Mengisi Cangkir

Ass.W.W
Ust. Abu Sangkan yang saya hormati dan dirahmati Allah, Sudah sekitar 1 bulan yl saya mengikuti pelatihan Shalat Khusyu’ dengan trainer Ust.Yusdeka di Bandung. Pada pelatihan tersebut tidak dibuka forum tanya-jawab.
Saat itu saya memohon kepada EO Shalat Center di Bandung untuk dapat bertanya dan berdiskusi dengan Ust.Yusdeka, tetapi sampai hari ini belum ada jawabannya (barangkali waktunya akan diatur nanti, Wallahu ‘alam).

Melalui mailing list ini, saya pribadi sudah memohon kepada bapak-bapak moderator, email pribadi Ust. Abu Sangkan dan Ust.Yusdeka, tetapi sampai hari ini juga saya belum mendapatkan email tersebut.

Sebenarnya saya ingin berdiskusi secara pribadi, tetapi karena kesempatan ini belum juga terlaksana setelah sekian lama, maka dari itu, pada kesempatan ini saya ingin mengemukakan pendapat dan sekaligus pertanyaan, yang tentunya akan lebih “pas” kalau di jawab oleh Ust. Abu Sangkan sebagai “number 1 person” dalam pelatihan shalat khusyu’.

Dengan segala kerendahan hati, saya akan bertanya, dalam rangka mencari “kebenaran” dalam mendekat kepada Allah SWT. Apabila tidak berkenan, sebelumnya saya mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Sebelumnya, untuk menyamakan persepsi, saya kutip lagi teori LOA secara sederhana, sbb:

Pengertian LOA: ” You attract to your life whatever you give your attention, focus and energy to, whatever wanted or unwanted”.
Kapan LOA berlaku? Jawab: Setiap SAAT/DETIK.
Menurut teori Fisika Quantum, semua hal adalah berupa “kuanta”/energi dgn frekwensi tertentu (Energi ketika sekali terbentuk, tidak dapat hilang, hanya dapat berpindah bentuk). Kuanta/energi ini dapat saling mempengaruhi.Thought is motion energy (yang kita bayangkan, katakan, persepsikan, emosikan, kreasikan, adalah ENERGI yang bergerak, dengan frekwensi tertentu, terkirimkan ke ”alam semesta”= ”ALLAH”), jadi: Manusia adalah sumber energi dengan berbagai frekwensi.
Silahkan lihat kembali buku-buku referensi LOA (bhs Inggris & Indonesia). Yang dalam bahasa Indonesia adalah di Gramedia adalah ’The Secret’ (Byrne Rhonda), ’Law Of Attraction’ (Michael Lossier), “Quatum Ikhlas’ (Erbe Sentanu).

Doa adalah yang kita katakan, emosikan, termasuk motion energy. Dari sini kita ambil ”kesimpulan” bahwa SETIAP SAAT kita juga BERDOA tanpa kita sadari. (Ingat juga, LOA doa ini SETIAP DETIK/SAAT berlaku).

Kembali ke pokok permasalahan.
Ketika saya pribadi mengikuti pelatihan Ust. Yusdeka, beliau memberikan contoh LOA untuk ”urusan duniawi”, yaitu menginginkan rumah, dan alhamdulillah dikatakan, dalam waktu 1 bulan rumah di daerah Cimahi dapat terwujud. (Ust.Yusdeka, maafkan saya ungkapkan hal ini, bukan apa-apa, tapi hanya sekedar contoh VALID untuk memudahkan penjelasan saya nantinya. Sekali lagi mohon maaf kalau saya salah dengar/tangkap saat di pelatihan di Bandung yl).

Akan saya uraikan pelan-pelan di bawah ini, dan secara bijak, kita juga baca pelan-pelan dan resapi prinsip dan pengertiannya.

Ketika itu Ust. Yusdeka, menginginkan rumah, membuat denah detail dan yakin Allah ”sudah” kabulkan doanya, karena bagi Allah, dimensi waktu adalah relatif, adalah sama saja antara waktu SEKARANG dan NANTI. Maka dibayangkan, seolah-olah SUDAH MEMPUNYAI rumah SEKARANG (walaupun secara fisik belum ada rumahnya). Mohon koreksi Ust. Yusdek kalau saya salah. Menurut saya, ini adalah 100% aplikasi LOA. Sayapun secara prinsip juga melakukan hal ini selama 2 tahun terakhir. (Harapan saya, yang Ust. Abu Sangkan juga melakukan serupa, walaupun secara pribadi saya belum pernah mengikuti pelatihan Ust. Abu Sangkan).

Jadi, prinsipnya KITA mengakui KEBENARAN (validitas) teori LOA untuk urusan DUNIAWI

Berikut ini adalah HAL-HAL DETAIL yang dilakukan untuk mencapai sesuatu dengan aplikasi LOA:

GOAL A : Ingin punya Rumah (duniawi) – Contoh Ust.Yusdeka

Tindakan ”fisik” : Kerja keras.
Tindakan ”pikiran” : Memvisualkan denah rumah.
Tindakan ”perasan”: Merasakan seolah-olah rumah sudah terjadi dan menjadi milik Ust.Yusdeka.
Kesimpulan Frekwensi ”LOA”: RUMAH (yaitu yang DETAIL DIBAYANGKAN dan DIRASAKAN)

GOAL B : Ingin punya Mobil (duniawi) – Contoh orang lain..

Tindakan ”fisik” : Kerja keras dalam bisnis.
Tindakan ”pikiran” : Memvisualkan bentuk dan model mobil.
Tindakan ”perasan”: Merasakan seolah-olah kita nyetir dan masuk mobil.
Kesimpulan Frekwensi ”LOA”: MOBIL (yaitu yang DETAIL DIBAYANGKAN dan
DIRASAKAN)

GOAL C : Ingin menjadi Manager (duniawi) – Contoh orang lain..

Tindakan ”fisik” : Kerja keras di kantor.
Tindakan ”pikiran” : Memvisualkan menjadi seorang manager.
Tindakan ”perasan”: Merasakan seolah-olah kita sudah menjadi manager.
Kesimpulan Frekwensi ”LOA”: MANAGER (yaitu yang DETAIL DIBAYANGKAN dan DIRASAKAN).


Hal serupa, kita lihat apa-apa yang saya tangkap ketika saya ikuti pelatihan Ust. Yusdeka

GOAL D : Ingin menggapai ridho Allah – Versi Shalat Khusyu’

Tindakan ”fisik” : Takwa (mengikuti petunjuk Qur’an & Hadist)

Tindakan ”pikiran” : Memvisualkan ”ruang maha luas”, ”ruang maha hening” (seluas APA juga TIDAK BEGITU DETAIL, seluas alam semesta?, seluas langit dan bumi?) (MOHON KOREKSI KALAU SAYA SALAH PERSEPSI).Tindakan ”perasan”: Merasakan seolah-olah SEMUANYA perasaan yang menghimpit
menjadi LEPAS dari DADA (Dada kiri atau kanan, TIDAK JELAS/DETAIL), sadari kehadiran Allah (TEPATnya DI SEBELAH MANA kehadiran Allah JUGA TIDAK DETAIL). Mohon dituntun Allah (dituntunnya juga dituntun apa, TIDAK DETAIL) (MOHON KOREKSI KALAU SAYA SALAH PERSEPSI).

Kesimpulan Frekwensi ”LOA”: RUANG MAHA LUAS, LEPAS, ALLAH (yaitu yang DIBAYANGKAN dan DIRASAKAN). Tapi disini JUSTRU TIDAK BEGITU DETAIL, kemungkinan ”besar” bisa meleset ”bukan” ke Allah.

Pada GOAL D ini, ada satu hal yang ”mengganjal” pada diri saya, yaitu TINDAKAN PIKIRAN ”RUANG YANG MAHA LUAS, LEPAS”, apakah ini benar-benar frekwensi LOA kepada Allah? (Ada percampuran antara perasaan/kesadaran akan adanya Allah dan “Ruang Maha luas”).

