada orang lain mengujarkan pujian kepada kita, maka dada kita seperti menjadi semakin mengembang dan meluas, darah kita seperti lebih cepat mengalir mengantarkan hormon dopamin keseluruh tubuh kita. Muka kita seperti bertambah sumringah dan memerah. Duh ..., bahagia sekali rasanya saat itu. Lalu rangkaian memori tentang rasa bangga diri dan rasa ingin dipujipun terbentuk diotak kita. Dan anehnya kalau ungkapan pujian itu diucapkan berkali-kali oleh orang yang sama kepada kita, maka efek rasa bahagianya juga akan berkurang dan semakin berkurang. Kita ingin pujian itu diucapkan oleh lebih banyak orang lagi kepada kita. Kita ingin dipuja oleh satu, dua, sepuluh, seratus, bahkan jutaan orang. Kalau dari hari kehari kita berjalan dalam suasana bergangga diri dan ingin dipuji, maka memori didalam otak kitapun akan semakin kuat untuk itu. Kita menjadi semakin sulit melepaskan diri dari rasa bangga diri dan ingin dipuji itu. Ahli ilmu jiwa mungkin menyebutnya dengan istilah rasa bangga diri dan ingin dipuji itu sudah melekat dialam bawah sadar kita. Rasa itu sudah menjadi naluri kita. Kuat sekali. Kita tidak perlu berfikir lagi untuk menjadi orang yang senang berbangga diri dan ingin dipuji itu. Setiap karya apapun yang kita hasilkan, maka rasa bangga diri dan ingin dipuji itu muncul dengan sendirinya seperti sebuah gerak reflek pada seorang ahli bela diri saja.

Jika ada orang lain yang tidak memuji karya kita, maka kita akan merasa kecewa. Sebenarnya rasa kecewa ini muncul karena tidak ada lagi suplai baru si pembawa rasa bahagia, hormon dopamin, kedalam aliran darah kita. Jadi dada kita yang sedang menganga minta dipuja dan dipuji yang nantinya akan direspon oleh otak kiat dengan sekresi hormon dopamin, tidak mendapatkan makanannya. Sehingga yang muncul adalah rasa kecewa kita. Rasanya ya ..., enggak enak.Yang lebih dahsyat lagi adalah, saat ada orang lain yang mengecilkan, meremehkan, atau bahkan mencela apalagi menghina karya kita, maka dengan seketika itu juga, disamping rasa kecewa, muncul pula rasa marah didalam dada kita. Dess ..., ruang dada kita seperti mengecil dengan kecepatan yang amat tinggi. Ruang dada kita menjadi sempit sekali. Sebenarnya sempitnya ruang dada kita itu adalah sebuah tanda peringatan dini yang sangat canggih yang disiapkan oleh Allah untuk kita agar kita menyadari bahwa saat itu juga kita tengah dalam perjalanan menuju wilayah kesesatan yang tidak enak dan menyiksa sekali. Kalau saat dada kita menyempit itu, kita tidak tahu harus kemana, maka siap-siaplah kita untuk masuk ke wilayah penyiksaan Tuhan, wilayah neraka. Rasa marah yang muncul itu seperti membakar dada kita. Perihnya lebih dahsyat dari pada rasa saat kulit kita luka tersayat pisau. Baru saja kita bangun tidur, rasa tersiksa itu sudah muncul. Dan kita bisa berjalan dengan dada yang tersiksa itu berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun lamanya. Walaupun sel-sel tubuh kita, kulit kita, daging kita sudah bertukar dan diganti berkali-kali, namun rasa sakit itu tetap muncul dan muncul lagi. Mungkin tidak banyak kita yang tahu bahwa kulit kita, daging kita, sel-sel tubuh kita yang ada sekarang bukanlah itu yang seminggu yang lalu, yang setahun yang lalu. Sebab setiap sel tubuh kita selalu berganti sesuai dengan umurnya masing-masing. Bahan bakar dari api marah yang berkobar didalam dada kita itu adalah manusia juga. Ketika kita bertemu kembali dengan orang yang pernah menghina karya kita, maka rasa marah kita kembali menggelora, bahkan bisa lebih dahsyat lagi. Pada prinsipnya ada urutan kejadian seperti berikut ini yang terjadi:

