Rekonstruksi Berpikir

Dalam uraian yang lalu, kita telah bernostalgia sejenak tentang maju mundurnya peradaban Islam akibat pengkhianatan umat Islam sendiri kepada Tuhan, terutama terhadap fungsi kekhalifahan sang manusia yang tercerabut dari akar yang seharusnya, yaitu hilangnya kesadaran pada diri sang khalifah untuk bertindak dengan dan atas nama ALLAH yang telah mengutusnya dengan haq. Pengkhianatan ini ternyata telah menimbulkan dampak balik yang sungguh merugikan dan merepot sang khalifah itu sendiri.Untuk bagian selanjutnya, akan saya uraikan secara sederhana alternatif perbaikan yang mungkin bisa dijadikan sebagai bahan renungan bagi kita semua, yaitu keberanian dari umat Islam sendiri untuk melakukan rekonstruksi paradigma berfikir terhadap pokok-pokok ajaran Islam yang telah diwariskan turun temurun dari generasi ke generasi. 

Perlunya rekonstruksi paradigma berfikir itu adalah karena dalam perjalanannya, PEMAHAMAN umat Islam terhadap pokok-pokok ajaran Islam itu ternyata telah melenceng jauh dari arah yang diamanatkan oleh ajaran Islam itu sendiri. Pemahaman agama sepertinya tertinggal jauh dengan permintaan dan kebutuhan ZAMAN. Karena memang agama sepertinya dengan sengaja ingin dihentikan hanya sebatas pemahaman zaman ulama salaf yang sungguh sangat sederhana kalau tidak mau dikatakan primitif.

Akibatnya maka yang muncul di tengah-tengah umat beragama adalah PARADOKS yang sangat akut. Saat ini agama nyaris tinggal seperti sebuah buku bacaan berupa NOVEL saja. Kita hanya dibawa menerawang pada sebuah zaman yang katanya sangat indah semasa Nabi Muhammad SAW, Sahabat, Tabiin, Tabit Tabiin, dan ulama-lama Salaf tempo dulu. Bahwa pernah hidup dengan harmonis sekelompok orang dimana mereka senang kepada Allah dan Allah juga senang kepada mereka. Bahwa… beliau-beliau yang mulia itu hidup berdampingan panji-panji syariat Islam, bahwa…, bahwa…, … indah sekali. Lalu kita dibuat sibuk dengan NOVEL itu, membicarakannya kata demi kata, bahkan menghafal kata-katanya entah untuk apa. Akan tetapi begitu kita memalingkan muka kita dari NOVEL itu dan melihat kepada zaman kita sekarang, maka bayangan di dalam NOVEL itu seakan-akan hilang lenyap, tak berbekas.
Padahal AGAMA itu memang ADA BARANGNYA, real sekali. Agama itu adalah ibarat kita mendengar berita di TV. Saat pembawa berita berbicara tentang sebuah keindahan alam, misalnya pantai Anyer, maka beberapa detik kemudian kita diperlihatkan tentang detail dari pantai Anyer itu secara visual. Dan secara otomatis pusat perhatian kita lalu beralih dari WAJAH si pembaca berita ataupun dari SPESIFIKASI pesawat TV-nya kepada REALITAS berita yang dibacakan. Dan bagi yang tertarik tentu akan datang ke pantai Anyer itu untuk membuktikan keindahan pantai Anyer itu. Apalagi bagi yang sudah pernah ke pantai Anyer itu, dia hanya akan senyum-senyum saja…. “Terbukti kan… ?”, kata sebuah iklan. Karena memang agama itu fungsinya adalah sebagai sebuah JENDELA untuk mengamati bahkan menjadi sebuah PINTU untuk memasuki keindahan perilaku dan budaya manusia (bukan kera).
Sayangnya adalah bahwa arah yang melenceng itu diprakarsai oleh orang-orang yang mengerti atau pakar (hafal) tentang agama Islam, dan pada level yang sangat mengagumkan juga telah menjalankan agama itu dengan sungguh bersemangat, misalnya ustadz, ulama, dan para kyai. Akan tetapi dengan pengertian yang berkembang dan dipakai saat ini, tanpa disadari, umat Islam itu telah membawa dirinya sendiri kearah kejumudan pemikiran.
Kejumudan pemikiran ini berimbas pula ke dalam sistem pendidikan yang ada di masyarakat kita. Masih sering saja muncul anggapan, bahwa sistem pendidikan yang berkembang saat ini bukanlah dikatakan sistem pendidikan yang islami hanya karena di sekolah tersebut tidak diajarkan (atau sedikit sekali) diajarkan tentang pendidikan agama atau syariat Islam. Sehingga lalu muncullah pemisahan pendidikan menjadi sekolah agama di satu sisi dan sekolah umum di sisi lain. Universitas agama Islam dan sekolah-sekolah agama lainnya seperti pesantren dan madrasah-madrasah sepertinya berada di jalur terpisah dengan lebih memfokuskan perhatian kepada pendidikan agama.
Kemudian ada memang muncul sekolah yang bercirikan agama yang sangat kental, yang biasanya disebut sebagai “sekolah plus” atau UNGGULAN, yang juga mengajarkan pendidikan “umum” seperti di sekolah-sekolah negeri umumnya. Akan tetapi sayang bedanya masih terbatas hanya pada tempelan simbol-simbol agama saja. Misalnya siswanya hanya sekedar lebih banyak hafal Al Qur’an dan Al Hadits, lebih terlihat rajin shalat, yang lalu dikatakan lebih agamis dibandingkan dengan siswa disekolah umum.
Kejumudan pemikiran ini jugalah nantinya yang membuat para ahli seperti dokter, insinyur, ahli hukum, ahli akuntansi, ahli gizi, ahli baja, ahli manajemen, dan ahli-ahli lainnya, yang dikategorikan orang saat ini sebagai AHLI PENGETAHUAN UMUM merasa MINDER hanya karena mereka tidak banyak hafal ayat-ayat Al Qur’an, Al Hadits dan terminologi keagamaan lainnya. Mereka tidak punya keberanian untuk menyadari bahwa merekalah sebenarnya orang-orang yang sedang menjalankan Al Qur’an dan Al Hadits tersebut. Walaupun mereka tidak hafal ayat Al Qur’an dan Al Hadits itu, tetapi mereka sebenarnya adalah pengamal sejati dari ayat-ayat Al Qur’an itu. Mereka adalah realitas orang-orang yang sedang mengamati ayat-ayat kauniah seperti yang diperintahkan oleh Al Qur’an. Sehingga mereka bisa menemukan bahwa Al Qur’an itu “ada barangnya”, bahwa Al Qur’an itu bukanlah sekedar hanya teks dalam bahasa Arab (kauliyah) yang dihafal-hafal, dilagukan, dibicarakan saja. Bahwa Al Qur’an itu ternyata adalah laksana sebuah TEROPONG untuk melihat sebuah realitas (kauniah) TUHAN. Barang siapa yang mau menggunakan teropong itu akan mendapatkan manfaat yang sungguh mencengangkan.
Oleh sebab itu perlu adanya Rekonstruksi Berfikir bagi umat Islam yang meliputi perubahan pandangan atau paradigma terhadap Al Qur’an, As Sunnah, dan akal …, sehingga diharapkan pada akhirnya bisa terbentuk karakater manusia baru yang dalam Al Qur’an disebut sebagai karakter orang Islam yang utuh, yaitu karakter Orang Berakal. Membaca alternatif apa-apa yang harus dirubah ini, tentu saja akan ada saja pihak-pihak yang kebakaran jenggot dibuatnya. Bahkan belum-belum sudah muncul pula cap pada saya sebagai orang yang sesat, orang yang sok tahu, dan sebagainya. Ya…, tidak apa-apa. Mari kita urai satu persatu….!!
Yang saya maksud dengan rekonstruksi berfikir itu adalah sederhana saja, yaitu dengan merubah cara pandang terhadap Al Qur’an dan As Sunnah yang sudah terkontaminasi sedemikian rupa menjadi cara pandang yang diingini oleh Al Qur’an dan As Sunnah itu sendiri. Jadi memandang Al Qur’an, As Sunnah, dan akal dengan Al Qur’an dan Sunnah itu sendiri. Untuk melakukan rekonstruksi itu, maka perlu dilakukan peruntuhan konstruksi cara berfikir lama yang ada saat ini, lalu dilakukan konstruksi ulang sehingga menghasilkan bangunan berfikir yang baru. Akan tetapi meruntuhkan paradigma berfikir lama itu alangkah sulitnya. Sungguh sulit, karena dalam prosesnya perlu menghapus sebagian atau bahkan mungkin seluruh memori paradigma lama yang telah karatan tersimpan di dalam otak kita selama ini.