Apalagi GOAL D TIDAK DETAIL dibayangkan/dirasakan, tentu saja sangat wajar kalau saya yang baru belajar ini mengatakan, bahwa frekwensi yang dihasilkan BISA MELENCENG, karena TIDAK BEGITU DETAIL…… (sangat jauh berbeda dengan doa untuk rumah, karier, mobil dll YANG JUSTRU SANGAT DETAIL). Dengan kata lain, doa kita “sulit” sampai ke hadirat Allah, bila TIDAK DETAIL.
Saya berharap Ust. Abu Sangkan mengerti apa-apa yang saya pahami ini…………….

Kalaupun GOAL D, “semuanya” terserah Allah, secara TEKNOLOGIS, ini juga kurang masuk akal. Seperti halnya pada GOAL A, Ust. Yusdeka, ingin RUMAH, terserah Allah saja, rumah dimana, rumah sebesar apa, rumah dengan denah seperti apa, semua terserah ridho Allah...? (Tapi, nyatanya Ust. Yusdeka TIDAK SEPERTI INI. Malah DETAIL SEKALI, TIDAK TERSERAH Allah).

Padahal MODAL DASAR manusia adalah SAMA (memvisualkan, membayangkan, mengemoisikan), jadi mustinya adalah SAMA antara PROSEDUR doa duniawi dan ukhrawi, tapi KENYATAANNYA, menurut pelatihan shalat khusyu’, keduanya BERBEDA........(Ini membuat saya yang ”masih belajar” menjadi ”ragu” tentang metoda shalat khusyu’ Ust. Abu Sangkan. Mohon maaf atas keterusterangan saya ini)

Kalaupun mohon kepada Allah YME, ”terserah/ridho” Allah (dituntun dsb), ini sangat mungkin kalau maqam kita SUDAH CUKUP tinggi (sekitar maqam zuhud, ikhas dan ridho), artinya sudah benar-benar dalam ”track Allah”. Tapi kalau MASIH DALAM TAHAP ”belajar”/”banyak dosa” (maqam masih rendah), saya pribadi mempunyai pendapat, hal ini ”SULIT” tercapai.

Yang terhormat Ustad Abu Sangkan, mohon koreksinya dan penjelasan detail pada “GOAL D” ini kalau saya salah persepsi......

Mohon maaf kalau pertanyaan saya tidak berkenan. Saya hanya menguraikan secara logis. Kenyataan, jaman sekarang, jaman teknologis ini, jika jawabannya hanya IMAN (ya, pokoknya PERCAYA saja lah.......), saya kira pikiran bawah sadar sebagian umat TIDAK bisa menerima begitu saja DOKTRIN ini.Seperti halnya ”korupsi itu dosa, tetapi tetap saja orang banyak yang korupsi”. Doktrin ”jangan korupsi/korupsi itu dosa” ternyata ”tidak mempan”, bukan?

Tentu saja seorang Ustad modern mampu menjelaskan secara teknologis, sesuai dengan jamannya, bukan begitu Pak Ustad? Sekali lagi mohon maaf atas keterusterangan saya (”kebenaran” kasus korupsi yang terjadi di negara kita).

Mohon kesediaan uraian Pak Ustad Abu Sangkan yang saya yakin sangat luas pengetahuannya, sebagai Ustad ternama di Indonesia, pengarang buku ternama dan trainer pelatihan shalat khusyu’. Sekitar 5000 anggota Maillist ini akan menunggu jawaban pak Ust.Abu Sangkan sebagai Ustad yang paling berkompeten untuk menguraikannya.

Sekali lagi, saya mohon maaf atas pertanyaan-pertanyaan ini, karena bermula tidak adanya forum tanya-jawab saat pelatihan shalat khusyu’, dan hal-hal yang telah saya sebutkan pada bagian-bagian awal tulisan ini.

Semoga Ust. Abu Sangkan senantiasa mendapatkan bimbingan dan hidayah Allah.

WassWW,
Adhi Susilo




Ass wr wb.

Yth Pak Adhi Susilo…

Saat mau mengadakan pelatihan di Bandung tanggal 16 September 2007 yang lalu, saya diberi tahu oleh Pak Eppy dari Shalat Center Bandung, bahwa nanti akan ada seorang Master NLP, Master LOA, dan Trainer dari berbagai pelatihan yang juga mau ikut. Saya bilang kepada Pak Eppy: “Ya monggo aja, mudah-mudahan pelatihan itu nanti ada manfaatnya bagi Beliau”. Belakangan saya baru tahu bahwa orang itu adalah Pak Adhi Susilo yang dahsyat.

Dari berbagai artikel Pak Adhi di milis Dzikrullah, saya melihat betul kepakaran Pak Adhi itu, terutama dalam hal serba-serbi ber-LOA. Untuk itu saya ucapkan salut dan penghargaan saya.

Tapi berhubung email Pak Adhi: “LOA Kepada Allah – Pertanyaan ke Ust. ABU SANGKAN” yang mempertanyakan apa-apa yang telah saya sampaikan di Bandung saat
pelatihan itu, saya agak terpanggil juga untuk menjawabnya. Walau pertanyaan itu bukan ditujukan kepada saya. Namun saya tidak akan mengambil posisi sebagai wakilnya Ust. Abu Sangkan dalam jawaban saya ini, tapi saya ingin menanggapinya sebagai pribadi Deka. Karena dalam hal ini yang ditanyakan adalah beberapa materi saya dalam training tersebut.

Dari model pertanyaan yang Pak Adhi sampaikan kepada Ust Abu Sangkan, yaitu ingin menarik kesimpulan Ust Abu Sangkan kepada apa-apa yang Pak Adhi pahami, saya jadi teringat pada sebuah buku saku kecil yang merupakan salah satu buku terfavorit saya, berjudul “Zen in the Martial Arts” yang dulu saya beli di tahun 1994 saat saya kuliah di New Mexico, USA. Buku kecil tersebut bercerita serba serbi tentang bagaimana Bruce Lee, seorang legenda kungfu, saat dia pertama kali menemui gurunya untuk belajar ilmu.

Saat dia bertemu dengan gurunya itu dan mulai bertanya dengan semangat 45 tentang ilmu Kungfu, Sang Guru menjawabnya hanya dengan berkali-kali menuangkan air dari sebuah teko kecil yang berisikan teh ke dalam sebuah cangkir kecil yang sudah penuh berisi air teh pula. Berkali-kali Bruce Lee menanyakan ilmu yang ingin dia dapatkan, jawaban Sang Guru juga berkali-kali hanyalah dalam bentuk gerak menuangkan kembali air teh ke dalam cangkir yang sudah penuh itu, sehingga air teh itupun tumpah ruah meluber kemana-mana, membasahi meja kecil di depan mereka berdua. Begitulah, setiap kali ditanya oleh sang calon murid, Bruce Lee, Sang Guru tersebut kembali hanya menumpahkan air ke dalam cangkir yang sudah penuh itu. Lagi…, lagi…, dan lagi…, begitulah yang terjadi berulang kali.

Dipuncak kepenasarannya, sang murid bertanya dengan rasa dongkolnya yang pekat:
“Guru…, saya datang kesini untuk belajar ilmu, akan tetapi setiap pertanyaan yang saya ajukan, guru hanya menjawabnya dengan menuangkan air ke dalam cangkir yang sudah penuh itu sehingga air tersebut tumpah kemana-mana. Kenapa guru…?”.

Sang Guru tersenyum renyah memandang tepat ke mata sang Murid. Lalu dengan lembut dia berkata kepada murid kecilnya itu:“Bagaimana saya akan mulai mengajarimu nak, sedang kamu datang kepadaku dengan kondisi dada dan otakmu yang sudah penuh dengan ilmumu yang memang sudah hebat. Setiap yang kuajarkan nanti, pastilah akan meloncat keluar lagi dari dalam dada dan otakmu itu, karena kau datang dengan sudah membawa segudang pola rasa dan pikiranmu sendiri nak…. Apapun yang akan kuajarkan nanti, maka kau akan membandingkannya dengan rasa dan isi otakmu yang sudah ada itu. Lalu buat apa aku mengajarimu sesuatu yang baru lagi kalau kau toh hanya akan kembali bertahan dengan isi otakmu yang sudah ada itu…?”.