Lupa kepada Allah, atau tercover (tertutup) nya kesadaran kita terhadap Allah. Dalam keseharian kita, dada kita lalu menjadi sempit, nafas kita terengah-engah seperti kita baru saja mendaki puncak gunung yang tinggi. Setiap masalah akan bermuara pada rasa tersiksa, misalnya rasa kecewa, lalu rasa marah yang membakar dada kita yang sedang sempit itu. Rasa tersiksa itu bertahan lama sekali, seperti tidak habis-habisnya, sementara sel-sel diseluruh tubuh, seperti kulit, daging, dan tulang kita sudah berganti berkali-kali. Bahan bakar atau kayu bakar dari api marah yang sedang menyiksa dada kita itu adalah manusia disekitar kita.

Qur'ani sekali sebenarnya. Apakah suasana seperti ini adalah miniatur dari keadaan neraka seperti yang diterangkan oleh Al Qur'an, wallahu a'lam. Barang siapa yang berpaling dari dzikir (sadar penuh) kepada Tuhan Yang Maha Pemurah (Catatan: dalam terjemahan yang umum beredar, an dzikrirrahman diartikan sebagai pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al Qur'an)), Kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.(Az Zuhkruf 36) Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. An nisaa' Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. At tahriim 6 Maka jika kamu tidak dapat membuat (nya) dan pasti kamu tidak akan dapat membuat (nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir. Al Baarah 24 Dan (begitu pula) isterinya, pembawa kayu bakar. Al lahab 4 Adapun orang-orang yang menyimpang dari kebenaran, maka mereka menjadi kayu api neraka Jahannam. Al jin 15 Yang lebih menarik lagi untuk kita amati adalah ketika kita jatuh pada posisi seorang penghamba kepada ilmu. Untuk itu mari kita urai serba serbi tentang bagaimana prosesnya sehingga kita jatuh pada posisi itu. Nanti akan kita lihat bahwa alih-alaih ilmu itu mampu membawa kita kepada realitas dari apa-apa yang dikatakan oleh ilmu itu, sebagian besar dari kita malah dihalangi oleh ilmu itu sendiri sehingga kesadaran kita menjadi hanya sebatas ilmu tersebut. Langkah mengurai ilmu ini akan saya wakili dengan personifikasi diri saya sendiri.

Untuk itu akan saya mulai dengan sebuah hadist nabi yang berbunyi: "setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci bersih (fitrah), dan kedua orang tuanyalah yang menjadikan ia Yahudi, Kristen, Majusi", (muttafaqun alaih). Dari keabadian ... Dari kelanggengan... Dari kekosongan yang mencekam ... Dari ruang maha luas dan maha lapang ... Dari kesunyian yang amat sangat dahsyat ... Tidak ada suara, nyala, warna maupun aksara .... Tidak nama-nama ... Lamat-lamat aku seperti mendengarkan ada suara yang memanggil-manggilku: "Nak Deka ..., nak Deka ..., nak deka ... "