Mari kita coba perlahan-lahan saja…
Al Qur'an adalah Teropong Kauniah
Penghargaan dan penghormatan umat Islam terhadap Al Qur’an hampir-hampir saja membuat umat Islam itu buta terhadap kandungan dan maksud diturunkannya Al Qur’an itu oleh Allah. Yaa…, kesan yang ada terhadap Al Qur’an yang tersisa sekarang ini hanyalah:

1. Bahwa Al Qur’an itu adalah sebuah kitab yang begitu sucinya sehingga orang awam tidak punya otoritas sedikit pun untuk menafsirkannya dan membahasnya sesuai dengan konteks kezamanan dan pengetahuannya sendiri. Karena si awam dianggap tidak punya ilmu bahasa Arab, ilmu hadits, ilmu asbabun nuzul, ilmu…, ilmu…, dan segudang prasyarat lainnya. Sehingga kemudian muncullah fungsi mirip keavataran (guru suci) dalam agama lain, yang dalam agama Islam disebut misalnya sebagai MUJTAHID, ULAMA, IMAM, dsb., untuk dapat memahaminya, yaitu adanya orang-orang yang merasa bahwa hanya dialah yang punya hak untuk menyampaikan kandungan Al Qur’an. Orang lain tidak punya hak untuk berbicara tentang pemahamannya sendiri terhadap Al Qur’an.

2. Bahwa ayat-ayat Al Qur’an itu kalau dihafalkan, diwiridkan membacanya secara teratur, maka Allah akan menurunkan rahmatNya kepada kita, dan malaikat pun akan turun ikut menaungi halaqah-halaqah yang di dalamnya diperdengarkan bacaan Al Qur’an. Dari dulu itu saja yang diwejangkan kepada umat Islam dari pengajian ke pengajian. Betul memang dengan membacanya dengan tartil akan menimbulkan efek ketenangan ke dalam hati si pembaca atau yang mendengarkannya. Akan tetapi efek tenang itu barulah sebagian sangat kecil dari manfaat Al Qur’an itu. Dan efek tenang di hati ini sebenarnya hanyalah masalah psikologis biasa saja, sama seperti mendengarkan musik yang enak di dengar. Kalau tidak percaya coba saja untuk mendengarkan orang yang membaca Al Qur’an dengan nada yang sumbang, tajwid tidak benar, kecepatan baca yang tidak teratur, maka saat itu juga yang muncul bukannya efek tenang, malah sebaliknya. Yang muncul adalah rasa tidak enak, risih, bahkan mungkin marah karena dia membaca ayat Al Qur’an dengan sembarangan.
3. Keulamaan, kehebatan kualitas keagamaan seseorang seringkali ditandai dengan seberapa banyak beliau hafal akan Al Qur’an dan Al Hadits. Ulama-ulama besar seringkali digembar-gemborkan sudah hafal Al Qur’an pada umur dibawah 15 tahun dan hafal juga sekian ribu hadits pada usia yang relatif muda. Sehingga beliau-beliau itu lalu dianggap sebagai sosok yang berhak meneruskan perjuangan Rasulullah SAW. Sedangkan khalayak ramai yang sedikit sekali yang bisa menghafal atau bahkan untuk hanya sekedar membaca Al Qur’an saja lalu menjadi generasi MINDER, generasi seperti gerombolan yang tidak berketuhanan, yang tidak punya semangat untuk merubah keadaan. Karena kalau pemikiran khalayak itu berlawanan dengan pemikiran ulama sang penerus Nabi, maka label sesat dan bahkan kafir akan menempel pada dirinya. Label yang sungguh menakutkan banyak orang sehingga membuat orang menjadi apatis terhadap agama.
4. Dan yang terpenting adalah adanya paradigma yang keliru tentang istilah MENGAJI yang muncul ditengah-tengah masyarakat. Selama ini kegiatan mengaji sangat identik dengan sebuah kegiatan yang dilakukan di dalam masjid, di dalam rumah atau ruangan, yang materinya adalah membahas kata perkata, kalimat per kalimat tentang sebuah ayat Al Qur’an ataupun Al Hadits. Pembahasannya itu juga lebih banyak merujuk kepada bahasan yang sudah menjadi sejarah, karena isinya hanyalah sebuah pemikiran ulama pengarang kitab yang sedang dibahas itu yang hidup beberapa tahun, puluhan tahun, atau bahkan ratusan tahun yang lalu. Kalau pun ada buku baru, maka esensinya tidak ada bedanya dengan buku-buku lama itu. Hal ini lalu menyebabkan mandegnya kualitas pemikiran intelektual Islam dibandingkan dengan kecepatan kebutuhan perubahan ZAMAN. Padahal Al Qur’an itu mengisyaratkan adanya proses untuk mengkaji Al Qur’an sampai bisa mendapatkan sesuatu yang memang sudah seharusnya di dapat pada setiap zaman yang dilalui, bukan hanya sekedar kira-kira.
Dengan hanya memperhatikan empat perilaku pemahaman umat Islam terhadap Al Qur’an ini, maka dalam kesempatan ini saya akan mencoba memberikan alternatif perubahan dalam memahami makna Al Qur’an, yaitu saya mengajak umat beragama Islam (bagi yang mau saja) atau pun umat beragama lain yang belum begitu memahami untuk apa itu Al Qur’an diturunkannya buat umat Islam bahkan untuk umat manusia secara keseluruhan, yaitu sebagai teropong kauniah.

TEROPONG ITU…
Al Qur’an dengan lebih 6000 ayat-ayatnya adalah sebuah TEROPONG (alat mematut) yang diwariskan oleh Rasulullah Muhammad SAW bagi seluruh umat manusia untuk memandang ALAM SEMESTA dan DIRI MANUSIA itu sendiri. Dengan teropong itu si manusia diajak untuk untuk masuk ke dalam suasana demi suasana (keadaan demi keadaan) yang terdapat pada alam semesta dan diri manusia itu yang merupakan tanda-tanda akan keberadaan Allah (ayat-ayat Allah), Tuhan Semesta Alam, sampai pada akhirnya kita bisa “MELIHAT ALLAH (ra’aitullah)” dalam setiap tanda-tanda-Nya itu.