Sang murid termangu mencerna wejangan gurunya itu. Dan dengan agak kemalu-maluan, sang murid menjawab: “Benar guru…, saya tadinya datang kepada guru dengan NIAT untuk memantapkan ilmu-ilmu yang sudah ada di dada dan di otak saya selama ini. Saya hanya berfikir bahwa saya, yang selama ini sudah merasa hebat, hanya butuh sedikit
sentuhan akhir saja dari guru untuk mematangkan ilmu-ilmu saya ini”.

Sang Guru dalam kelembutan tutur kata dan wajahnya yang teduh menimpalinya:
“Disitulah masalahnya nak…, apapun yang akan kuajarkan nanti pastilah akan kau tarik ke dalam persepsimu sendiri, sehingga kau tidak akan pernah bias berkembang lebih dari apa yang kau punya sekarang ini. Ilmu-ilmu yang kusampaikan akan kau lelehkan kembali tanpa kau sadari. Karena otak dan dadamu memang sudah kau persiapkan untuk tidak bisa lagi diisi dengan ilmu-ilmu yang lain dari apa yang kau punya saat ini. Setiap jawabanku atas pertanyaan-pertanyaanmu, nantinya kau juga akan menggiringku agar aku menjawabnya seirama dengan isi otakmu itu. Tepatnya, ilmu-ilmuku yang kuajarkan
kepadamu dalam kondisi otak dan dadamu masih penuh seperti itu akan luber, melimpah-ruah, keluar dari dada dan otakmu seperti melimpahnya air teh dari cangkir yang sudah penuh itu tadi. Lalu apa lagi yang bisa kuajarkan kepadamu nak…?.

Dengan termangu-mangu sang murid pun berkata perlahan: “Lalu apa yang harus saya lakukan Guru…?.
Sang Guru tidak langsung menjawabnya dengan kata-kata. Dia hanya menumpahkan isi cangkir yang sudah penuh itu tadi sampai habis kedalam sebuah pot tanaman yang ada di dekat mereka duduk, sehingga cangkir itupun kosong. Sang Guru lalu mengisi cangkir yang sudah kosong itu dengan perlahan sampai penuh. Begitu penuh, Sang Guru kemudian kembali menumpahkan isi cangkir itu ke dalam pot tanaman tadi untuk kemudian dia isi lagi dengan air teh dari teko bulat sebesar buah semangka di depannya. Penuh-kosong…, penuh-kosong…, penuh-kosong…!.
Begitulah Sang Guru selalu membuang air dari cangkir yang sudah diisinya itu sampai habis dan kemudian beliau mengisi cangkir itu kembali sampai penuh dari teko yang dipegangnya dengan tangan kanannya. Sampai suatu saat teko itupun kehabisan air. Air terakhir yang berada didalam cangkir kecil itupun kemudian ditumpahkan pula oleh Sang Guru, sehingga teko dan cangkirpun dua-duanya menjadi kosong.
“Sekarang…, apa yang kau pahami nak…?”, tanya Sang Guru.
“Aaa…, saya sekarang jadi paham Guru…, saat saya datang kepada Guru dalam keadaan dada dan otak saya penuh dengan ilmu yang ada pada saya selama ini, maka ilmu yang akan Guru sampaikan kepada saya akan sama halnya dengan air teh yang luber saat Guru mengisi cangkir kecil yang penuh dengan air teh itu tadi. Diisi bagaimana pun juga air itu akan meluber tak ada gunanya. Akan tetapi, saat saya mau mengosongkan dada dan otak saya dari ilmu masa lalu, persepsi masa lalu, rasa masa lalu, maka saat itulah sebenarnya saya menjadi sebuah wadah yang siap untuk Guru isi dengan ilmu apapun yang Guru punyai”, jawab sang murid dengan penuh semangat.“Lalu apa lagi yang kau pahami Nak…?”, tanya Sang Guru dengan mata berbinar.

“Guru, begitu saya siap untuk Guru tuangi dengan ilmu dari Guru, maka sebenarnya Gurupun saat itu sedang dalam proses mengosongkan otak dan dada Guru pula dari kepemilikan dan keterikatan Guru dengan ilmu yang Guru punyai saat ini. Dan…, saat itu juga Guru sebenarnya sedang dalam proses siap pula untuk menerima ilmu dari Sang Punya Ilmu, Sang Maha Guru…!. Ya…, ya…, saya sekarang paham Guru”, kata sang murid pula dengan nada gembira…

Sebagai jawabannya, Sang Guru hanya menyeruput seteguk teh hijau di depannya sambil tersenyum.
“Kalau begitu Guru…, tolong ajari saya kembali sejak mulai dari posisi kuda-kuda, dan sikap-sikap dasar lainnya. Saya akan lupakan ilmu-ilmu saya yang lalu itu…, saya siap Guru. Sekarang juga…!”, pinta sang murid dengan penuh semangat.

Tak berapa lama kemudian, terjadilah proses kosong-isi-kosong-isi-kosong alias proses pertukaran ilmu yang sangat intents antara Sang Guru tersebut dengan muridnya. Lalu akhirnya duniapun mencatat di dalam lembaran sejarahnya, bahwa pernah hidup seorang jawara Kung Fu, Jet Kun Do yang sangat tersohor bernama Bruce Lee…



Ah…
Tiba-tiba saya seperti diingatkan kembali dengan pertanyaan-pertanyaan Pak Adhi dalam email di atas. Berikut ini adalah ulasan singkat saya terhadap email itu.

Dalam berbagai pelatihan yang saya adakan memang saya tidak membuka sesi tanya jawab. Karena biasanya setiap pertanyaan akan merusak suasana yang sudah mulai muncul saat latihan itu. Kalau bertanya di luar secara pribadi sih sangat-sangat boleh lho Pak Adhi.

Tentang LOA, sedikit banyaknya sudah saya bahas dalam artikel saya: IBLIS pun ber-LOA. Jadi silahkan baca juga artikel tersebut.

Dengan model persepsi Pak Adhi yang begitu, maka saya bisa pastikan bahwa persepsi saya tidak sama dengan persepsi Pak Adhi, terutama tentang “arah atau alamat” saya menyampaikan semua permintaan yang tiba-tiba mengaliri dada saya.Saya menyampaikannya bukan ke Alam Semesta, tapi saya serahkan kepada Allah sayayang sangat-sangat dekat dengan saya. Karena memang Dialah yang mengaliri dadasaya tentang apa-apa yang harus saya mintakan kepada-Nya, dan permintaan itulah yang saya sampaikan kembali kepada-Nya.

Mari saya ceritakan prosesnya sedikit.
Saya sudah membeli tanah di Cimahi itu sejak tahun 1990 lalu dengan harga yang sangat murah sekali. Selama ini terpikir pun tidak oleh saya untuk membangun rumah di Cimahi itu. Sampai tahun 2007 awal, tanah itu masih tetap seperti sediakala dan atas nama orang lain pula. Hampir 15 tahun lamanya tanah itu hanya dalam bentuk kebun singkong saja. Pernah memang ada yang menyuruh saya untuk membangun rumah di tanah itu. Tapi saat saya amati dada saya, tidak ada gerak atau kehendak sedikit pun muncul di dalamnya untuk membangun rumah tersebut.

Suatu saat, diakhir tahun 2006, sesudah shalat magrib berjamaah berdua dengan istri saya, kami duduk rileks di sofa. Entah kenapa, tiba-tiba saya menyampaikan kepada istri saya, “Mah…, kita akan bangun rumah di Cimahi segera.Siap-siaplah”. Istri saya kaget, termasuk saya sendiri. Dan sejak itu mulailah ada sebuah kehendak yang tertahankan yang muncul di dalam dada saya dan istri saya untuk mewujudkan rumah tersebut. Saya siapkan gambarnya dengan detail. Saya urus balik nama sertifikatnya yang sebelumnya masih atas nama orang lain.