Suara itu bergema seperti ingin memisahkanku dari ruang keabadian dan kelanggengan. Berkali-kali panggilan itu seperti ditujukan kepadaku. Juga ada sekian pasang mata yang kulihat memandangku saat kalimat itu kudengar bergaung ditelingaku. Setiap kalimat itu kudengar, akupun mulai menengok kepada orang-orang yang mengucapkan kata-kata itu. Aku seperti menjadi kata itu sendiri. "Ooo ..., aku ini adalah si DEKA ya ...". Secara perlahan akupun mulai terpisah dari ruang keabadian yang maha besar. Aku seperti mengecil membentuk diriku sendiri, bahwa aku adalah Deka... Ya ..., inilah aku, si Deka ... Otakkupun menyimpan kata itu sebagai awal pembentukan petaku, pedomanku, yang nantinya akan kupakai ketika aku berenang dalam lautan kata-kata. Aku akan selalu bereaksi saat kata "DEKA" itu kudengarkan lewat telingaku. Sehingga ketika ada kalimat lain yang kudengar, misalnya: "Nak Budi ...", akupun hanya diam saja. Karena aku merasa bahwa kata "Budi" itu bukanlah aku. Dari hanya sekedar namaku, kemudian akupun diperkenalkan kepada apa-apa yang ada disekelilingku, dan kepada instrument-instrumentku... "Nak deka..., ini ibu, ini bapak, ini adik, ini nenek, ini kakek ...", satu persatu kesadaranku kembali diperkecil. Saat aku melihat begitu banyak tubuh yang bergerak disampingku, saat begitu banyak sorot mata yang memandangku, akupun jadi tahu bahwa yang ini adalah ibuku, itu bapakku, ini keluargaku, dan yang selain itu adalah orang lain. Sehingga saat aku berada di dekat ibuku, akupun bisa merasa sangat senang dan gembira. Sedangkan saat aku berada dekat orang lain aku merasa sangat asing. Aku merasa tidak nyaman, dan akupun lebih sering menangis saat berada didekat orang lain itu.

Berikutnya akupun diberitahu oleh ibuku bahwa ada benda yang namanya mata, hidung, telinga, tangan, kaki, kepala, mulut, dan tubuh tempat melekatnya semua benda-benda aneh itu tadi. "Ini apa nak Deka ...?", suatu kali ibuku bertanya kepadaku sambil memegang benda yang kutahu itu namanya adalah hidung. "Ini hidung ...", jawabku dengan berseri-seri, walau kata-kataku masih terbata-bata. Namun ada rona ketidakpuasan pada wajah ibuku mendengar jawabanku itu. Lalu ibuku melanjutkan pertanyaannya: "hidung siapa?". Saat aku perhatikan otakku, sebagai petaku, ternyata informasi itu belum ada tersimpan didalam otakku, sehingga akupun bingung untuk menjawabnya. Tapi ibuku sungguh bijaksana. Beliau tidak membiarkanku berlama-lama dalam keadaan bingung seperti itu. "Ini hidung nak Deka ...", kata beliau sambil memegang hidungku. "Oooo ..., ini hidungku ya bu", jawabku sambil mulai memegang apa yang disebutkan oleh ibuku sebagai hidungku itu. Tak terasa, akupun jadi tahu bahwa aku ternyata juga punya benda-benda lain yang melekat padaku. Akupun berteriak kegirangan. Aku kabarkan kepada orang-orang yang kujumpai bahwa ternyata sekarang aku punya mata, punya telinga, punya kaki, punya tangan, punya mulut, punya kepala. Seakan-akan sebelumnya aku tidak punya kesemuanya itu. Dan sekarang semuanya itu seperti melekat padaku.