Dalam uraian singkat fungsi Al Qur’an diatas, ada beberapa kata kunci yang akan kita bahas lebih dalam, yaitu: Teropong, Alam Semesta dan Diri Manusia, Suasana (keadaan, hal, kondisi), dan muaranya adalah “melihat” Allah (ra’aitullah)… !!.
Teropong…
Kalau Al Qur’an itu disebut sebagai TEROPONG, maka fungsinya hanyalah sebagai sebuah ALAT BANTU MEMANDANG. Al Qur’an menerangkan Al Qur’an sendiri dengan istilah bahwa dirinya adalah hidayah (petunjuk) , pembeda, pemberi arah, pemotivasi bagi manusia untuk melihat dan menyikapi segala sesuatu sesuatu yang bisa dipandang dan dirasakan. Jadi dapat dikatakan bahwa Al Qur’an itu adalah sebagai ALAT BANTU saja sebenarnya. Namanya alat bantu, ya harus dipakai. Seperti halnya teropong, maka dia akan bisa dipakai oleh siapa saja. Dan siapa pun yang memakainya, maka dia akan mendapatkan manfaat karenanya.
Kekurangan kita umat Islam selama ini adalah, bahwa kita selama ini terlalu sibuk dengan teropongnya, kita terlalu sibuk dengan ciri-ciri fisik dan malah sampai ke detail yang sekecil-kecilnya dari teropong itu. Umat Islam juga sibuk terus menggosok dan melap teropong itu takut ada debu, ada karat, atau ada yang mengutak-atik keapikannya. Bahkan tidak sedikit pula kita selalu menjajakan “klaim” bahwa ini teropong yang terbagus yang pernah ada, semua keadaan BISA diamati dengannya, atau ini adalah teropong yang keasliannya sangat terjamin.
Begitulah, umat Islam itu dengan Al Qur’an seperti anak kecil yang diberi mainan baru, buat sementara si anak kecil memang akan sibuk dengan mainan itu. Akan tetapi beberapa waktu kemudian, kalau si anak tidak diberi tahu fungsi dari mainan itu sehingga dia tidak bisa menikmatinya, maka sudah dapat dipastikan mainan itu akan dibuangnya. Huh…!!!!. Lain halnya kalau si anak diberitahu fungsi alat tersebut, kemudian apa yang bisa didapat, maka si anak akan asyik menikmati permainannya…. Walaupun nanti akan bosan juga jadinya, itu nggak jadi masalah, karena bosan atau tidak itu hanyalah masalah ekstasisnya otak terhadap suatu keadaan atau suasana saja.
Dan Al Qur’an menjamin bahwa ekstasisnya otak (yang dalam istilah agama disebut dengan iman) yang menyebabkan otak mengirim impuls getaran iman ke dada (sudur) dan ke kulit/tubuh (julud) itu selalu bertambah setiap kita memakai ayat-ayatnya untuk membidik suatu suasana atau keadaan ke suasana dan keadaan yang lain. Bertambahnya ekstasis otak (iman) itu begitu NYATA dan EMPIRIS. Dalam surat Al Anfal ayat 2, misalnya, Allah menjamin :
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal …”

Bagi orang yang berfikir, maka ayat tersebut akan dia jadikan sebagai sebuah teropong untuk mengamati ciri-ciri orang beriman. Misalnya, kalau saya mengaku beriman lalu “getaran hati” saya sama saja tatkala saya menyebut nama Allah dengan menyebut piring, gelas, dsb., maka saat itu juga saya akan buru-buru mempertanyakan (melaporkan) suasana yang muncul itu:
“Duh Gusti… kenapa sensasi otak saya, dada saya, kulit saya saat menyebut nama Mu tidak sesuai dengan yang tertera di Manual Teropong Iman (Al Qur’an)…? Rasanya kok seperti ada sebentuk selubung hijab, cover, kafir) yang menyelimuti otak, dada, dan tubuh saya…??”.

Dan sampai kemanapun saya akan berusaha mencari “pengajaran” agar selubung itu bisa terkuak sampai suasana yang saya jumpai PERSIS sama dengan yang tercantum di manual teropong IMAN itu. USAHA YANG SAMA juga akan saya lakukan tatkala saya membaca ayat-ayat Quliyah Allah, tapi saya TIDAK mendapatkan suasana KAUNIYAH nya, iman saya TIDAK berkembang sedikitpun dibuatnya, MANDEG, sama saja seperti tahun-tahun lalu, atau puluhan tahun yang lalu… !!!.
Objek Teropongan…
Kemudian kemana arah pandangan kita harus tertuju dalam meneropong juga tidak usah kita bawa jauh-jauh, cukup di dekat kita saja, yaitu ALAM SEMESTA dan DIRI MANUSIA itu sendiri. Ayat (manual) yang sangat populer yang akan saya jadikan sebagai pedoman meneropong adalah:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (ali Imran 190-191),
dan juga dalam ayat:
Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan? (adz dzaariyaat 20-21).

Pada empat ayat ini, Allah memberikan arahan-Nya HANYA bagi orang YANG BERFIKIR, orang yang berakal, bukan buat orang yang jahil, ORANG YANG TER-COVER, orang yang terselubung. Ayat ini merupakan sebuah teropong yang dipersiapkan oleh Allah Sang Rabbul ‘Alamin untuk dipakai oleh sang berakal dalam menjalani kesehariannya. Ciri-ciri Sang Berakal ini menurut manual teropong itu haruslah utuh, yaitu:

Dimulai dengan KESADARAN BERKETUHANAN yang penuh (saat berdiri, duduk, maupun saat leyeh-leyeh),
Melakukan proses PENGAMATAN terhadap suasana, keadaan, kondisi dan hal yang berada pada objek ALAM SEMESTA dan DIRI MANUSIA,
MENYADARI bahwa objek pengamatan itu ternyata TIDAK SIA-SIA artinya ada hasil, ada hal dan kondisi baru yang ditemukan dari proses pengamatan itu,
Ra’aiturabbi, “Melihat Tuhan” (kembali berada dalam kesadaran berketuhanan) pada setiap objek dan derivatifnya yang ditemukan.
BERDO’A, agar temuan-temuan dalam pengamatan itu tidak menjadi SIKSA, tidak menciptakan ANGKARA MURKA baru bagi manusia baik dalam skala kecil maupun skala besar,
Dan proses itu BERGULIR TERUS pada objek-objek lain di ALAM SEMESTA dan DIRI MANUSIA yang sungguh tak terhingga banyaknya.

Sekarang mari kita kupas perilaku sang berakal ini lebih dalam lagi, dan apa jadinya nanti kalau proses berfikir ini tidak dilakukan secara utuh …!!
KESADARAN BERKETUHANAN…
KESADARAN AWAL dari sebuah pengamatan atau kegiatan apapun adalah sangat penting, karena kepada kesadaran awal itulah nantinya hasil dari pengamatan dan kegiatan itu akan dinisbahkan atau dikembalikan. Kalau kesadaran awal itu adalah berupa kekuasaaan, maka hasil kegiatan yang dilakukan juga akan dimanfaatkan untuk pemenuhan permintaan kekuasaan itu. Begitu juga kalau kesadaran awalnya adalah berupa kepentingan uang dan politik, maka segala hasil kegiatan dan pengamatan itu juga akan dihambakan kepada uang dan politik itu.
Begitu pentingnya kesadaran awal ini, sehingga dalam ayat diatas kita diberi arahan bahwa mulailah pengamatan itu dengan KESADARAN KETUHANAN, jangan kepada yang lain, sekali-kali jangan kepada yang lain. Dan kesadaran ketuhanan itu juga tidak main-main, kita diberitahu untuk mempunyai kesadaran itu setiap saat. Bukan hanya sekedar menyebut “bismillahirrahmanirrahiim, aku memulai pekerjaan pengamatan ini bersama Allah dan atas nama Allah”, lalu setelah mengucapkan lafaz itu kita lupa akan kesadaran ketuhanannya. Artinya pada saat itu saya telah lupa kepada Tuhan walau pun baru beberapa saat yang lalu saya masih menyebut nama-Nya.
Kemudian muncul pertanyaan, andaikan saya tidak bisa memelihara rasa ingat (kesadaran) kepada Tuhan ini setiap saat apa ada yang keliru..?. Jawabnya, ada dua kemungkinan penyebabnya. Pertama, saya yang salah secara teknis dalam melakukannya sehingga saya tidak bisa mendapatkan rasa ingat itu secara permanen. Kedua, bisa juga ayatnya sendiri yang keliru atau paling tidak ayatnya yang terlalu mengada-ada. Lhaa… bagaimana caranya saya bisa mengamati alam semesta dan diri saya sendiri lalu pada saat yang sama saya juga punya kesadaran (rasa ingat) kepada Tuhan.
Nah…, sekarang terserah anda masing-masing untuk menilai penyebabnya itu. Kalau anda memilih penyebabnya ada pada diri anda sendiri, tetapi anda tidak berusaha untuk memperbaiki masalah teknis untuk mendapatkan ingat kepada Tuhan itu secara permanen, maka anda berarti tidak mengikuti manual teropong orang berakal. Dan kalau teropongnya tidak dipakai, maka suasana rasa ingat Tuhan pasti juga tidak akan didapatkan, wong teropongnya tidak dipakai. Akan tetapi kalau realitas rasa ingat permanen itu tidak berhasil anda dapatkan karena ayatnya yang berlebih-lebihan atau keliru, beranikah anda mencoret ayat diatas…???. Ayat ini tidak cocok : CORET !! Hah….???!!!