Setelah semua itu siap. Barulah saya melakukan proses berdo’a atau proses pengembalian. Bahwa kehendak yang telah terlebih dulu dialirkan oleh Allah ke dalam dada saya untuk bisa memiliki rumah itu, kemudian saya kembalikan lagi kepada-Nya.

Saya hadapkan wajah saya kepada Wajah-Nya. Lalu saya sampaikan:
“Ini lho ya Allah…, terjemahan dan pemahaman saya atas aliran kehendak-Mu yang telah Engkau masukkan ke dalam dada saya agar saya bisa memiliki rumah di Cimahi. Mohon Engkau kabulkan permintaan saya ini dengan Pikiran-Mu Sendiri ya Allah.Saya ikut saja apa-apa yang Engkau pikirkan itu. Engkaulah yang yang berhak mengatur cara-cara mewujudkannya sehingga rumah tersebut bisa kami tempati pada akhir bulan Desember 2007…”.

Untuk beberapa lama, setelah menyampaikan do’a tersebut, saya berada dalam keheningan yang amat sangat. Dan saya tidak mau mengganggu keheningan itu sedikit pun.

Tak berapa lama kemudian, saya seperti didorong-Nya untuk menyampaikan rasa terima kasih saya saat itu juga kepada Diri-Nya Yang Maha Agung. Tubuh saya disujudkan-Nya, dada saya didorong-Nya, lidah saya didorong-Nya, suara saya didorong-Nya, pita suara saya digetarkan-Nya, sehingga keluarlah ucapan:

“alhamdulillah”… beberapa kali. Dia mendorong saya agar saya sungkem dan sujud kepada-Nya, agar saya berterima kasih kepada-Nya.Lalu saya teguhkan…, “Terima kasih ya Allah Engkau telah berkenan untuk mewujudkannya”. Semakin saya berterima kasih kepada-Nya, maka dada saya semakinmenjadi lapang, hati saya merasa semakin gembira. Semua rasa kelapangan dan kegembiraan itu seperti mengalir begitu saja dengan derasnya kedalam dada saya.

Dan tidak berapa lama kemudian, tiba-tiba saja batu pertama rumah tersebut sudah ditanamkan, dan proses pewujudan rumah itupun seperti terus mengalir sampai sekarang. Alhamdulillah atapnya sudah dipasang setelah Lebaran kemaren.

Nah…, selama proses diatas tidak ada sedikit pun perhatian saya kepada energi, kepada alam semesta, bahkan kepada permintaan saya itu sendiri. Dan saya pun tidak merasa sebagai sumber energi sedikit pun. Karena yang saya sampaikan atau kembalikan kepada Allah dalam bentuk do’a itu hanyalah apa-apa yang sudah dialirkan-Nya ke dalam dada saya sebelumnya.

Dan sayapun tidak perlu pula memaksa-maksakan diri saya untuk bisa merasa gembira dengan cara membayangkan saya telah punya rumah itu. Saya hanya merasa seperti menerima begitu saja aliran rasa bahagia itu yang memasuki dada saya dengan sangat derasnya. Gembira yang tidak menimbulkan emosi.

Yang terpenting sebenarnya adalah bahwa, proses diatas itu telah membuat saya semakin YAKIN, BERIMAN, bahwa saya ternyata benar-benar punya Tuhan yang akan selalu saya sembah dan sujudi.

Ya…, yang muncul malah rasa IMAN saya kepada Allah. Maka sayapun lalu semakin sungkem, semakin merendah kepada-Nya. Karena memang ternyata Dia Sendirilah Sang Maha Muwujudkan Kehendak-Nya.

Sedangkan iblis dalam ber LOA (baca jugalah artikel saya “IBLIS pun ber-LOA”), karena dia datang ke Allah dengan membawa keinginannya sendiri yang merasa bahwa dia lebih baik dari Adam, maka yang muncul kemudian adalah keangkuhannya. Dan kesombongannya itu tetap bertahan sepanjang masa. Si Iblis tidak akan pernah bisa untuk patuh, menyembah, dan menyungkur kepada Allah, walau Allah sendiri telah mengabulkan permintaannya.

Apakah Byrne Rhonda (pemasar ’The Secret) dan Michael Lossier (pemasar ’Law Of Attraction), setelah mendapatkan apa-apa yang mereka inginkan dalam ber-LOA itu, lalu mereka menjadi orang beriman, patuh, menyembah, dan menyungkur pula kepada Tuhan atau tidak, saya sungguh tidak tahu.



Kalau Byrne dan Michael mereka tidak beriman, maka saya tidak akan kaget sedikit pun, karena memang apa yang mereka pasarkan itu hanyalah salah satu bentuk hukum Tuhan yang sama dengan hukum-hukum Tuhan yang lainnya, misalnya Hukum Gravitasi Bumi (HGB). Setahu saya, saat memasarkan HGBnya itu, Isac Newton pun tidak serta merta berubah menjadi orang yang tunduk, menyungkur, dan menyembah kepada Tuhan, walau boleh jadi pada relung hati Beliau mulai tumbuh rasa untuk percaya kepada Tuhan.

Kalau tidak hati-hati, memakai LOA dengan model pemahaman seperti Byrne dan Micheal ini, maka siap-siaplah untuk merasakan semakin mengentalnya ego atau emosi kita. Kita akan semakin egois. Emosi kita akan semakin kuat. Kita akan meminta terus kepada Allah tanpa henti-hentinya. Lalu kita merasa bisa mewujudkan apapun juga keinginan kita. Kita menganggap bahwa kitalah yang engatur-atur dan menyuruh-nyuruh Tuhan untuk mewujudkan apapun kehendak kita.Ya..., kita merasa bisa memerintahkan Tuhan untuk melaksanakan kehendak kita eperti halnya juga Aladin, dalam kisah 1001 malam, berhasil memerintahkan JIN penghuni Lampu Ajaib sesuka hatinya untuk memenuhi segala permintaannya.

Kalau begitu, bagaimana jadinya kalau ada lima orang yang sama-sama ingin jadi Presiden mengajukan do’a yang sama kepada Allah agar dia masing-masing bisa menjadi Presiden, misalnya di ”Republik Mimpi” ini. Do’a itupun mereka sampaikan dengan kekhusyukan yang sama dan didepan Ka’bah pula?. Andaikan mereka semua juga yakin do’a mereka itu dikabulkan oleh Tuhan, kira-kira yang akan dikabulkan Tuhan siapa ya?.

Nah..., silahkanlah para pembaca sendiri melihat dengan jernih, apakah materi pelatihan shalat khusyu itu identik dengan LOA model Byrne dan Micheal atau bukan?. Resapilah sampai dapat...

Itulah ulasan saya yang pertama untuk membahas GOAL A, B, C (versi Pak Adhi) yang merupakan GOAL serba duniawi.

Sedangkan ulasan saya yang kedua, mengenai GOAL D (versi Pak Adhi): Ingin menggapai ridho Allah – Versi Shalat Khusyu’, dapat pula saya sampaikan seperti berikut ini:

Membaca hasil tangkapan Pak Adhi terhadap materi pelatihan yang saya berikan, saya tidak bisa untuk tidak tersenyum. Sangat kentara sekali bagi saya, bahwa Pak Adhi tidak bisa lepas sedikitpun dari bayang-bayang pemikiran Byrne Rhonda ataupun Michael Lossier. Seperti halnya Bruce Lee saat ingin dilatih pertama kali oleh Gurunya, Pak Adhi ternyata masih tetap membawa-bawa pemikiran mereka berdua itu untuk memahami materi pelatihan yang akan saya berikan. Sehingga sangat mudah ditebak, bahwa Pak Adhi akan menjadi kebingunan sendiri jadinya.

Betapa tidak...