Tak terasa pula, sejak saat itu, lengkap pulalah sebuah proses keterpisahan kesadaranku dari kesadaran yang tidak punya kesadaran apa-apa, kesadaran yang luas tak terbatas menjadi kesadaran bahwa aku adalah tubuh ini dengan segala instrumenku. Aku adalah diri yang hanya terbatas pada tubuhku. Diluar diriku bukanlah aku. Saat orang menyebut nama DEKA, maka kesadaranku langsung saja jadi terbatas. Aku, si Deka jadi tersekat hanya sebatas tubuhku, sebatas kulit yang membungkus tubuhku. Makanya ketika ada orang lain memegang kepalaku dengan kasar, maka akupun marah. Karena saat itu aku merasa bahwa yang dikasari itu adalah aku sendiri, bukan kepalaku. Inilah mungkin pelajaran marah pertama yang kudapatkan entah darimana. Tiba-tiba saja rasa marah itu muncul saat kepalaku dipegang orang lain dengan kasar. Padahal ibuku tidak pernah mengajariku cara marah seperti itu. Seperti halnya aku juga tidak pernah diajari oleh ibuku tentang rasa senang. Saat orang lain mengatakan bahwa wajahku sangat tampan, seketika itu juga ada rasa senang yang mengalir diseluruh tubuhku. Entah dari mana rasa marah dan rasa senang itu muncul. Tiba-tiba saja aku bisa merasakannya pada saat dan kondisi yang berbeda... Suatu ketika, aku diajak oleh bapakku untuk berdiri, lalu membungkuk, lalu membungkuk lebih dalam lagi seperti menanduk tanah. Bapakku melakukannya berulangkali. Aku hanya mengikuti gerakkan bapakku sambil melirik-lirik apa yang sedang dilakukan oleh beliau. Semuanya kutiru habis. Termasuk komat kamitnya mulut bapakku seperti sedang membaca sesuatu. Sampai akhirnya aku tahu apa yang dilakukan oleh bapakku itu dinamakan dengan shalat. Akupun kemudian juga melakukannya, walau aku tidak tahu apa manfaatnya bagiku. Yang kutahu hanyalah bahwa shalat itu wajib bagiku karena orang tuaku memberitahuku bahwa agamaku adalah islam. Agama yang mewajibkan shalat bagi para penganutnya sebagai salah satu tanda-tanda atas keislamanannya.

Berbilang bulan dan tahun berlalu begitu cepat bagiku. Akupun merasakan bahwa aku bukan lagi hanya sekedar tubuhku saja berikut dengan segala instrumen yang ada didalamnya, tapi aku juga merasa bahwa semua ilmu yang berhasil masuk kedalam otakku telah menjadi diriku pula. Aku seperti duduk erat didalam ilmuku itu. Semua ilmu yang ada didalam otakku seperti melambai-lambai kepadaku. Ia menarik-narikku setiap aku bertemu dengan realitas hidup dihadapanku. Aku menghakimi diriku dan lingkunganku dengan ilmuku itu. Karena aku memang adalah Sang Hakim... Ketika aku melihat atau mendengar linkunganku berkata "B" terhadap sebuah kejadian atau keadaan, sementara ilmu diotakku berkata "A", maka aku menghakimi lingkunganku bahwa lingkunganku itu adalah salah. Aku juga akan menolak diriku untuk berkata "B" terhadap lingkunganku itu. Aku akan œkeukeuh agar diriku tetap selalu berkata "A" atas keadaan itu. Sama dengan file ilmu yang telah bersemayam diotakku. Kalaulah lingkunganku secara bertubi-tubi selalu mengatakan bahwa keadaan itu adalah "B ..., B ..., B ..." maka akupun menghakimi diriku agar segera memisahkan diri dari lingkunganku itu. Otakku jadi terpisah dari otak orang-orang yang ada dilingkunganku, aku sendiripun lalu merasa terpisah dari lingkunganku. Agar diriku tidak ragu-ragu, maka kuperintahkan pada diriku agar segera mencari orang-orang yang juga berkata "A" terhadap keadaan yang kuhadapi. Bukan "B". Akupun lalu memerintahkan diriku untuk mencari segala macam bacaan yang mengatakan bahwa keadaan yang kuhadapi memang adalah "A". Aku kejar pula kemana-mana sumber-sumber ilmu dan pengajaran (pengajian, pengkajian, seminar) yang mengatakan bahwa aku memang tidak salah, bahwa keadaan itu adalah "A". Begitulah berulang-ulang dari tahun ketahun, sehingga semakin kuatlah tertanam diotakku bahwa keadaan itu adalah "A". Akupun, sebagai hakim, tidak ragu-ragu lagi dalam menghakimi diriku bahwa diriku adalah benar-benar telah sesuai dengan memori didalam otakku dalam menilai sebuah keadaan. Ya ..., aku merasa sudah penuh dan utuh menjadi si berfikiran "A".