PROSES MENGAMATI…
Proses mengamati hanyalah sebuah proses NETRAL yang sangat sederhana. Saking sederhananya, maka siapa saja dapat melakukannya. Mengamati itu tidak tergantung sedikit pun kepada agama, kepercayaan, mahzab, suku bangsa, tinggi rendahnya pendirikan, ataupun jenis kelamin dari sang pengamat. Semua punya kesempatan dan alat yang sama dalam mengamati sebuah suasana. Dan HASIL pengamatan itu juga sangat NETRAL sekali. Mau digunakan untuk yang baik dan bermanfaat bagi umat manusia, atau untuk menghancurkan umat manusia, ya… itu terserah kepada si pemakai hasil pengamatan itu. Sederhana sekali.
Instrumen manusia yang dipakai untuk mengamati sesuatu itu juga tidak rumit-rumit. Orang bisa mengamati dengan mata, dengan telinga, dengan kulit. Kalau anggota tubuh itu tidak mampu mengamati, maka manusia akan berusaha membuat alat bantu. Lalu bermunculanlah berbagai alat bantu yang bisa dipakai untuk mengamati…, terus begitu seperti tiada henti-hentinya. Ada hasil baru, ada alat bantu baru, ada benda baru yang berasal dari penggabungan benda-benda lama. Continuous improvement is a reality to occur.

Ada sedikit kekurangajaran yang dibuat oleh orang-orang yang telah melakukan proses pengamatan ini di negara “sono”. Kekurangajaran ini ditujukan tentu saja untuk orang-orang yang tidak mau mengamati, untuk orang-orang yang hanya membebek atas penemuan-penemuan si ahli amat itu, untuk orang-orang yang maunya hanya membaca dari buku-buku tentang penemuan-penemuan orang dan mereka lalu terkagum-kagum dengan penemuan itu. Kurang ajarnya adalah, proses mengamati yang sederhana ini lalu dibuat mentereng dengan istilah-istilah, misalnya, Scientific Approach, Seven Tools, Seven Habits, PKM, GKM. Ah bisa saja kau itu…, yang kau lakukan kan hanya: “ada benda atau keadaan, lalu kau amati, kau catat, kau coba cari alternatif benda atau suasana baru, dan kau dapatkan dan nikmati hasilnya…”, itu saja kok repot-repot.

NALURI …
Kalau diperhati-perhatikan dengan seksama, kegiatan pengamatan itu hanya melibatkan sedikit saja langkah yang diperlukan. Gunakanlah INDRA yang ada dan pada level tertentu boleh juga dibantu dengan ALAT BANTU untuk mengamati. Akan tetapi sedikit langkah itu ternyata memberikan hasil yang variatif sekali diantara bangsa-bangsa yang ada. Dan apa gerangan penyebabnya…?. Menurut pengamatan saya variasi yang sangat kentara antara hasil pengamatan DUNIA BARAT dengan bangsa-bangsa TIMUR (minus Jepang, Korea, China, dan beberapa bangsa lainnya tapi tidak termasuk INDONESIA dan bangsa-bangsa ARAB) adalah dalam hal NALURI MENGAMATI. Ya…, Barat ternyata telah melatih diri mereka sedemikian rupa sehingga mereka mempunyai naluri mengamati yang sangat peka.
Ini ibarat pertandingan tinju. Senjata bagi petinju-petinju itu dari dulu sampai kapan pun ya itu-itu saja. Ada pukulan jab, upper cut, swing, dsb. Ada menangkis, menghindar, maju, dan mundur. Akan tetapi bagi seorang petinju yang mempunyai naluri bertinju yang hebat, dengan teknik bertinju yang anak kecil pun tahu itu, bisa membuat mereka menjadi petinju yang disegani oleh musuhnya. Karena dia memang punya NALURI untuk bertinju.
Kalau diperluas sedikit lagi, di dalam perusahaan pun ilmu yang dipakai dari dulu-dulu sampai masa yang akan datang pun ternyata hanya itu-itu saja. Yaitu bagaimana cost yang muncul dari setiap operasi perusahaan diusahakan untuk bisa lebih kecil dari benefit, sehingga perusahaan mendapatkan keuntungan. Karena perusahaan itu dioperasikan oleh manusia dengan memakai mesin-mesin, maka orang yang berakal, seperti dimuat dalam ayat di atas, haruslah mempunyai NALURI untuk bisa mengamati manusia dan mesin-mesin itu. Karena pada manusia dan mesin-mesin itu ada hukum-hukum yang tidak bisa dilanggar sedikit pun, baik oleh sang manusia maupun oleh mesin-mesin itu. Hukum-hukum pasti ini dalam istilah agamanya adalah SUNATULLAH, dalam istilah sekulernya disebut dengan hukum-hukum alam. Misalnya, kalau pabrik sudah tua, maka kalau tidak dibangun pabrik yang baru, atau dilakukan revamping, maka dalam hirupan sejuta bungkus rokok yang akan datang perusahaan itu PASTI akan tutup.
Kalau karyawan di sebuah perusahaan sudah tua-tua, karena tidak ada regenerasi, maka pada perusahaan itu akan muncul gap antar generasi. Contohnya, jika perusahaan itu di manajemeni oleh generasi berumur diatas 40-an, kalau kemudian dilakukan rekruitmen baru bagi generasi umur 20 s/d 24-an, maka akan terjadi kesenjangan pola pikir yang akut antara pimpinan dan bawahan. Sang pimpinan pada umur-umur 40-an lebih itu kalau tidak punya NALURI memimpin, maka umumnya mereka akan bermain aman, alias tidak punya greget. Sementara karyawan baru yang muda-muda tersebut cenderung akan mempunyai semangat lebih kental. Maklum masih baru. Lalu yang terjadi…??. Amatilah…!!!.

NALURI…, ahh…, istilah sederhana yang realitasnya sudah hampir punah di negara kita ini. Masihkah kita punya waktu untuk melatih naluri ini…?, Naluri memimpin, naluri membangun, naluri bersatu, naluri membahagiakan orang lain, naluri iman, naluri khusyu, naluri sabar, naluri ikhlas, naluri mengamati… ???. Sebagai pengganti dari naluri yang sedang bersemayam saat ini dalam diri kita yang cenderung kepada serba perselisihan dan naluri-naluri negatif lainnya…!!!