Untuk memahami hal-hal yang berkenaan dengan Tuhan di satu sisi, dan hal-hal yang berkenaan dengan benda-benda di sisi lain, Pak Adhi masih tetap memakai alat, cara, dan metoda yang sama. Yaitu dengan cara memvisualkan, membayangkan, dan mengemosikan Tuhan seperti juga memvisualkan, membayangkan, dan mengemosikan benda-benda. Kalau benda-benda masih bisalah divisualkan, dibayangkan, dan diemosikan. Lalu bagaimana caranya kita bisa untuk memvisualkan, membayangkan, dan mengemosikan Tuhan ?.

Saat kita ingin memvisualkan Tuhan, maka Dia segera mengingatkan kita bahwa ”Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata...”, (Al An’aam 103).

Saat kita ingin membayangkan Tuhan, maka Dia pun mengingatkan kita bahwa Dia adalah Sang ”...laisa kamitslihi syai’un... tidak ada satupun serupa dengan Dia”, (Asy Syura 11).

Saat kita ingin mencoba merasakan Tuhan dengan emosi kita, maka yang muncul malah rasa azab, rasa mati, rasa sakit, ataupun rasa rahmat, rasa senang, rasa bahagia, dan sebagainya (Al Qur’an diberbagai ayat). Karena memang rasa-rasa seperti itulah yang bisa kita rasakan. Kalau kita hanya mencari Tuhan melalui rasa ini, maka begitu rasa itu kita dapatkan, maka Tuhan pun pastilah akan terlupakan. Karena kita akan menjadi sibuk dengan segala rasa itu tadi. Apa saja lalu dirasa-rasa. Jadilah kita mabok rasa.

Nah..., Nabi Musa saja digambarkan dalam Al Qur’an sebagai PINGSAN saat dia ingin mengenal Tuhan. Walaupun pingsan, tapi kok Beliau kemudian bisa berkata: "...Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman", Al A’raaf 143). Berarti Beliau berhasil ”melihat” Tuhan
dengan pingsannya itu.

Maknanya apa.?. Bahwa ternyata untuk mengenal Tuhan janganlah gunakan mata, janganlah gunakan bayangan, janganlah gunakan telinga, janganlah gunakan rasa kita. Tinggal DERR... saja sebenarnya.

Karena Dia Sangatlah Dekat,
Lebih dekat dari urat leher kita,
Kemanapun menghadap kita akan menjupai Wajah-Nya,
Karena Dia Maha Meliputi Segala Sesuatu.

Karena dalam pikiran Pak Adhi yang ada adalah visualisasi, maka saat saya mengajak Pak Adhi untuk ’menjalankan kesadaran’ pak Adhi menuju Ruang Tak Terbatas, Maha Luas, maka pak Adhi malah membayangkan ruang tanpa batas. Begitu Pak Adhi mencoba membayangkannya, maka pastilah Pak Adhi akan berhenti pada apa yang pernah pak Adhi ketahui. Pasti Pak Adhi akan terhenti. Pak Adhi akan bertanya seluas apa?. Karena Pak Adhi masih punya file bahwa yang disebut luas itu adalah seperti A..., B..., dsb. Kalau masih ada A, B, dan sebagainya, maka itu namanya masih ada batasnya. Belumlah Maha Luas, Maha Tak Terbatas.

Dalam pelatihan saya, saya tidak pernah menyampaikan bahwa RUANG MAHA LUAS, LEPAS itu adalah ALLAH. Itu hanya pemahaman Pak Adhi saja yang memang nampaknya masih sangat kuat berada dibawah bayang-bayang teori LOA ala Byrne Rhonda dan Michael Lossier yang kemudian diaminkan pula oleh Mas Erbe Sentanu (dengan menambah beberapa ayat-ayat Al Qur’an dan Hadist didalamnya), sehingga didalam kesadaran Pak Adhi pun kemudian muncul dualitas yang sulit untuk Pak Adhi pahami, seperti ada percampuran antara "perasaan/kesadaran akan adanya Allah" dan "Ruang Maha Luas".

Lhaa..., Allah kok ruang maha luas ? Allah kok alam semesta ?.



Makanya Islam melarang keras umatnya untuk berbuat SYIRIK. Saat menyebut Nama Allah kita dilarang keras untuk menghentikan kesadaran kita pada sesuatu yang masih bisa dibayangkan, divisualkan, didengarkan, dirasakan, dan diemosikan. Sebab kalau tidak dilarang, maka nantinya yang kita maksud dengan Allah itu pastilah hanya SEBATAS apa-apa yang kita visualkan, dengarkan, rasakan, dan emosikan itu. Kecil sekali Allah kalau begitu. Inilah makna SYIRIK yang sebenarnya, yang tidak banyak diketahui orang.

Oleh sebab itu, dalam pelatihan itu, saya hanya mengajak peserta menjalankan kesadaran (mi’raj) mereka melampaui dirinya sendiri, melampaui alam-alam yang masih bisa dibayangkan. Pokoknya jalankan saja, jangan bayangkan, jangan visualkan, jangan rasakan. Proses melampaui segala sesuatu itu yang saya istilahkan dengan proses menghilangkan BINDING kesadaran kita kepada apa-apa yang selama ini menggandoli kesadaran kita seperti isi pikiran kita, diri kita sendiri, rasa kita, harta kita, anak kita, bahkan tidak terkecuali juga berbagai berbentuk bunyi-bunyian dan nada atau irama tertentu. Inilah yang saya sebut sebagai proses kesadaran menuju makna ”laa ilaha illallah”. Proses masuk ke Ruang Spiritual...

LAA ILAHA ILLALLAH, adalah sebuah proses perjalanan atau pergerakan kesadaran kita, sekali lagi proses perjalanan atau pergerakan kesadaran kita, dari berbagai atribut yang masih bisa divisualkan, dibayangkan, didengarkan, dibahas, dipersepsikan, dan diemosikan, menuju suatu WUJUD TUNGGAL YANG MAHA MELIPUTI semua yang bisa divisualkan, dibayangkan, didengarkan, dibahas, dipersepsikan,
dan diemosikan itu. KOSONG. Dan pada Wujud Yang Kosong itulah ADA AKU-NYA ALLAH.Jadi yang kosong itu sendiri bukanlah ALLAH.

Jadi proses menuju kekosongan, laa ilaha..., NAFI (menafikan apapun juga)...,ini sebenarnya sangat-sangat bisa dilakukan oleh siapapun juga. Para meditator banyak pula yang mampu menyadari akan adanya kekosongan yang amat sangat yang meliputi segala sesuatu dijagad raya ini. Para ilmuan yang mengaku atheis pun sudah lama mampu menyadari akan adanya kekosongan ini. Mereka sadar betul bahwa dalam tingkat kolosal, antara galaksi yang satu dengan galaksi yang lainnya dihubungkan oleh kekosongan yang amat pekat. Sedangkan dalam dunia mikro, para ilmuan juga sangat sadar betul bahwa antara satu sel dengan sel yang lain, antara satu atom dengan atom yang lain, antara elektron dengan proton, antara atribut super kecil yang satu dengan atribut super kecil lainnya, diisi dengan kekosongan yang amat dahsyat. Ya..., semua tahu bahwa Di Ujung Materi (termasuk cahaya dengan berbagai panjang gelombang), ternyata ada Yang Non Materi yang tak terdefinisikan, KOSONG.

Tidak hanya kosong, bahkan selanjutnya, sudah sangat banyak juga orang yang tahu bahwa pada kekosongan itu ternyata ada DAYA yang sedang berkerja untuk membuat segala materi BERGERAK pada garis edarnya (manzilah-manzilah). Kemudian ada yang menamakan daya itu dengan daya lemah, daya kuat, daya elektromagnetik, ada daya...., daya..., daya..., GETARAN...!.

Tapi sayangnya semua pengetahuan kita tentang realitas kekosongan dan daya-daya itu, tidak serta merta membuat kita mampu menyadari adanya ALLAH. Kita hanya termangu-mangu mengamati kekosongan itu di satu sisi dan sibuk dengan daya-daya atau getaran itu di sisi lainnya.