Dan kemudian, dengan sangat mengherankan, akupun segera saja mendapatkan turunan pemahaman, ilmu lanjutan, logika berfikir berikutnya sebagai penguat bahwa aku ini benar-benar adalah orang yang berfikir "A" terhadap sebuah keadaan atau suasana yang ada disekitarku. Walaupun pada akhirnya perbuatan dan pelaksanaan apa yang aku anggap sebagai "A" itu sepintas sama saja (nyaris tidak bisa lagi dibedakan lagi) dengan anggapan orang lain bahwa itu adalah "B", namun aku tetap akan menghakimi diriku bahwa menurutku itu adalah "A". Titik. Ini persis bak sebatang pohon yang mempunyai beberapa cabang. Dari cabang itu akan tumbuh puluhan dahan. Lalu dari masing-masing dahan itu akan menyembullah puluhan ranting. Masing-masing ranting itu akan menjadi tempat tumbuh bagi ranting-ranting berikutnya. Diujung ranting terkecil, kemudian tumbuhlah daun, bunga, dan buah yang bermunculan seperti tak habis-habisnya. Gugur satu, akan tumbuh seribu daun, bunga, dan buah yang lain sebagai penggantinya. Saat kulihat pada pohon yang sama, antara daun yang satu dengan daun yang lainnya sepintas tidak ada bedanya sama sekali. Begitu juga antara buah dan bunga yang satu dengan buah dan bunga yang lain, nyaris sama saja. Tidak pernah sebuah daun merasa lebih baik dari daun yang lainnya. Akan tetapi suatu ketika aku merasa aneh sendiri. Aku yang notabene mengerjakan hal-hal yang nyaris sama saja dengan orang-orang disekitarku, yang mengaku berfikiran "B", berkata bahwa aku adalah seorang yang berfikiran "A". Dan kemudian akupun seperti benar-benar merasakan bahwa aku adalah seorang yang berfikiran "A". Lalu berbilang tahun kemudian akupun tumbuh dengan pikiranku sendiri yang bercirikan "A" terhadap berbagai keadaan disekitarku. Aku seperti berada dalam kotak pikiranku sendiri yang bersinggungan dan kadang-kadang berpalun-palun dengan berbagai kotak pemikiran lain yang ada disekitarku. Namun tetap saja aku menghakimi diriku bahwa aku adalah si berfikiran "A". Bahkan aku juga menghakimi orang lain dengan bingkai fikiranku itu.