ALAM PENGAMATAN…
Sebagai objek dalam pengamatan ini, manual teropongnya menyebutkan bahwa yang diamati itu adalah ALAM SEMESTA dan DIRI MANUSIA. Maka bagi orang yang berakal, pengamatannya sudah pastilah akan tertuju kepada setiap apapun yang bisa di temukan di Alam ini. Karena alam semesta ini memang diciptakan untuk dimanfaatkan oleh manusia dengan sebaik-baiknya. Dan kalaulah ditulis hasil-hasil pengamatan itu, maka seandainya air dari tujuh lautan dijadikan tinta, maka sampai habis air itu dipakai, tidak akan selesai kita menulisnya. Perkembangan ilmu fisika, kimia, ekonomi, adalah sedikit dari sekian banyak ilmu yang dihasilkan dari proses mengamati suasana di alam semesta ini.
Diri manusia sebagai objek pengamatan, juga tak kalah menariknya. Berbagai cabang ilmu kedokteran dan psikologi telah berkembang mengiringi pengamatan terhadap diri manusia itu. Padahal pengamatan itu kalau diringkas hanya dilakukan pada dua substansi saja, yaitu NAFS (diri, jiwa) dan RUH. Yaaa…, pada manusia itu ternyata hanya dua substansi itulah yang saling berinteraksi. Pengamatan terhadap nafs telah melahirkan pengetahuan manusia yang sangat detail terhadap ketubuhan manusia, mulai dari yang kasat mata seperti jantung, otak, sampai kepada yang berukuran mikro seperti rantai DNA, biologi molekuler, dsb.
Pengetahuan tentang nafs dengan segala sifat-sifat bawaannya ini juga telah melahirkan ilmu psikologi baru, yaitu psikologi TRANSPERSONAL. Di dalam kajian psikologi modern, psikologi transpersonal merupakan kekuatan ke empat dalam aliran psikologi setelah PSIKOANALISA, BEHAVIORISME dan psikologi HUMANISTIK. Psikologi transpersonal merupakan bentuk perkembangan ilmu psikologi yang tidak tersentuh oleh analisa para ahli jiwa terdahulu, padahal kajian ini secara langsung banyak membicarakan wilayah pusat (eksistensi dan aktivitas jiwa), bukan hanya gejala empirisnya saja.
Karl Jung dengan psikologi transpersonalnya telah banyak menyadarkan para rohaniawan untuk melepaskan teori meditasi konvensional yang selama ini mereka pakai. Dalam konsep Jung ini dikatakan bahwa: “Sang Aku (diri) mencari dan mengarah (tertuju) kepada sang Aku yang kekal”. Konsep Jung ini yang paling bisa diterima, karena jiwa memang tidak boleh dibatasi oleh benda-benda. Ruh harus lepas atau moksa menuju wujud mutlak yang tidak terbatas.
Dasar spiritual agama-agama sebelum Islam yang dibawa para Nabi disebut agama hanif, yaitu agama lurus yang mendasari arah spiritualnya kepada Zat yang mutlak, tidak boleh menghambat ruhani atau mengikat jiwa seseorang kepada bentuk materi sebagai alat konsentrasi. Jiwa yang terikat akan berada di wilayah yang paling rendah. Kondisi ini tidak sesuai dengan fitrahnya yang memiliki kecenderungan untuk kembali kepada Yang Maha Tak Terbatas, Tak Terjangkau, Tak Terdifinisikan. Dengan mengarahkan jiwa kepada Zat Yang Maha Tak Terbatas, maka jiwa Anda akan merasakan seperti kembali dan tidak terkungkung oleh benda-benda yang mengikatnya.
Ah…, demikian banyak dan berkembangnya apa-apa yang bisa kita amati. Dan proses mengamati alam semesta dan diri manusia inilah senjata maha hebat yang sebenarnya telah diwariskan untuk para ulul albab, orang yang berfikir, yang koncinya pada awalnya diserahkan kepada umat Islam. Akan tetapi ternyata konci penyimpanan senjata pamungkas itu telah hilang dari tangan umat Islam. Konci itu telah jatuh ke tangan umat non Islam. Sedangkan umat Islam dari dulu sampai sekarang masih saja sibuk dengan masalah-masalah saling KLAIM tentang legalitas agama seperti mahzab, fikih, syariat, hadits. Akan tetapi mereka seperti DIBUAT LUPA akan maksud dari syariat, agama, fikih, dan hadits itu. Antara satu golongan dengan golongan yang lain saling sibuk sendiri dengan klaim-klaim kebenaran mereka. Mereka seperti dibutakan dengan peringatan ayat:

“Manusia itu harus kembali kepada Allah dan bertakwalah kepada Allah, tegakkan shalat dan janganlah kamu menjadi orang-orang yang (musyrikin) mempersekutukan Allah” (Ar rum 31)
“yaitu dari golongan-golongan, orang-orang yang memecah belah agama mereka, dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan dan membenarkan apa yang ada pada golongan mereka”. (Ar rum 32)
Sehingga umat Islam sekarang ini seperti umat yang terkena kutukan Tuhan karena secara tidak disadari (karena memang hati mereka seperti sedang tertutup untuk “melihat” kebenaran) mereka telah menjadi orang MUYSRIK disamping juga telah menyia-nyiakan konci senjata rahasia yang dahsyat sekali. Suasana umat Islam sekarang ini tak ubahnya seperti “kerakap tumbuh di batu, hidup segan mati tak mau”. Sunatullah saja yang terjadi sebenarnya……..!!!!.
Pesan dari ayat diatas sebenarnya sangatlah menakutkan. Musyrik itu ternyata tidak hanya menduakan atau menyekutukan Tuhan dengan sesuatu apapun, akan tetapi juga setaraf dengan orang yang suka memecah belah agamanya menjadi golongan-golongan, sekte-sekte, mahdzab-mahdzab, aliran-aliran, dan masing-masing golongan itu mengklaim bahwa hanya mereka sajalah yang benar, yang lain adalah salah, atau paling tidak keliru (eh sama saja ya…).


HASIL PENGAMATAN…
Dari proses diatas, yang bisa dilakukan oleh manusia hanyalah sekedar mengamati, mencatat, mem-file, atau bisa juga sampai dengan mengkombinasikan, menambah, mengurangi komposisi materi yang diobservasi. Lalu mengamati lagi, mencatat, mem-file, dan kemudian menggunakan hasil pengamatan itu untuk apa saja. Baik itu digunakan untuk yang bermanfaat bagi umat manusia, maupun untuk yang merugikan umat manusia itu sendiri. Terserah manusia saja. Begitulah seterusnya sampai akhir zaman nantinya. Dari proses tanpa henti inilah lahir berbagai cabang ILMU PENGETAHUAN yang merupakan senjata rahasia paling ampuh yang disiapkan oleh ALLAH bagi manusia untuk MEMENUHI KEHENDAK DARI ZAMAN yang dilaluinya.
Dan ilmu pengetahuan yang lahir itu sangatlah NETRAL sifatnya. Dia tidak tergantung oleh agama, kepercayaan, suku, ataupun bangsa dari orang-orang yang menjalankan ilmu pengetahuan itu. Salah satu sifatnya hanyalah bahwa dia akan meluluhlantakkan orang-orang yang tidak tunduk kepada kehendak ilmu pengetahuan itu sendiri. Nah…, proses tunduk kepada kehendak zaman dan kehendak ilmu pengetahuan inilah yang disebut sebagai FITRAH, atau dalam istilah lainnya adalah SUNATULLAH (hukum-hukum Allah), atau dalam istilah netralnya adalah hukum-hukum alam.
Contohnya adalah saat agama Kristen dengan doktrin gerejanya diawal-awal perkembangan ilmu pengetahuan mencoba menghalangi fitrah ilmu pengetahuan itu, maka saat itu pulalah muncul penentangan terhadap doktrin gereja yang kemudian melahirkan gerakan sekularisme. Jadi sekularisme itu hanyalah sebuah gerak FITRAH ZAMAN dalam menghancurkan penghambat yang menghalangi laju perjalanannya. Sekularisme ini akan menyelinap kapan saja dan ke dalam agama apa saja tatkala agama tersebut tidak takluk terhadap fitrah zaman yang dilaluinya. Dia bisa muncul dalam agama Islam, Hindu, Budha, dsb. Tak tertahankan gerak fitrah itu.
Sekularisme ini akan menjalar ke dalam suatu agama tatkala agama itu sudah tinggal hanya sekedar pemahaman TEKSTUAL saja bagi umat pemeluknya. Karena fitrah itu sendiri adalah sebuah KONTEKSTUAL yang sangat selaras dengan kebutuhan zaman tempat dia berada. Dalam agama Islam, sekularisme ini muncul bak cendawan tumbuh di musim hujan. Sekedar contoh di Indonesia ini, Ulil Absar Abdallah dengan Islam Liberalnya, dan banyak nama lainnya yang mengusung wacana tentang Islam kontekstual, seperti Cak Nurcholis Majid, Alwi Shihab, bahkan Gus Dur…..
(Dalam lanjutan serial artikel ini akan saya bahas tentang betapa fitrahnya Rasulullah dalam menyikapi zamannya. Beliau tunduk dan takluk terhadap kehendak zamannya. Beliau takluk terhadap FITRAH di zamannya. Ketaklukan Beliau terhadap fitrah inilah sebenarnya makna dari sunnah yang hakiki, bukan pada kalimat-kalimat haditsnya).
Yang menarik untuk dibahas adalah, bahwa dalam menyikapi hasil pengamatan terhadap alam dan diri manusia itu, ternyata manusia terpecah menjadi beberapa kelompok besar. Pengelompokan ini begitu nyata….
Kelompok pertama adalah orang yang berhenti di BENDANYA, lalu mereka sadar bahwa: “Oooo…, ternyata BENDA ini ada manfaatnya yaa…!!!”. Hanya sampai disitu. Walaupun dia berhasil mendapatkan rahasia demi rahasia baru dari setiap benda yang dia amati, dia hanya akan terhenti di benda tersebut. Saat dia mencoba mencari arah pengembalian dari hasil pengamatannya itu, dia tidak menemukannya. Dalam istilah agamanya dia disebut “sedang tersesat” dari arah pengembalian yang seharusnya. Karena memang arah pengembalian itu sangat tergantung dari KESADARAN AWAL saat dia mulai melakukan proses ilmu pengetahuan itu.
Kelompok kedua adalah orang yang disamping berhasil menemukan manfaat dari benda yang diamati itu, dia juga berhasil menyadari akan keberadaan SESUATU yang merupakan tempat bersandar dari benda itu, sehingga lalu dia mengembalikan (menyampaikan rasa syukurnya) kepada “sesuatu” itu. Dalam istilah agamanya disebut bahwa dalam melihat benda-benda, maka dia berhasil “melihat” sesuatu yang hakiki dari benda itu. Dan untuk selanjutnya dia akan mengarahkan kesadarannya kepada yang hakiki itu, atau disebutkan juga bahwa yang hakiki itulah yang sekarang menjadi OBJEK FIKIRNYA.