Padahal, kita tinggal duduk saja di dalam kekosongan itu untuk menemukan ADA AKU-NYA ALLAH. ILLALLAH..., KECUALI ALLAH. Bahwa didalam ”ketiadaan” penglihatan kita, persepsi kita, pendengaran kita, dan perasaan atau emosi kita, siap-siaplah kita untuk menemukan realitas ADA-NYA ALLAH. Kita dituntun sendirioleh Allah untuk MENGISBATKAN Allah sendiri. Penglihatan kita dituntun-Nya,
pendengaran kita dituntun-Nya, persepsi kita dituntun-Nya, perasaan atau emosi kita dituntun-Nya selangkah demi selangkah untuk untuk menemukan SANG AKU. Sang Pembuat Daya.

Kalau tidak DIA sendiri yang menuntun kita untuk menemukan Realitas Diri-Nya, maka sungguh kita umat manusia ini hanya bisa menduga-duga saja tentang kekosongan dan semua daya-daya yang tak terbatas itu.

Untuk sementara kita berhenti dulu disini, untuk kemudian melihat berbagai kemungkinan sikap orang dalam menyikapi Kekosongan dan daya-daya ini, antara lain adalah:

Ada yang masih mencari-cari kekosongan ini dengan mata dan telinganya, sehingga dia pun sibuk mencari dan mencari berlama-lama. Karena saat kita mencari yang kosong, eh... malah yang ketemu adalah berbagai materi. Karena mata dan telinga kita memang bisanya hanyalah untuk menggapai yang serba materi. Ada pula yang melongo saja nggak tahu mau ngapain. Karena dia sibuk mencari kekosongan itu dengan pikirannya. Lha..., mau dipikirkan bagaimana, wong kosong begini. Makanya jadinya melongo terus.

Ada yang sudah mulai bertanya-tanya: ”Apa ini yang kosong ini...?”. ”Mau diapain yang kosong ini ?”. Eee..., semakin ditanya malah semakin tidak jelas pula jawabannya. Bagaimana caranya untuk menjelaskan dan menerangkan kekosongan?.

Ada yang merasa bahwa yang kosong itu adalah dirinya sendiri. Disitu tidak ada siapa-siapa, kecuali dirinya sendiri. Kemana pun menghadap dia hanya ”melihat” dirinya sendiri. Kosong. Sehingga saat dia mau menyembah, dia seperti menyembah pada dirinya sendiri. Pada posisi seperti ini, disuruh shalat bagaimana pun juga dia tidak akan mau. Karena saat shalat itu dia seperti memuja kepada dirinya sendiri. ”Masak jeruk makan jeruk”, katanya. Sehingga tidak jarang pula timbul ungkapan-ungkapan kebingung, seperti yang sangat populer adalah ”...saya adalah Tuhan, ana Al Haq, Ana Allah...!!!”.

Lhaa..., kok jadi menakutkan begitu...?. Ya..., begitulah kalau kita tidak punya peta dalam perjalanan kesadaran kita.

Nah..., Muhammad SAW telah berhasil mewariskan peta itu buat seluruh umat manusia, berupa Al Qur’an. Kemudian segala lika-liku Beliau dalam menjalani dan empraktekkan Al Qur’an itu kemudian dibukukan orang pula dalam kumpulan Al Hadist.



Jadi islam itu mulai dari mana..?
Islam itu baru mulai kalau kita sudah menemukan realitas laa ilaha illallah..., realitas Ruang Spiritual. Kalau kesadaran kita sudah bisa bergerak dari wujud yang tadinya serba materi menuju kepada wujud yang bukan materi lagi, KOSONG, maka disitulah agama ISLAM itu baru bisa DIMULAI. YA..., BARU DIMULAI...!. Mulai Di Ruang Spiritual.

Sebab kalau tidak, ketika kita menyebut nama Allah dan pada saat yang sama kesadaran kita masih berada pada wujud yang serba materi, maka hakikinya, sebenarnya materi itu sendirilah Allah kita. Dan kalau kita masih seperti ini, maka Islam menyebutnya dengan istilah SYIRIK, MUSYRIK.

Jadi..., yang disebut kaum musyrikin itu sebenarnya sederhana saja, yaitu orang-orang yang masih meletakkan kesadaran akhirnya (dzikirnya) pada segala sesuatu yang masih bersifat materi. Sekecil apapun materi itu, maka materi itu masih menutupi kesadarannya akan adanya SATU Wujud Tunggal Yang Bukan Materi.

Dia tercover (KAFIR) kepada Satu Wujud Tunggal Yang Maha Meliputi segala sesuatu akibat masih adanya materi yang menggandoli kesadarannya. Dia masih Binding kepada materi.

Padahal Al Qur’an sudah mewanti-wanti bahwa, ”Wahai manusia, sadarilah”:

• “… Dia Maha MELIPUTI segala sesuatu…”, (Al Fushilat 54).
• “… Allah Maha MELIPUTI segala sesuatu…”, (An Nissa 126).
• “…Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia…”, (Asy Syura 11).

Jadi Al Qur’an ingin mengajak seluruh umat manusia ini agar mau meletakkan kesadaran akhirnya pada Wujud Yang Tidak Sama dengan wujud apapun juga. KOSONG. Wajah SANG INI. Ya..., INI nih..., INI....!. Lalu, mulailah segala sesuatunya dari INI dan DISINI (nggak usah jauh-jauh):

Saat kita ingin memanggil ALLAH, maka letakkanlah kesadaran kita pada INI. Hadapkanlah wajah kita kepada Wajah Sang INI. Lalu barulah panggil Sang INI dengan sangat santun, lembut, menghormat, dan merendah-rendah: ”Yaa.. ALLAH..., ..., yaa... ALLAH, yaa... ALLAH”, santun sekali...!. Saat memanggil nama Allah, kesadaran kita sudah tidak lagi bergerak kemana-mana, karena memang kita sudah meletakkan kesadaran akhir kita pada Yang KOSONG. Yang tidak sama dengan materi apapun juga. Kemana pun kita arahkan kesadaran kita saat itu, maka yang kita tuju itu tetaplah Yang KOSONG.

Lalu siap-siap sajalah kita menerima respon-Nya.Adakalanya dada kita seperti dialiri oleh rasa bahagia yang amat sangat. Kadangkala rasa bahagia itu bisa membuat kita menangis dengan hebat. Tempo-tempo kita disungkurkan, disujudkan, dengan lembut, bahkan kita bisa juga sampai jatuh terhempas seperti pohon pisang yang ditebang dengan sebilah pedang.

Saat kita Rukuk dan Sujud, maka Rukuk dan Sujudlah kepada INI. Dan ketika itu pula kita akan dialirinya rasa merendah yang amat sangat dihadapan Wajah-Nya. Rendah..., rendah..., rendah...!. Dan kitapun dituntun-Nya pula untuk merendah itu. Kita ditunjukkan-Nya selangkah demi selangkah tentang Diri-Nya sendiri. Dia seakan berkata dengan tegas kepada kita: ”Ya..., INI AKU..., ANA..., ANA..., ANA...!”.

Semakin kita panggil Dia dengan panggilan: ”ya...Allah..., Allah..., Allah...” dalam ruku dan sujud kita itu, maka Dia seakan-akan semakin meneguhkan jawabannya: ”ANA... ANA..., ANA.., AKU..., AKU..., AKU...!”. Lalu kita tinggal bersimpuh dan merunduk saja lagi dihadapan-Nya. SANG AKU...

Saat kita memuja dan memuji Allah (subhanallah, alhamdulillah, laa ilaha illallah, allahu akbar), maka hadapkanlah kesadaran kita tepat dan lurus (hanief) kepada WUJUD INI. Lalu bersiap-siap pulalah kita didudukkan dan dimengertikan-Nya tentang kemahasucian-Nya, tentang kemurahan-Nya, tentang keesaan-Nya, tentang kebesaran-Nya.

Begitu kita puja Dia dengan ungkapan.: ”Subhanallah..., Subhanallah..., Subhanaka..., Maha Suci Allah..., Maha Suci Allah, Maha Suci Paduka...”, maka siap-siap pulalah kita untuk didudukkan-Nya setapak demi setapak dalam pengertian tentang pengakuan-Nya atas kemahasucian-Nya sendiri: ”Subhani..., Subhani.., Subhani..., Ya..., Maha Suci Aku..., Maha Suci Aku..., Maha Suci Aku...”.