Dengan perlahan mulai pulalah aku menjadi sangat terikat kuat dengan bingkai fikiranku itu. Setiap orang yang berbeda dengan pola pikirku, akan kusalahkankan dia, bahkan bisa-bisa kumarahi dia habis-habisan. "Ana khairuminhu..., aku lebih baik dari dia", kataku bergema seperti kalimat yang pernah diungkapkan oleh Iblis kepada Allah saat si Iblis menolak diperintahkan Allah untuk sujud kepada Adam. Lalu akupun seperti berada dalam masa-masa lupa yang sangat panjang terhadap siapa diriku yang sebenarnya. Aku beranggapan bahwa aku adalah sosok yang dibentuk oleh sekumpulan ilmu yang ada didalam otakku. Ilmu yang bisa berjalan dan berbicara. Ilmu yang bisa marah dan kecewa. Ilmu yang bisa senang dan gembira. Ilmu yang bisa memerintah-merintah ... Melelahkan sekali sebenarnya. Ah ..., ternyata selama ini, semua ilmuku telah menghalangiku dari hakekat diriku sendiri. Aku benar-benar seperti lupa untuk merunut bahwa dari sekian banyak daun, buah dan bunga yang ada disebuah pohon ternyata semuanya berasal dari begitu banyak ranting, dimana ranting-ranting itu berasal dari beberapa dahan. Semua dahan-dahan itu menyembul dari dua atau tiga cabang. Lalu cabang itu berasal dari satu pokok pohon yang menyangga kesemua daun, bunga dan buah itu. Bahkan aku seperti lupa memperjalankan kesadaranku untuk merunut bahwa pokok pohon itu sebenarnya berasal dari sebuah biji yang didalamnya ada bakal buah. Dan bakal buah itupun seperti tumbuh begitu saja dari kelanggengan, dari kebadian yang senyap ... Begitulah proses bagaimana kita ini seperti dibentuk menjadi diri kita yang sekarang ini. Ilmu yang singgah dan bercokol diotak kitalah yang telah membentuk diri kita dari waktu kewaktu. Silahkan lihat diri kita masing-masing. Terbentuk menjadi apa kita saat ini, dan kira-kira menjadi bentuk seperti apa pula kita ini dimasa-masa mendatang ... Inilah salah satu makna dari hadist Nabi yang mengkiaskan bahwa seorang bayi adalah seperti kertas putih. Artinya otak sang bayi masih bening. orang tua dan masyarakat dilingkungannyalah yang menulis diotak sang bayi sehingga sibayi bisa saja tumbuh menjadi seorang yang beriman kepada Allah, atau seorang yang tercover atau lupa terhadap Allah oleh berbagai atribut ciptaan Allah sendiri. Entah apa sebabnya ..., nampaknya proses kelupaan seperti ini telah terjadi secara kolosal dalam kurun waktu yang sangat panjang. Lua tersebut seperti diwariskan secara turun temurun. Secara kolektif kita telah menjadi kelompok atau gerombolan orang-orang yang lupa kepada asal-muasal kita. Lupa terhadap Kelanggengan ... Kita telah menjadi gerombolan orang yang terhijab, tercover (kafir), lupa, terhadap sang Maha Langgeng ... Demikianlah ..., semua penghambaan kita kepada yang selain Allah itu ternyata akan menghijab kita, mengcover kita, menutup kita, melupakan kita dengan Allah sendiri. Kalau sudah begini, kita akan masuk kedalam tragik hidup yang tak berujung. Mau tidak mau, sadar tidak sadar kita seperti dipaksa oleh sebuah daya yang sangat kuat untuk menjalani sebuah jalan kehidupan yang bagi orang lainpun tidak pernah terpikirkan untuk melakukannya. Saking kuatnya daya itu mendorong kita sehingga untuk sekedar bertanyapun kita seperti dibuat tidak sempat, apalagi untuk menghindarinya. Dalam istilah agama islam, keadaan kita yang seperti ini disebut sebagai orang yang semata-mata mengikuti dorongan atau kecenderungan dirinya (hawa un nafas). Kita tersiksa sekali sebenarnya. Barangkali siksa yang kita alami saat inilah yang disebut dengan neraka yang dapat kita rasakan saat didunia ini. Entah bagaimana rasanya kalau neraka yang ada dialam akhirat. Nantinya dorongan untuk memenuhi kecenderungan diri kita ini akan menjadi besar dan bertambah besar sesuai dengan zaman dimana kita berada. Setiap zaman akan melahirkan strategi dan cara yang berbeda untuk memenuhi kebutuhan dorongan hawa un nafs kita itu.

Strategi masa lalu itu kita wariskan kepada anak cucu penerus kita sebagai bekal mereka dalam melanjutkan tongkat estafet perangkai peran dimuka bumi ini. Warisan itu tidak hanya melalui bahasa tertulis berupa buku-buku, akan tetapi juga melalui "kitab yang nyata" yaitu GEN yang berada dalam kromosom kita. Nanti bagaimana buku dan gen ini berfungsi sebagai salah satu cara Allah dalam menuntun kita dan keturunan kita dalam menjalani hidup ini akan dibahas saat kita mengurai ayat "iyyaaka nasta'iin". Sampai ketemu diartikel "Meretas Tuntunan", yang akan mengupas tentang apa yang disebut dengan tuntunan Allah, bagaimana cara Allah menuntun kita, sehingga tuntunan yang kita dapatkan itu adalah tuntunan seperti yang didapatkan oleh nabi-nabi dan orang-orang shaleh terdahulu. Bukan tuntunan seperti yang didapatkan oleh orang-orang yang disesatkan Allah ...

Wassalam
Deka

0 komentar:

Posting Komentar