Misalnya, tatkala dia memulai pengamatan itu dengan mengingat Tuhan (dzikr), akan tetapi saat menyebut nama Tuhan itu objek fikirnya kepada Kristus (baik berupa gambar ataupun patung, atau objek apa saja yang sesuai dengan karakter Kristus), maka saat itu juga tempat pengembalian rasa syukur atas hasil pengamatannya itu bisa dipastikan adalah kepada Kristus. Dia akan mengucapkan: “Puji Tuhan…, ternyata BENDA ini ada manfaatnya…!!!. Akan tetapi objek syukurnya saat itu masih terhenti di karakter ke-Kristus-an. Sehingga Tuhan yang dia maksud itu adalah Sang Kristus. Lalu dia akan memanfaatkan atau mengeksploitasi hasil pengamatan itu sebesar-besarnya untuk dan atas nama Kristus. Biasanya ilmu pengetahuan itu juga lalu disandarkan pula untuk membenarkan akan kebenaran agama Kristen……!!. Duarr…, lahirlah sebuah ilmu, akan tetapi ilmu itu lalu dibingkai dengan kotak ke-Kristen-an. Begitu pun hal yang sama juga bisa terjadi untuk agama-agama lainnya, sebut saja Hindu, Budha, Yahudi, dsb.
Karena saya adalah salah satu dari penganut agama Islam, dan sedang merasa tenggelam dalam kejumudan pemikiran Islam, maka yang agak menarik adalah untuk membahas tentang apa yang terjadi dalam mayoritas umat beragama Islam selama ini. Jadi saya juga tengah melakukan self-evaluation terhadap diri saya sendiri. Umat Islam sejak ratusan tahun sepeninggalan ahli-ahli tentang pengamatan ALAM seperti Al Kindi, Rusydi, dan peletak dasar-dasar pengentahuan modern lainnya, serta ahli-ahli tentang ketuhanan seperti Al Halaj, AL Junaid, Beyazid Al Bustami, An Nafiri, Zun Nun, Abdul Qadir Jaelani, Al Ghazali, dsb., sudah tidak melakukan apa-apa lagi. Ya…, umat Islam sudah tidak mendapatkan lagi pencerahan untuk memahami dan melaksanakan MAKSUD HAKIKI dari surat Ali Imran ayat 190-191 diatas. Umat Islam ternyata telah tersungkur pada kenyataan bahwa kita masuk kepada kelompok yang tidak melakukan apa-apa lagi ratusan tahun lamanya. Inilah kelompok ketiga….
Kelompok ketiga adalah orang yang tidak melakukan pengamatan apa-apapun di dalam hidupnya. Yaitu…, dia bukan saja menjadi orang yang tidak berhasil MELIHAT MANFAAT dari BENDA yang terbentang luas di alam semesta ini, bahkan di dalam dirinya sendiri, akan tetapi dia juga tidak berhasil memahami ALAMAT untuk memberikan rasa SYUKUR atas manfaat dari benda-benda itu. Umat Islam TIDAK berhasil pada kesimpulan: “Oooo… benda ini ada manfaatnya ya…!!!”. Dan pada saat yang sama umat Islam juga TIDAK berhasil mendapatkan ALAMAT YANG JELAS untuk tempat memuja: “TUHAN…, SubhanaKA…, Maha Suci ENGKAU…!!!!”. Apalagi untuk sampai ke “ALAM DOA”: “…maka peliharalah kami dari siksa neraka…”, jauh sekali panggang dari api. Sebuah tragik hidup dan kenyataan yang sangat pahit memang. Kenapa bisa begitu…??. Ini menarik untuk dibahas…!!!
Pada langkah awalnya saja, umat Islam sudah banyak yang ngahuleung, clingak-clinguk nggak karuan. Yang diperintahkan adalah untuk “mengingat dan menyadari Allah (dzikrullah, ra’aitullah) saat berdiri, duduk, maupun berbaring, continuously, at the present continuous tense, dengan OBJEK FIKIR sampai menembus ke alamat yang dituju, SESUATU yang Laisa Kamistlihi Syai’un (yang tidak sama dengan apapun), yaitu Allah. Tapi yang dilakukan oleh umat Islam adalah kita saling sibuk dengan objek fikir lain selain Sang Laisa Kamistlihi Syai’un. Ada yang asyik dengan memelihara perselisihan antar mahzab, seperti mahzab (aliran) Syiah dan Sunni. Kalimat atau kata sederhana saja bisa jadi perdebatan yang sangat akut diantara keduanya, misalnya kata ra'yu (pendapat pribadi), logika, akal fikiran, mantiq, dsbnya. Ada yang sibuk atau dibuat sibuk membela segala kemulyaan, keutamaan, dan atribut AHLUL BAIT ‘alaihissalaam seperti yang dilakukan oleh kaum Syi’ah. Ada yang sibuk dan dibuat sibuk untuk membahas Al Qur’an dan Al Hadits dari hari ke hari, bahkan untuk jangka puluhan tahun. Ada yang sibuk dan dibuat sibuk dengan berkomat-kamit, berwirid, berdzikir, menangis, berdo’a, dsb. Semua sibuk sendiri-sendiri, atau bisa juga secara bergerombol dengan objek fikirnya (atau syariatnya) masing-masing. Sehingga umat Islam hampir-hampir saja LUPA TOTAL untuk melangkah ke langkah berikutnya, yaitu untuk mengamati ALAM SEMESTA dan DIRI KITA sendiri untuk menemukan bekal bagi kita dalam menaklukkan zaman dimana kita hidup. Wong kita sibuk sendiri…!!.
Kita juga seperti lupa akan maqasidus syariah…, maksud dari syariah, yaitu untuk sampai kepada tahapan REALITAS EMPIRIS untuk mengingat, menyadari, dan melihat Allah (ra’itullah) dalam setiap langkah dan tindakan kita, baik saat dia berdiri, saat duduk, maupun saat leyeh-leyeh tiduran. Padahal hampir semuanya, dari mahzab dan aliran apapun, kita sangat-sangat FASIH dalam mengucapkan kalimat-kalimat penyerahan, pengembalian, dan penghormatan seperti:
“Subhanallah,
Alhamdulillah,
Laa ilaha illallah, Allahu Akbar,
Laa haulaa wala quwaata illa billahil adhiem, inna lillahi wainnaa ilahi raaju’uun”,
Seperti fasihnya kita mengucapkan kalimat-kalimat kefakiran, misalnya: “semuanya milik Allah, harta saya milik Allah, anak saya milik Allah, pekerjaan saya milik Allah, jabatan saya milik Allah, Ruh saya milik Allah…”.
Namun sayangnya, karena kita sibuk dengan objek fikir selain Sang Laisa Kamistlihi Syai’un, sehingga kita melenceng dari ALAMAT yang SEHARUSNYA (HAKIKI), yaitu Allah, maka prosesi penyerahan, pengembalian, dan penghormatan di atas tidak mampu menimbulkan EKSTASISNYA JIWA kita, sehingga hasilnya nyaris tanpa menimbulkan kesan yang mendalam dan inherent dalam langkah keseharian kita. Begitu juga dalam prosesi pengakuan kefakiran, tatkala Sang Pemilik mengambil kembali milik-Nya, maka tetap saja sulit kita terima dengan RASA IKHLAS. Bagaimana mau ekstasis dan ikhlas, wong alamatnya atau objek fikirnya masih kepada segala sesuatu atau memori yang ada di otak masing-masing.
Ada memang gejala ekstasis yang dialami oleh sebagian kita dalam prosesi praktek agama atau syariatnya gejalanya mirip sekali dengan ekstasisnya jiwa akibat memandang Sang Laisa Kamistlihi Syai’un. Akan tetapi gejala ekstasisnya jiwa itu lebih disebabkan oleh proses STIMULASI OTAK dengan memunculkan RASA yang sangat INTENS. Misalnya dengan memelihara dan meningkatkan rasa sedih yang dalam atas penderitaan dan nestapa maupun penghormatan yang sangat dalam terhadap Ahlul Bait ‘alaihissalaam yang dilakukan oleh penganut mahzab Syi’ah. Atau seperti pada penganut mahzab lainnya dengan cara memelihara RASA penyesalan yang kental atas dosa-dosa yang telah kita lakukan, rasa harap yang amat sangat atas NIKMAT Tuhan, dan rasa takut yang sangat kuat atas ayat-ayat yang menerangkan tentang SIKSA NERAKA, sehingga mereka menangis terisak-isak. Padahal semuanya itu hanyalah bentuk-bentuk berbeda dari berbagai teknik stimulasi otak yang ada. Sederhana saja sebenarnya stimulasi otak itu.