Setiap kita ungkapkan: ”subhanallah...”, seakan akan Dia menjawab dengan lembut: ”sadaqta..., benar engkau wahai hamba-Ku. Subhani...” Dan sebagai bukti atas kemahasucian-Nya itu, maka siap-siaplah kita menerima pensucian dari-Nya.

Sekotor apapun kita, seberdosa apapun kita, sejahat apapun kita, sebebal apapun kita, sedurhaka apapun kita, dimana kesemuanya itu akan membebani dan menyempitkan dada kita, akan mematikan dada kita, akan membatukan hati kita, namun tatkala Dia sudah menyatakan kemahasucian-Nya, maka semua kekotoran kita itu akan lenyap, dosa kita itu akan lenyap, jahat kita itu akan lenyap, bebal kita itu akan lenyap, durhaka kita akan terhenti dengan sangat menakjubkan.

Semua tragik kehidupan itu tadi, yang menempel di dada kita, seperti lenyap tanpa bekas. Dada kita yang tadinya keras membatu dengan seketika akan berubah menjadi lembut. Beban di dada kita seperti diambil dengan cepat. Dada kita akan menjadi lapang..., lapang sekali. Dada kita akan diisi dengan rasa bahagia yang amat sangat. Dada kita akan dialiri rasa dingin yang lembut. Setiap tarikan nafas kita akan membawa serta pula tetesan butiran bening disudut mata kita. Air mata kita kan mengucur dengan deras. Bahkan..., ketika kita ingin berkata-kata, yang keluar hanyalah isakan lembut kita. Ah..., lalu diam...

Dalam diam itu, Dia kemudian akan menuntun lidah kita pula untuk mengucapkan pujian tanda syukur kita kepada-Nya: ”Alhamdulillah... segala pujian adalah milik Allah”. Dan setiap ungkapam syukur itu pastilah akan dijawab-Nya pula dengan cara meningkatkan intensitas respon-Nya lebih dari apa yang telah didapatkan diatas. Lalu terjadi pulalah kembali proses puja memuja antara hamba dang Tuhan-Nya. Ada proses ”shilatun” antara yang memuja dan yang dipuja. Tangis dan bahagia sudah bercampur aduk menjadi satu dalam pemujaan dan pemujian seorang hamba kepada Tuhannya. Kemudian diam...

Selanjutnya kita akan dituntun-Nya pula untuk memperbaharui keimanan kita kepada-Nya. Dia seakan berkata kepada kita: ”Jaddidu imaanakum..., perbaharuilah imanmu kepada-Ku segera...”. Lalu Dia sendiri menggerakkan lidah kita untuk mengucapkan: ”laa ilaha illallah..., laa ilaha illa anta...”. Lalu kita dituntun-Nya pula selangkah demi selangkah untuk memasuki benteng-Nya. Dia seperti memahamkan kita tentang: ”LAA ILAHA ILLALLAH itu adalah benteng-Ku, siapa yang yang masuk kedalam benteng-Ku, maka aman sentosa ia dari segala azab-Ku di dunia dan akhirat”.

Kita akan didudukkan-Nya didalam benteng-Nya, didalam liputan-Nya. Duduklah dengan diam… sampai dia memahamkan kita pula tentang pengakuan-Nya: “LAA ILAHA ILLA ANA…, LAA ILAHA ILLA ANA…!.

Kita pahami sajalah ungkapan itu dalam diam kita. Jangan coba-coba kita yang mengaku seperti itu. Karena Ana, Aku, Pengakuan itu adalah selendang Allah. Siapa saja yang memakai selendang Allah, maka seketika itu juga Dia akan meletakkan beban yang sangat berat dipundak kita. Kita akan tersiksa…, siksa yang sangat pedih…

Setelah Dia bernyata seperti itu, siap-siaplah untuk dipahamkan-Nya pula tentang kemahabesaran-Nya. Lidah kita akan dituntunnya untuk mengucapkan:
“Allahu akbar…, Allahu akbar…, Allahu akbar…!”. Lalu dengan seketika, kita akan didudukkan-Nya didalam kemahabesaranya. Diam sajalah kita di dalam liputan kemahabesaran-Nya. Biarlah dalam diam kita itu Dia menyatakan: “Kau lihatlah kemahabesaran-Ku wahai hamba-Ku…!, Ana akbaru ‘ala kulli syai’in…!. Diamlah…Kalau sudah begini, maka selanjutnya terserah kita saja sebenarnya. Mau kemana pun kita ingin menjelajahi Al Qur’an, maka pastilah kita akan menjadi saksi atas kebenaran Al Qur’an itu. Misalnya:

o Saat kita membaca ayat Al Qur’an yang menyatakan tentang kedekatan
Tuhan: “…Apabila hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Jawablah AKU DEKAT…”, (Al Baqarah 186), maka kita kita hanya akan mengangguk mengiyakan : “Ooo ya…INI…”.

o Ketika ayat Al qur’an memberitahu kita bahwa “Allah LEBIH DEKAT dari URAT LEHER…”, (Al Qaaf 16), maka kita hanya tinggal menyatakan: “Yaa…, INI”.

o Saat kita membaca ayat: KEMANA SAJA menghadap, disana ada wajah Allah…”, (Al Baqarah 115), maka kita tinggal tersenyum saja: “ Yaa… betul…,INI”.

o Tatkala kita menemukan ayat: “Allah MELIPUTI orang-orang kafir”, (Al Baqarah 19) , dan “Tuhanmu MELIPUTI segala manusia”, (Al Israa’ 60), maka kita tinggal menimpalinya dengan tegas: “Ooo Yaa.., pastilah, karena memang Dia Maha Meliputi segala sesuatu…, INI”.

o Ketika kita membaca ayat: “Dia bersemayam di atas ‘Arsy”, (Al A’raf 54 / Ar Ra’d 2), maka kita pun dengan mudah akan bisa memahaminya: “Aha…, Betul ayat tersebut. karena memang INI tepat berada DISINI. INI nih dan DISINI. Arasy kok jauh. Ya ndaklah…, Arasy-Nya ada DISINI”.

o Bahkan ketika kita membaca ayat: “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia…”, (Asy Syura 11), maka kita tidak akan bingung lagi untuk memahaminya. “ Yaa…, INI...!”.

Nah..., kalau kita sudah dipahamkan-Nya tentang diri-Nya sendiri, INI..., maka kita tidak akan menarok kesadaran kita (dzikir) lagi di semua itu..., itu..., dan ituuuuuu..., yang berada dalam liputan INI. Yaa..., semua ituuuu berada dalam liputan INI. Kalau kita sudah dipahamkan-Nya pula tentang ada-Nya DISINI, maka kita tidak akan kesana..., kesana..., kesanaaaa lagi. Karena kesana itu jauuuh. Padahal INI ada DISINI...!. INI..., DISINI...!.

Dan..., semua kepahaman, pengertian, dan kenyataan tentang INI dan DISINI seperti diatas mengalir begitu saja tanpa perlu kita cari-cari. Kita tidak usah mencari, memvisualkan, membayangkan, dan mengemosikan-Nya barang sedikitpun. Tidak Perlu. Semuanya adalah given, ditarok, dialirkan, dan didudukkan sendiri oleh Allah.



Mau kemana lagi?.
Untuk mengekslorasi kepahaman kita tentang sifat-sifat INI, marilah sejenak kita mencoba memperhatikan bagaimana Sang INI mengatur semua ITU.