Disamping itu, “timing” bagi suasana dzikir (kesadaran ingat) kepada Tuhan itu juga menjadi begitu dangkal, yaitu cukup kita hanya sekedar mengucap di awal pekerjaan, akan tetapi segera setelah itu kita tidak ingat (lupa) lagi kepada-Nya. Padahal kita diperintahkan untuk ingat kepada-Nya secara terus menerus. Apalagi untuk sampai kepada Ra’aiturabbi, Melihat Tuhan, bahkan sampai Bertemu Tuhan pada setiap OBJEK dan DERIVATIVENYA yang ditemukan di alam semesta ini sudah melenceng jauh dari waktu sekarang dan berketerusan waktu ke waktu menjadi hanya untuk waktu yang akan datang, yaitu nanti di akhirat saja.
Lengkap sudah kita umat Islam ini…; sudahlah kita TIDAK mampu memelihara rasa ingat secara terus menerus kepada Tuhan; ditambah lagi kita tidak sampainya kepada alamat atau objek fikir yang HAKIKI, karena kita sibuk dengan objek fikir yang bukan Laisa Kamistlihi Syai’un; ditambah lagi kita tidak melakukan pengamatan apa-apa terhadap Alam Semesta dan diri kita sendiri yang merupakan tanda-tanda (ayat-ayat) tentang eksistensi Tuhan; ditambah lagi kita tidak menemukan manfaat apa-apa dari objek pengamatan itu; ditambah lagi kita tidak menemukan “alamat” yang jelasnya untuk tempat kita melantunkan penyerahan, pengembalian, dan penghormatan; maka beginilah umat Islam jadinya. Umat yang menjadi objek cemoohan orang, menjadi umat yang minder, menjadi umat yang dilecehkan orang, menjadi umat yang sepertinya tidak mampu untuk bersyukur atas nikmat-nikmat Tuhan yang dilimpahkan kepada kita. Yaa…, kita nampaknya sudah terlalu lama menjadi umat dengan SERIBU TIDAK…!!.
Padahal kita tahu persis bahwa kalau kita TIDAK bersyukur, maka “Inna ‘adzaabii lasyadiid…, azab yang pedih itu…!!!”. Tahu persis kita tentang itu…!. Bukankah ayat ini mengisyaratkan, tatkala kita tidak bersyukur dengan pengetahuan dan ilmu kita, di sana ada azab yang sangat pedih. Tatkala kita tidak bisa bersyukur dengan otak, mata, telinga, tangan, kaki, dan anggota tubuh kita yang lain, di sana juga ada azab yang sangat pedih. Ya begitulah…, azab itu begitu dekatnya dengan umat Islam yang ternyata lebih banyak berkhianatnya dari pada patuh (Islam) nya.
Ternyata Tuhan mewariskan Alam Semesta ini BUKANLAH untuk sembarangan orang. Bukan untuk orang yang tidak tahu posisi dalam “memandang SESUATU YANG HAKIKI” saat awal kegiatan mereka, bukan untuk orang yang tidak mau mengamati segala ciptaan-Nya, bukan untuk orang yang tidak mampu menemukan manfaat dari proses pengamatannya itu. Sehingga tidak ada apa-apanya yang membuat dia takjub dan ektasis. Bukan…, bukan untuk orang-orang dan generasi seperti itu. Akan tetapi Alam Semesta ini DIA wariskan KHUSUS untuk para ULUL ALBAB yang ciri-ciri dan gambaran karakternya terpotret dengan TEROPONG Qalam Tuhan dalam surat Ali Imran ayat 190-191 seperti di atas. Karakter itu harus utuh. Karena kalau ada karakter dan langkah yang kurang, maka itu namanya bukanlah Sang Ulul Albab.
Kalaulah Rahasia Alam Semesta ini jatuh ke tangan yang bukan Ulul Albab, maka bencanalah yang akan muncul bagi umat manusia. Untuk Non - Ulul Albab dengan kriteria seperti dalam kelompok pertama dan kedua di atas, maka tingkah polah Amerika dan konco-konconya adalah contoh real akibat buruknya bagi umat manusia. Sungguh sangat-sangat berbahaya bagi peradaban manusia. Mereka dengan seenaknya saja menggunakan rahasia alam semesta itu untuk membunuh dan mengumbar angkara murka bagi sesama manusia di berbagai belahan dunia, walau dengan alasan yang sangat sepele dan seperti dibuat-buat sekali pun. Walaupun begitu, mereka tetap saja telah memberikan manfaat bagi berkembangnya peradaban manusia…!!!!
Sedangkan untuk Non Ulul Albab dengan kriteria seperti dalam kelompok ke tiga di atas, maka tingkah polah kita umat Islam sejak berbilang zaman yang lalu sampai sekarang, mahzab apapun dia, adalah contoh nyata yang sungguh sulit untuk dipungkiri. Begitu jumud, picik pikiran, terkotak-kotak, minder, dan pintarnya hanya ngomong doang…!!!. Ah malaslah ngomonginnya

ULUL ALBAB, KARAKTER SI AHLI EKSTASIS…
Tentang karakter Ulul Albab ini, kita batasi saja pembahasannya tentang suasana ektasisnya jiwa bagi para sang Ulul Albab tersebut. Karena untuk masalah pengamatannya sendiri terhadap alam semesta dan diri manusia, kita tinggal mengikuti saja cara-cara yang sudah berkembang saat ini diberbagai belahan dunia.