Lihatlah, bagaimana INI, dengan DAYA-NYA yang Maha Hebat, menggerakkan segala sesuatu tepat pada fitrahnya masing-masing. INI mempunyai Daya yang meleleh pijaran lava dari perut gunung. Daya yang menggerakkan lempeng kerak bumi dengan cara-cara yang tak tertahankan. Daya yang menggulirkan bumi, matahari dan bintang-bintang pada garis edarnya. Daya yang yang menumbuhkan pohon dari pohon kecil, menjadi besar, menjadi ranting, menjadi daun, menjadi buah, menjadi layu, lalu menjadi mati kembali.Daya yang mengantarkan pertumbuhan bayi dari saripati tanah, lalu jadi besar, tua, kemudian kembali menjadi tanah. Daya yang bekerja memasukkan dan mengeluarkan udara dari paru-paru saya, Anda, dan semua. Daya yang menggerakkan jantung kita untuk menguncup dan berkembang. Daya yang membuat kita bisa melihat, mendengar, dan merasakan. Daya yang mendorong pergantian sel-sel yang ada ditubuh kita disetiap saat. Daya yang mendorong keringat kita keluar dari pori-pori tubuh kita.

Daya..., daya..., yang bergerak tak tertahankan dan tak akan pernah berhenti pula. Daya yang begitu sibuk bekerja mengatur, menumbuhkan, membesarkan, mengecilkan, menurunkan, menaikkan, menciutkan, mengembangkan, mengeluarkan, memasukkan segala sesuatau pada fitrahnya masing-masing. Bahkan daya itu juga membawa petunjuk, pencerahan, burhan bagi kita seperti halnya juga membawa penyesatan, pengkaburan, peng-cover-an.

Ahhh..., ternyata memang Dia yang sedang beraktivitas atas semua ciptaan-Nya.

Heeiii..., semua gerak-gerak itu tadi, gerak apapun juga, bisa terjadi karena DAYA itu memang seperti berasal dari sebuah KEHENDAK yang tidak bisa dilawan oleh oleh siapa pun juga. Ya..., INI, Yang KOSONG, ternyata punya Sebuah Kehendak Tunggal. KUN...!. Dan dari KUN itu menjalarlah DAYA yang tak terperkirakan besarnya. Daya itu membuat GERAK (FA) yang memproses segala sesuatu agar TERJADI (YA KUN) menurut apa maunya Kehendak tersebut. Proses Gerak itu terjadi tepat di dalam LIPUTAN INI. KOSONG.

Kalau kesadaran kita sudah menggapai tentang keberadaan Kehendak Tunggal (KUN) ini, maka langkah selanjutnya sebenarnya tinggal sederhana saja, yaitu : ”Janganlah diaku kehendak tersebut. JANGAN SEKALI-KALI DIAKU..., sebagai kehendak kita sendiri!”. Serahkanlah pengakuan itu kepada INI, Wajah Sang Kosong. Katakan saja dengan merendah-rendah: ”Semua ini adalah kehendak-Mu semata wahai Sang Berkehendak...!. Engkaulah Sang Maha Berkendak...!.Saya ternyata hanya diam..., materi-materi itu ternyata hanya diam. Engkaulah yang menggerakkan segala sesuatu dengan daya-Mu. Laa haula wala quwwata illa billah”.

Perhatikanlah, betapa Kehendak, KUN, itu telah melahirkan 99 sifat yang melekat pada INI. Sifat ini akan mengatur semua ITU agar berperilaku dan bertakdir sesuai dengan citra Kehendak INI. Begitu kita paham tentang INI, maka tatkala kita melihat betapa Sang INI begitu pengasih dan penyayang kepada semua yang berada dalam liputan-Nya, maka kita sampaikanlah kepada siapapun juga. ”Hai seluruh manusia DIA lah, INI, Sang Maha Pengasih dan Penyayang, HUA AR RAHMAN, HUA AR RAHIM...”. Lalu lanjutkan sajalah dengan menyebutkan semua sifat-sifat-Nya yang lain yang tertulis didalam Al Qur’an:

”Alladzi laa ilaaha illa hua rahmaanur rahiimul maliikul qudduusus salaamul mukminul ’azziizul jabbarul. Al mutakabbirul khalikul barriul musawwirul gaffaul qahharul wahhabul razzaqul fattah, ..., ashabur!. Yang merupakan 99 nama Tuhan Yang Agung.

Ya..., tinggal kita sampaikan saja kepada semua orang : ”HUU..., HUU..., HUU..., DIA..., DIA..., DIA..., sambil kita memandang kepada INI..., INI..., INI...!”. Kita tidak usah jauh-jauh lagi. Kita tidak usah pakai cara mengembang-ngembang segala lagi. Karena pada hakekatnya tatkala kita masih mencoba untuk mengembangkan kesadaran kita, maka sebenarnya saat itu kita merasa seperti punya daya. Padahal kita hakekatnya tidak punya daya apa-apa.

Ya..., kita tinggal duduk saja lagi di Ruang Spiritual yang memang sangat menakjubkan. Ruang yang membuat kita bisa duduk disisi Tuhan.




Setelah itu apa ??.

Selama ini mungkin banyak orang mengira bahwa kalau kita sudah masuk ke dalam dunia spiritual, maka selesailah sudah. Kita kemudian menganggap sudah bisa menjauhkan diri dari serba serbi dan hiruk pikuknya kehidupan dunia ini. Atau karena kita sudah merasa dekat dengan Tuhan, maka kita sudah tidak butuh lagi dengan berbagai syariat agama seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya.

Padahal yang terpenting adalah, setelah kita didudukkan oleh Allah di sisi-Nya, di dalam Ruang Spiritual, maka saat itulah kita baru benar-benar siap untuk menjalankan apapun perintah Allah kepada kita. Kita siap untuk menjadi wakil Tuhan untuk menjalankan fungsi-fungsi ketuhanan dimuka bumi ini. Dan semuanya itu tinggal kita jalankan saja dengan sebuah sikap yang sangat sederhana, SIKAP BERKETUHANAN.

Nanti saya akan mencoba menguraikan kepahaman saya tentang sikap berketuhanan ini dalam artikel lainnya. Yang pasti adalah, saya sungguh sangat menikmati sekali suka-duka hidup dalam sikap berketuhanan ini. Insyaallah kita akan sharing banyak disini nantinya.

Kita kembali dulu kepada pokok persoalan kita tentang berbagai pertanyaan dari Pak Adhi Susilo.

Dari apa-apa yang telah saya latihkan di Bandung saat Pak Adhi Susilo juga ikut, sehingga Pak Adhi berkesimpulan bahwa :”... Padahal MODAL DASAR manusia adalah SAMA (memvisualkan, membayangkan, mengemoisikan), jadi mustinya adalah SAMA antara PROSEDUR doa duniawi dan ukhrawi, tapi KENYATAANNYA, menurut pelatihan shalat khusyu’, keduanya BERBEDA........(Ini membuat saya yang ”masih belajar” menjadi ”ragu” tentang metoda shalat khusyu’ Ust. Abu Sangkan. Mohon maaf atas keterusterangan saya ini)...”, sungguh saya tidak bisa berkomentar apa-apa. Mudah-mudahan Pak Adhi punya metoda lain yang lebih canggih lagi dari apa yang mampu saya berikan, sehingga Pak Adhi juga mampu memberikan sumbangsihnya kepada bangsa kita ini.

Beberapa waktu yang lalu saya mampir di toko buku GRAMEDIA depan BIP, disitu ada selebaran tentang Pelatihan Shalat Khusyu juga yang kalau tidak salah trainernya adalah Pak Adhi Susilo juga. Apakah trainer itu adalah bapak Adhi Susilo yang ini atau bukan..., saya sungguh tidak tahu. Kalau benar itu adalah Pak Adhi yang ini, selamat saya ucapkan kepada Pak Adhi, semoga Pak Adhi jauh lebih berhasil dari saya ataupun ustad Abu Sangkan dalam menyebarluaskan shalat khusyu ini ke tengah-tengah masyarakat yang sudah shalat ataupun belum.Kapan-kapan kalau ada pelatihan lagi di Bandung, saya tidak keberatan untukdiundang dan menghadiri pelatihan Pak Adhi itu (kalau jadwalnya tidak bentrok).


Demikian
Wassalam
Cilegon 13 November 2007, Bertepatan dengan Ulang Tahun anak Saya KARIMA
Jalan Kabel No. 16 Cilegon

Deka

0 komentar:

Posting Komentar