Sebelumnya kita telah membahas tentang ekstasisnya jiwa akibat dari permainan stimulasi otak, dimana permainan otak ini sudah sangat berkembang sampai ke taraf yang menakjubkan. Akan tetapi kalau hanya sekedar sampai ke suasana penuh stimulus ini, ternyata itu bukanlah suasana HAKIKI yang diharapkan oleh jiwa manusia. Karena yang muncul ternyata hanyalah ekstasis yang artificial yang tidak akan bertahan lama. Nah…, sekarang akan kita bahas suasana ekstasisnya jiwa jika dan hanya jika kita mampu mengantarkan kesadaran kita untuk melakukan penyerahan, pengembalian, penghormatan, dan pengakuan kefakiran kita langsung tertuju kepada Wujud Sang Laisa Kamistlihi Syai’un, LURUS…, HANIEF…, TIDAK BERCABANG…!!!. Maka saat itu juga “DIA akan mengajarkan kita apa-apa yang tidak pernah kita ketahui sebelumnya (al alaq ayat 5)”.
Yaa…, saat itu juga kita diajarkan dan dibawa selangkah demi selangkah oleh Sang Laisa Kamistlihi Syai’un untuk memandang, mengerti, dan memahami DIRI-NYA SENDIRI. Dan langkah demi langkah itu akan memunculkan RASA EKSTASIS demi EKSTASIS dengan intensitas yang terus meningkat, menggumpal memenuhi ruangan DADA kita.
Huuu…, Huuu…, Huuu…, Hua…!!!,
Dia…, Dia…!!.
Dan saat jiwa mengalami ekstasis sempurna itulah waktu yang paling tepat bagi kita untuk MEMULAI segala aktifitas yang menjadi tanggung jawab kita. Karena saat itu kita bekerja atas nama dan bersama TUHAN. Lalu kita tinggal menyiapkan otak kita untuk DIALIRI pengetahuan-Nya, kita tinggal menyiapkan mata kita untuk dialiri penglihatan-Nya, kita tinggal menyiapkan telinga kita untuk dialiri pendengaran-Nya, kita tinggal menyiapkan tangan dan kaki kita untuk dipakai oleh-Nya dalam mengelola, mencipta, merombak, bahkan untuk menghancurkan dan kemudian menciptakan lagi suasana yang baru sebagai fungsi kekhalifahan kita didunia ini. Sebuah suasana yang sangat BENING….!!!.

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. (An Nahal 78)
"…Maka Aku merupakan pendengaran yang ia gunakan, Aku merupakan penglihatan yang ia gunakan, Aku merupakan tangan yang ia gunakan untuk menyerang, dan Aku merupakan kaki yang ia gunakan untuk berjalan…” (Hadits Qudsy, HR Bukhari)
"…Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar..." (Al Anfaal 17).
Kalaulah tercapai posisi seperti ini, maka:

saat mengamati fenomena dan rahasia alam, apapun, kita akan mengamatinya dengan rasa ekstasis, sehingga gelombang pencerahan dan ilham akan datang kepada kita dengan menakjubkan,
saat merencana, kita merencana dengan rasa ekstasis, sehingga ada saja jalan keluar dari masalah yang kita hadapi muncul dengan mencengangkan,
saat bekerja, kita akan bekerja dengan jiwa ekstasis, sehingga kita bekerja seperti dengan energi yang tidak habis-habisnya
saat memimpin, kita memimpin dengan rasa ekstasis, dan akan diterima pula oleh yang orang-orang yang kita pimpin dengan rasa ekstasis pula, sehingga antara pemimpin dan yang dipimpin terjalin sebuah jalinan rohani yang kuat,
Dan yang terpenting dari semua itu adalah, bahwa saat kita berhasil mengurai rahasia benda-benda di alam semesta ini menjadi sebuah realitas, maka penemuan itu akan kita gunakan untuk kemakmuran dan kemaslahatan orang banyak…, dan saat ini akan muncul rasa bahagia, rasa damai, rasa ekstasis,
Yaa…, ekstasis demi ekstasis, serba ekstasis, tapi sekaligus ada hasilnya dalam bentuk ilmu pengetahuan yang sangat penting sebagai senjata pamungkas yang dibutuhkan dalam membangun peradaban umat manusia dari zaman ke zaman. Inilah rahasia terpenting dari sang ULUL ALBAB…


Dengan cara yang sama seperti diatas, maka kita bisa mengupas dan mengkaji ayat-ayat Al Qur’an yang lainnya dengan tak kalah gregetnya. Karena ayat Al Qur’an yang sekitar 6666 ayat itu HANYALAH sebuah POTRET UTUH dalam bentuk bahasa tulisan (QAULIYAH) dari ALAM SEMESTA dan DIRI MANUSIA (KAUNIAH) yang berada dalam LIPUTAN TUHAN…!!!.
Sungguh…, jumlah 6666 ayat Al Qur’an itu tidak akan punya arti yang signifikan jika kita tidak berhasil menemukan pasangan atau realitasnya di alam semesta ini dan pada diri kita sendiri. Dan pada ujung-ujungnya kita PASTI akan menemukan WUJUD yang Maha Meliputi semuanya itu. Tatkala kita menemukan pada diri kita ada hal atau suasana yang menurut POTRETNYA TIDAK sesuai dengan karakter Ulul Albab, artinya kita hanya menemukan karakter negatif, karakter orang tertutup (tercover, kafir), maka kita tinggal minta pertolongan kepada Sang Maha Meliputi agar Dia membalik jiwa kita (linashrifa) kearah yang sebaliknya, agar dia membimbing kita (nastain, isti’anah) dengan tangan-Nya. Begitu juga saat kita menemukan adanya karakter kita yang SESUAI dengan POTRET Ulul Albab pada diri kita, maka kita tinggal bersyukur dan berterima kasih kepada-Nya…, dan pasti DIA akan menambah, menambah, dan menambah nikmatnya buat kita……….!!!.
Sungguh…, ALLAH ITU ZAT-NYA, DIRI-NYA, WUJUD-NYA, AKU-NYA Maha Meliputi segala sesuatu…, dari dulu, sekarang, dan yang akan datang…, ABADI liputan-Nya itu.
Huu…, Huuu…, Huuu…, Huu…, Huu…, Huu…, Huu…,
Ilahiii…, Ilahiii…, Ilahiii…, Ilahiii…, Ilahiii…, Ilahiii…, Ilahiii…,
Subhanaka, Subhanaka, Subhanaka, Subhanaka, Subhanaka, Subhanaka, Subhanaka…!!
Laa ilaha illa anta, Laa ilaha illa anta, Laa ilaha illa anta, Laa ilaha illa anta, Laa ilaha illa anta, Laa ilaha illa anta, Laa ilaha illa anta, Laa ilaha illa anta …!!!
Subhanallah
Alhamdulillah,
Laa ilaha illallah,
Allahu Akbar,
Laa haulaa wala quwaata illa billahil adhiem,
Inna lillahi wainnaa ilahi raaju’uun
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa’ala ali Muhammad…

Selesai serial artikel tentang Renkostruksi Berfikir.
DEKA
Cilegon, 17 Agustus 2004, jam 21:15…


0 komentar:

Posting Komentar